Meski Ligue 1 Perancis masih menyisakan empat pekan pertandingan, Paris Saint-Germain sudah memastikan diri menjadi juara. Pastinya itu bukan kabar yang mengagetkan bagi “liga petani”. Mereka sangat mendominasi dengan perbedaan 16 poin dari peringkat kedua (Lille) sebelum pekan ke-35 dimulai.
Tanpa bermaksud menunjukkan kesombongan, PSG sebenarnya bisa menjadi juara lebih dini pada pekan-pekan sebelumnya. Namun mereka selalu terpeleset dengan gagal menang tiga kali berurutan saat melawan Racing Strasbourg, Lille, dan Nantes.
Sejauh ini PSG baru kebobolan 30 kali (paling sedikit kedua setelah Lille dengan 28 kali) di liga, tapi mereka kebobolan 15 gol dalam tujuh pertandingan terakhir mereka; yang terakhir adalah ketika mereka kalah 2-3 dari tuan rumah Montpellier (01/05). Catatan buruk juga dicatat karena untuk pertama kalinya sejak Januari 2010, PSG mengalami tiga kekalahan beruntun di liga.
Angka kebobolan sebanyak itu akhir-akhir ini benar-benar menunjukkan kelemahan mereka dalam bertahan. Apa yang salah dari pertahanan PSG?
Perubahan Personel di Lini Belakang
Sejak PSG menang 5-0 melawan Olympique Lyonnais (7 Oktober 2018) sampai mereka menang 3-1 melawan Olympique de Marseille (17 Maret 2019), PSG hanya kebobolan rata-rata 0,47 gol per pertandingan (paling sedikit kebobolan di antara semua kesebelasan Ligue 1).
Namun setelah itu mereka rata-rata kebobolan 2,14 gol per pertandingan (paling banyak kebobolan di antara semua kesebelasan Ligue 1). PSG rata-rata kebobolan lebih banyak daripada Toulouse, Troyes, dan En Avant de Guingamp musim lalu. Padahal saat itu ketiga kesebelasan itu berada di peringkat ke-14 ke bawah.
Ada tiga pemain yang mendapatkan menit bermain lebih banyak pada enam pertandingan terakhir itu, yaitu gelandang Leandro Paredes, bek kanan Colin Dagba, dan bek tengah Presnel Kimpembe.
Gambar 1 - Peta jaringan operan PSG saat melawan Monaco yang menunjukkan rata-rata posisi Kimpembe (3), Paredes (8), dan Dagba (31) - Sumber: Wyscout
Sebelum melawan Marseille, Paredes, Dagba, dan Kimpembe telah bermain masing-masing 18,2%, 4,9%, dan 48,9% dari seluruh menit bermain. Namun sejak melawan Marseille, mereka bermain secara berturut-turut dalam 96,9%, 80,0%, dan 100,0% menit bermain.
Statistik bertahan yang buruk dicatatkan oleh tiga pemain tersebut. Paredes yang lima kali bermain sebagai gelandang bertahan, hanya memenangi 15,15% defensive duels. Kemudian Dagba memenangi 18,60% defensive duels dan Kimpembe yang lebih banyak bermain sebagai bek tengah sebelah kiri dengan 21,62% defensive duels.
Dari ketiga pemain di atas, Dagba mungkin menjadi pemain yang menyebabkan penurunan performa pertahanan PSG. Pada pertandingan-pertandingan sebelumnya, pos bek kanan lebih sering diisi oleh Thomas Meunier.
Kelemahan Menghadapi Serangan Balik
Kita tidak bisa hanya menyalahkan personel-personel di lini belakang PSG untuk mengetahui penyebab mereka lebih sering kebobolan di tujuh pertandingan terakhir. Secara umum, sistem permainan Thomas Tuchel sendiri yang membuat PSG rentan ditembak dan kebobolan.
Simak prediksi dan penerawangan "Mbah" Rochi Putiray soal Liga 1 Indonesia 2019:
Tuchel tak memiliki formasi tetap, terutama di lini belakang. Sepanjang Ligue 1 musim ini dia 17 kali memakai formasi dengan tiga bek dan 17 kali pula dengan empat bek. Pada tujuh laga terakhir mereka, Tuchel empat kali bermain dengan tiga bek dan tiga kali bermain dengan empat bek.
Dengan pemain-pemain yang jauh lebih berkualitas seperti Neymar Jr., Edinson Cavani, dan Kylian Mbappé, mereka lebih sering menguasai bola. Sepanjang Ligue 1 musim ini, mereka hanya sekali tak menguasai bola lebih banyak daripada lawannya, yaitu saat menang 5-0 melawan Lyon (7 Oktober 2018). Saat itu Lyon unggul possession 52,83%.
Selain itu, PSG selalu mendominasi lawannya dengan rata-rata 63,06% penguasaan bola. Itu adalah angka rata-rata possession terbaik kedua se-Eropa, di bawah Manchester City di Liga Primer Inggris dengan 64,00%.
Hal ini juga terjadi di Liga Champions UEFA, di mana mereka hanya dua kali tidak mendominasi lawan mereka, yaitu saat berhadapan dengan Liverpool di babak grup.
Mendominasi penguasaan bola membuat PSG rentan terkena serangan balik lawan, apalagi jika dikombinasikan dengan bola panjang. Dari tujuh pertandingan terakhir mereka di liga, PSG menerima 45 serangan balik. Dari serangan-serangan balik itu, PSG kebobolan enam kali (dari total 15 kebobolan).
Gambar 2 - Gol kedua Nantes melawan PSG dengan sistem tiga bek: full-back PSG (ditunjukkan dengan lingkarang kuning) berposisi terlalu ke depan, yang membuat mereka rentan ketika menghadapi serangan balik yang melibatkan bola panjang ke daerah sayap.
Hal yang membuat PSG rentan terkena serangan balik adalah kedua bek sayap mereka yang berposisi terlalu ke depan dan melebar. Pada saat membangun serangan, gelandang bertahan turun untuk mengaver dari inside channel, sementara kedua bek sayap mereka bisa sejajar dengan penyerang.
Bek-bek tengah dan gelandang bertahan PSG bisa diandalkan dalam merebut kembali penguasaan bola, namun rentan dieksploitasi saat menerima sapuan lawan ke area sayap. Ini yang membuat mereka rentan ketika diserang balik melalui bola panjang ke wilayah sayap.
Dalam tujuh pertandingan terakhirnya PSG terlihat lemah ketika transisi bertahan. Ketika kedua bek sayap masih di depan, jarang bagi mereka untuk melakukan track-back menjadi lebih besar.
Gambar 3 - Serangan balik Strasbourg melawan PSG dengan sistem empat bek: Area sayap terekspos karena kedua full-back (ditandai dengan lingkaran kuning) berposisi terlalu ke depan.
Kelemahan Menghadapi Situasi Bola Mati dan Banyaknya Error
Kelemahan ditunjukkan PSG bukan hanya dari serangan balik, tapi juga dari situasi bola mati. Dari 15 kali kebobolan di tujuh pertandingan terakhir mereka, enam di antaranya diawali dari situasi bola mati. Sementara sisanya adalah satu dari umpan silang, serta dua dari defensive error.
Bola mati, umpan silang, dan defensive error seolah menjadi hiasan pertahanan PSG akhir-akhir ini. Tiga dari 15 kebobolan mereka di tujuh pertandingan terakhir bahkan adalah gol bunuh diri.
Pada pertandingan final Coupe de France melawan Stade Rennais, PSG juga dua kali kebobolan: satu dari umpan silang yang menghasilkan gol bunuh diri (Kimpembe) dan satu lagi dari sepak pojok. Pada akhirnya PSG harus kalah di babak adu penalti melawan Rennes.
Kemudian pada pertandingan melawan Montpellier, mereka sekali kebobolan dari serangan balik, sekali dari situasi tendangan bebas—yang menghasilkan gol bunuh diri, lagi-lagi dari Kimpembe—dan satu lagi dari defensive error di depan kotak penalti sendiri.
Pekerjaan Rumah Penting untuk Musim Depan
Sebagai kesebelasan yang paling banyak mencetak gol (97) dan paling sedikit kedua kebobolan (30) sejauh ini, PSG seharusnya tak perlu khawatir. Namun sebagai raksasa di Perancis, mereka mendapatkan masalah karena “hanya” bisa menjuarai Ligue 1 dan harus gugur dari Coupe de la Ligue, Liga Champions, dan Coupe de France.
Masalah mereka bertambah parah karena dalam tujuh pertandingan terakhir mereka kebobolan 15 kali. Meski hampir selalu menguasai bola, pertahanan PSG bisa dieksploitasi dari situasi serangan balik, bola mati, dan umpan silang. Ditambah defensive error yang mereka catatkan juga semakin memperburuk situasi.
Ini memang sudah mendekati garis finis akhir musim, tapi Tuchel harus bisa memperbaiki masalah ini di musim depan jika dia menginginkan PSG untuk menjadi salah satu raksasa Eropa.
Sumber statistik: Wyscout
Komentar