Sepakbola dikenal sebagai permainan atau olahraga 11 orang melawan 11 orang. Namun dalam praktiknya, sepakbola punya pertarungan kecil di area tertentu yang membuat permainan menjadi tidak 11 melawan 11. Saat itu terjadi, sebuah tim bisa unggul jumlah pemain, di mana hal itu jadi keuntungan. Situasi tersebut dikenal dengan sebutan overload.
Kesebelasan yang memainkan operan-operan pendek untuk menyerang "diwajibkan" melakukan overload saat menguasai bola. Ketika bertahan pun overload bisa dilakukan untuk menyulitkan lawan mendistribuskan bola atau membangun serangan. Dan lewat inilah Chelsea menjadi juara Liga Europa UEFA 2018/19 pada laga final yang digelar Kamis (30/5) di Baku, Azerbaijan. Lewat keberhasilan menciptakan overload-overload, Chelsea mampu menumbangkan lawannya di final, Arsenal, dengan skor sangat telak: 4-1.
Kesulitan di Babak Pertama
Meski menang telak, Chelsea, juga Arsenal, bermain imbang pada babak pertama. Tidak ada gol tercipta. Keduanya total melepaskan 9 tembakan: 5 untuk Chelsea, 4 untuk Arsenal. Menilai babak pertama cukup membosankan tidak keliru, tapi kedua kesebelasan tetap menciptakan sejumlah peluang emas.
Selain, mungkin, kedua kesebelasan bermain aman di 45 menit pertama, kedua kesebelasan memang cukup kesulitan menyentuh kotak penalti lawan dan membuat peluang terbuka. Attacking build-up keduanya kerap kandas sejak fase kedua build-up atau di area middle third. Sebetulnya cukup wajar mengingat Chelsea dan Arsenal menekan build-up lawan sejak lawan menguasai bola di defensive third lawannya.
Chelsea, dengan pola dasar 4-3-3, membentuk pola 2-3-2-3 saat bola berada di penguasaan sang kiper, Kepa Arrizabalaga. Dua di belakang diisi dua bek tengah, yakni Andreas Christensen dan David Luiz. Tiga di depannya adalah Jorginho yang mengisi area depan kotak penalti serta Cesar Azpilicueta dan Emerson Palmieri di kedua sisi. Mateo Kovacic dan N`Golo Kante di depan Jorginho. Eden Hazard-Olivier Giroud-Pedro Rodriguez berada di tiga terdepan. Terkadang salah satu dari tiga pemain terdepan ini lebih turun mendekati Kante dan Kovacic untuk menjadi pemantul atau membuka jalur operan depth dari pemain belakang yang menguasai bola.
Pola menyerang Chelsea tersebut sebetulnya memudahkan Arsenal dalam melakukan penjagaan pemain. Arsenal menggunakan pola dasar 3-4-1-2. Saat Kepa menguasai bola, maka para pemain Arsenal akan melakukan penjagaan antar pemain tanpa perlu meninggalkan posisi default-nya. Karena 3-4-1-2 mereka bisa dengan cepat membentuk 3-2-3-2, kebalikan dari 2-3-2-3 yang digunakan Chelsea.
Gambar 1 - Situasi saat Chelsea membangun serangan dari Kepa
Ini pula yang membuat Chelsea agak kerepotan membangun serangan dari zona pertahanan. Pada babak pertama, bola operan dari lini belakang pada lini tengah atau dari lini tengah ke depan seringkali mampu dipotong, diintersep, dan disapu oleh pemain Arsenal.
Bahkan Kepa pun beberapa kali terpaksa mengirimkan umpan jauh langsung pada Giroud. Penyerang asal Perancis tersebut mencatatkan tiga duel udara, di mana semuanya itu dilakukan pada babak pertama. Tapi meski unggul duel udara, skema ini bukan skema yang tepat untuk Chelsea, setidaknya itu terlihat dari tidak adanya peluang berbahaya yang berawal dari sundulan Giroud. Arsenal memiliki Lucas Torreira yang unggul dalam perebutan bola kedua.
Arsenal sendiri bertahan dengan sangat baik pada babak pertama ini. Dengan penjagaan antar pemain ini mereka tidak perlu terlalu agresif dalam merebut bola. Hanya 6 pelanggaran dilakukan The Gunners di babak pertama, tidak ada satupun kartu kuning (Arsenal menyelesaikan laga tanpa diganjar kartu kuning). Jalur-jalur operan build-up Chelsea tertutup dengan sendirinya. Hampir di semua target operan, pemain Chelsea dibayangi pemain Arsenal.
Pada babak pertama sebetulnya Arsenal lebih menonjol. Meski Chelsea lebih banyak menguasai bola, skuat asuhan Unai Emery tersebut mampu menciptakan peluang yang lebih berbahaya melalui Aubameyang dan Xhaka. Di kubu Chelsea, hanya tendangan Emerson yang betul-betul membahayakan Petr Cech.
Saat menyerang, Arsenal tidak mengubah posisi antar pemain. Mereka cenderung tetap menggunakan pola 3-4-1-2 ketika menyerang. Tiga sejajar di belakang diisi oleh Sokratis Papastathopolus, Laurent Koscielny dan Nacho Monreal. Gelandang tengah duet Torreira-Xhaka. Maitland-Niles dan Sead Kolasinac sejajar dengan gelandang, walau terkadang sejajar dengan Mesut Ozil yang selalu berada di belakang tandem Aubameyang dan Alexander Lacazette untuk membentuk pola 3-2-3-2.
Tapi Chelsea tidak melakukan penjagaan antar pemain seperti yang dilakukan Arsenal. Skuat asuhan Maurizio Sarri ini membentuk pola 4-1-4-1 saat pemain belakang Arsenal menguasai bola. Tidak seperti Lacazette-Aubameyang-Ozil yang naik hingga mendekati kotak penalti Chelsea meski tak menguasai bola, Hazard dan Pedro menunggu di area middle third. Hanya Giroud yang sangat aktif melakukan pressing ke pemain bertahan Arsenal yang menguasai bola. Hazard dan Pedro baru melakukan pressing atau berupaya merebut bola ketika bola serangan Arsenal mendekati wilayah mereka di middle third.
Dengan pola tersebut, tiga pemain terdepan Chelsea punya tanggung jawab melakukan pressing pada setiap pemain Arsenal yang berada di dekatnya (zonal), tidak seperti Arsenal yang lebih man-to-man. Sistem ini sebenarnya akan memaksa Arsenal untuk menyerang lewat sayap atau lewat umpan jauh (long ball). Menyerang lewat umpan jauh tentu punya kans kehilangan bola lebih besar. Tak heran di babak pertama persentase operan akurat Arsenal ada di angka 77% (Chelsea 84%).
Gambar 2 - Chelsea membentuk pola 4-1-4-1 saat tak menguasai bola
Chelsea Memanfaatkan Kelemahan dan Kelelahan Arsenal
Empat gol Chelsea semuanya dicetak pada babak kedua. Olivier Giroud menit ke-49, Pedro menit ke-60, Hazard menit ke-65, dan gol kedua Hazard menit ke-72. Yang paling mencolok dari proses gol-gol Chelsea ini adalah ketika bagaimana Chelsea mampu unggul jumlah pemain baik ketika bertahan, transisi bertahan ke menyerang, maupun menyerang.
Kedua kesebelasan tidak mengubah formasi atau strategi secara ekstrem. Yang membedakan adalah bagaimana ruang-ruang di pertahanan Arsenal yang semakin terbuka. Entah itu karena instruksi dari Emery yang ingin Arsenal punya lebih banyak pemain di lini pertahanan Chelsea atau para pemain Arsenal yang kelelahan sehingga tidak bisa meng-cover area kosong.
Sebelum gol-gol tercipta, mari kita simak kembali momen yang terjadi pada menit ke-47. Sebelum Giroud mendapatkan peluang tembakan, sebelum Hazard melakukan penetrasi dari zona pertahanan Chelsea ke pertahanan Arsenal, terjadi situasi 3vs3 antara Hazard-Kovacic-Emerson vs Torreira-Maitland-Sokratis. Arsenal bisa unggul jumlah pemain, dan merebut kembali bola, andai Aubameyang tidak pasif. Lalu setelah Torreira dilewati oleh Hazard, gelandang asal Uruguay itu tampak menyerah untuk mengejar Hazard yang menggiring bola dengan cepat. Sokratis pun "hanya" mengawasi dari jarak jauh padahal dia telah meninggalkan posisinya di belakang, di mana ini yang dimanfaatkan oleh Giroud.
Satu menit kemudian gol pertama Chelsea tercipta. Keterlambatan meng-cover ruang kembali terjadi. Kali ini dimanfaatkan betul oleh Chelsea. Emerson dengan leluasa tanpa gangguan mengirimkan umpan silang pada Giroud. Giroud menyambutnya dengan sundulan sambil menjatuhkan diri.
Situasi kosongnya Emerson ini bukan kali pertama. Di babak pertama, Emerson mendapatkan dua peluang karena dia punya ruang bebas untuk menembak. Hal ini terjadi akibat dari kelemahan Arsenal dalam pergeseran posisi. Dengan pola 3-4-1-2, kedua sayap lebih mendekati kota penalti ketimbang menjaga area sayap. Dapat dipahami karena saat tak menguasai bola sebuah tim memang harus menjaga jarak antar pemain serapat mungkin (compact) untuk menyempitkan celah di tengah. Tapi untuk Arsenal semalam, lima pemain dalam hal ini Torreira-Xhaka-Ozil-Lacazette-Auba gagal menutup ruang di kedua sayap karena lambatnya mereka dalam melakukan pergeseran posisi.
Sekarang perhatikan juga pergerakan pemain-pemain tengah Arsenal sebelum tiga gol Chelsea lainnya terjadi. Bahkan tidak hanya Hazard, pada penalti Chelsea pun Kovacic mampu memanfaatkan ruang itu dengan sangat baik lewat kecepatan dribbling-nya. Situasi seperti ini kerap terjadi bisa karena pemain Arsenal kelelahan (indikasinya bisa dilihat dari ditarik keluarnya Ozil dan Torreira) atau memang kordinasi antar pemain mereka buruk.
Di sisi lain, Arsenal tidak mampu menciptakan peluang-peluang berbahaya karena mereka kerap kalah jumlah ketika berada di kotak penalti Chelsea. Ketika hendak mendekati kotak penalti, karena kalah jumlah, Arsenal pun kehilangan bola. Tidak seperti Chelsea di mana setidaknya mereka tidak kalah jumlah saat menyerang. Bahkan pada gol keempat Chelsea bisa unggul 4vs3 di pertahanan Arsenal.
***
Situasi-situasi overload yang dilakukan oleh Chelsea terjadi karena beberapa hal. Dimulai dari pergeseran lima pemain depan Arsenal yang lambat, organisasi pertahanan Arsenal yang buruk, sistem Chelsea saat tak menguasai bola yang menekan Arsenal sejak di lini pertahanan, juga rotasi pergerakan yang dilakukan para pemain Chelsea baik ketika tanpa maupun dengan bola.
Hal itu tidak dilakukan oleh Arsenal, atau sampai batas tertentu Arsenal lebih ingin menyerang lewat serangan balik dengan menyimpan tiga pemain di depan, ketiganya tidak mendapatkan banyak tugas bertahan. Namun hal itu berpengaruh pada jumlah pemain Arsenal saat menyerang di mana pertahanan compact Chelsea membuat Arsenal kesulitan menemukan ruang untuk menyerang.
foto: The Guardian
Komentar