Bali United, yang dikelola PT Bali Bintang Sejahtera, bertransformasi. Mereka resmi melakukan Initial Public Offering (IPO) atau penawaran perdana saham kepada publik di Bursa Efek Indonesia (BEI) pada Senin, 17 Juni 2019.
Langkah tersebut disambut baik oleh Direktur Utama BEI, Inarno Djajadi. "Bali United menjadi perusahaan yang tercatat ke-14 di Indonesia dan ke-63 di BEI," ujarnya seperti yang dikutip BolaSport. "IPO menjadi saran perusahaan (untuk) penggalangan dana dari masyarakat. Banyak manfaatnya, misal di dunia usaha lebih dipandang profesional dan akuntabel."
Bukan hanya Inarno, publik pun antusias. Hal itu dapat tergambar melalui harga saham yang langsung melonjak dari Rp175 per saham pada IPO menjadi Rp296 per saham. Nilai transaksinya menghasilkan Rp38,33 juta pada hari perdana.
Kenaikan harga sebesar 69,14% membuat Bali United terkena auto reject (batas) atas. Sebagaimana diatur dalam SK Direksi BEI Kep-00096/BEI/08-2015 (PDF), batasan maksimal naik dan turun pada listing perdana adalah 70% untuk harga saham Rp50-200, 50% untuk Rp200-500, dan 40% untuk Rp500 ke atas. Hal ini diterapkan agar fluktuasi harga saham lebih terjaga.
"Saya terharu sekaligus bangga mengetahui ada orang-orang biasa membeli walau hanya 1 lot saham. Ada dosen, ada office boy, guru bahkan ada anak kecil yang memecahkan celengan untuk membeli," tutur CEO Bali United, Pieter Tanuri, dalam wawancara kepada Tirto.
Ini merupakan langkah historis. Bali United adalah kesebelasan Asia Tenggara pertama (kedua di Asia, setelah Guangzhou Evergrande) yang entitas bisnisnya menjadi perusahaan terbuka.
Lucu, jika mengingat bahwa awalnya Bali United kerap dipandang sebelah mata oleh mayoritas penggemar sepakbola Indonesia karena dituduh `klub siluman`. Ramainya sponsor di jersi pun dilihat sebagai aksi jual diri kepada modern football.
Nyatanya, Bali United lebih sakti dibanding para tetua yang sudah puluhan (bahkan ada sudah menembus seratus) tahun membangun dinasti relasi. Setidaknya, untuk urusan profesionalitas klub.
Olahraga Adalah Bisnis Yang Unik
Sebuah kompetisi bertujuan mencari pemenang. Maka, performa kesebelasan di atas lapangan turut memengaruhi nilai jual di lantai bursa. Pun demikian, sebuah jurnal berjudul Floating European football clubs in the stock market menjelaskan nilai saham sebuah klub menjadi sangat tidak menentu jika model bisnis mereka terlalu bergantung pada hasil pertandingan.
Ketidakpastian ini membuat para investor di Eropa kurang tertarik untuk berinvestasi pada klub sepakbola. Rataan harga saham mereka berada di bawah indeks saham umum pada 1997 hingga 2005. Meski sempat membaik pada 2007 dan 2008, angka tersebut kembali turun pada 2009.
Satu klub yang menyadari permasalahan tersebut lebih awal adalah FC København. Terbentuk melalui merger antara Kjøbenhavns Boldklub dan Boldklubben 1903 pada 1992, mereka hanya butuh lima tahun untuk `merumput` di Bursa Efek Kopenhagen.
Parken Sport & Entertainment, holding FC København mengandalkan diversifikasi bisnis. Mereka mengakusisi kepemilikan Stadion Parken, yang kerap menjadi tempat digelarnya konser-konser artis papan atas ketika berkunjung ke Denmark. Michael Jackson, U2, Elton John, The Rolling Stones, Red Hot Chili Peppers, Metallica, Madonna, Beyonce, Lady Gaga, hingga Coldplay pernah manggung di tempat ini.
Mereka mengakuisisi promotor musik Rockshow dan 15% kepemilikan perusahaan produksi Euro Media pada 2001. Dilanjutkan dengan menguasai saham mayoritas e-billeter, perusahaan yang menjual tiket olahraga dan hiburan, setahun kemudian. Pada 2006, mereka bahkan membeli perusahaan industri kebugaran Fintessdk.
København memang turut terbantu prestasi. Mereka meraih tujuh titel liga dalam kurun 16 tahun (1992/93, 2000/01, 2002/03, 2003/04, 2005/06, 2006/07, dan 2008/09). Namun keberadaan pelbagai entitas bisnis yang dimiliki sangat mengurangi ketergantungan terhadap hasil pertandingan dan membantu menjaga stabilitas harga saham.
Selain dari hasil pertandingan, fluktuasi harga juga dipengaruhi oleh hal eksternal, meliputi stabilitas kompetisi. Lazio pernah merasakannya. Saham mereka jatuh ke harga terendah dan hampir tertendang dari Bursa Efek Italia (juga dari Serie A) karena terlibat dalam Calciopoli.
Pieter menyadari Bali United sebagai emiten bisnis butuh ‘perlindungan` ekstra. "Kami ini, khususnya saya, ingin industri sepakbola itu sehat, karena kalau sehat maka industrinya akan berkembang. Bisnis butuh ekosistem yang baik, butuh kepastian hukum," ujarnya ketika ditanya mengenai potensi konflik kepentingan setelah diketahui anak perusahaan mereka, PT Karya Kreasi Bangsa (KKB), punya relasi bisnis dengan empat klub Liga 1 (Arema FC, PSIS Semarang, PSS Sleman, dan Semen Padang) serta dua klub Liga 2 (PSMS Medan dan Celebes FC).
PT KKB lahir dari kekosongan salah satu lini bisnis dalam industri sepakbola Indonesia. Mereka bergerak di bidang agensi periklanan olahraga. Meski awalnya hanya membantu sponsor untuk Bali United sendiri, akhirnya ada klub-klub lain yang menggunakan jasanya.
PT KKB hanyalah satu dari empat anak perusahaan yang dimiliki PT Bali Bintang Sejahtera. Mereka juga memiliki PT Radio Swara Bukit Indah (siaran radio), PT Bali Boga Sejahtera (jasa boga, restoran, dan kafe), serta PT IOG Indonesia Sejahtera (aktivitas olahraga dan rekreasi lainnya).
Secara infrastruktur, Bali United juga terbilang memadai. Mereka telah membangun Bali United Academy, merchandise store (satu megastore dan 19 toko kecil), Playland (area bermain anak di stadion), serta punya Bali United TV yang tayang di televisi kabel.
Seluruh hal tersebut diharapkan mampu menopang keberlanjutan Bali United, baik sebagai sebuah bisnis maupun kesebelasan. Dengan melepas 2 miliar unit saham atau setara 33,33 persen dari modal yang ditempatkan dan disetor penuh, diharapkan mereka mampu mendapatkan dana segar sekitar 350 miliar Rupiah.
Lebih dari separuh (60,5%) pemasukan melalui IPO nantinya akan digunakan untuk merekrut pemain dan/atau pelatih yang profesional, penyelenggaraan event serta operasional klub, megastore, dan tim akademi. Penggunaan lainnya dapat dilihat secara gamblang dalam dokumen prospektus (PDF).
"Masih banyak rencana pengembangan unit bisnis lain. Karena tidak bisa memang hanya mengandalkan dari pertandingan sepakbola. Sponsor dan hak siar itu tidak akan cukup. Diversifikasi unit bisnis lain menjadi penting. Makanya, kami punya semboyan `Beyond Football`-Lebih dari sekadar sepakbola," kata Pieter.
Awal Era Transparansi (?)
Tanpa bermaksud meninggikan Bali United (secara berlebihan), agaknya benar bahwa ini beyond football. Esensi utama dari keputusan Bali United melantai di bursa saham adalah keberanian mereka menelanjangi diri. Ada transparansi; yang (di)hilang(kan) dalam kamus sepakbola nasional.
Atmosfer sepakbola Indonesia itu kadung tidak sehat. Penuh polusi; curiga dan dengki. Masih segar dalam ingatan kisruh rangkap jabatan dan potensi konflik kepentingan antarklub akibat dimiliki oleh para petinggi PSSI. Masih panas pula pelbagai penyakit lain, mulai dari pengaturan skor hingga kematian suporter.
Selama ini, dinding tinggi Senayan terlalu sulit diruntuhkan. Mereka terlindungi landasan hukum dan statuta (yang penuh cela). Tetapi, kini Bali United menunjukkan jalan berbeda: menggantungkan penilaian dan evaluasi kepada publik.
PSSI sebagai federasi jelas wajib melindungi para anggotanya. Hal itu sesuai dengan tujuan PSSI poin D yang tertera dalam statuta. Maka, PSSI pun harus `memfasilitasi` Bali United.
Beredar kabar bahwa Arema, Persib Bandung, dan Persija Jakarta siap mengikuti jejak Bali United. Hal ini tentu tidak aneh mengingat mereka adalah klub-klub (yang mendapuk diri sebagai) tradisional. Yang sebenarnya aneh justru fakta bahwa mereka dilangkahi oleh `si anak bawang`.
"Klub seperti Persib, Persija, Persebaya (Surabaya), Arema, PSM (Makassar), Persipura (Jayapura), dan tim-tim tradisional itu kayak anugerah dari Tuhan, enggak diapa-apain juga sudah punya magnet dan massa yang luar biasa," tutur Pieter.
Patut disadari adanya kegagapan dari klub-klub tradisional ketika harus bertransformasi dari klub perserikatan menjadi klub berbadan hukum. Namun Bali United yang baru lahir pada 2015 saja mampu berproses dan mematangkan diri sehingga mendapatkan valuasi sebesar 1 triliun. Tentu menjadi sebuah pertanyaan besar: mengapa klub-klub tradisional terlambat mempersiapkan dan melihat potensi tersebut?
Apapun alasannya, kemungkinan klub-klub tradisional `merumput` di bursa saham harus didukung penuh. Karena jika benar, maka PSSI semakin dipaksa bekerja keras membangun iklim kompetisi yang lebih stabil dan terjamin; profesional dan bermartabat. Hanya dengan cara tersebut tata kelola sepakbola nasional, mau tak mau, mulai berjalan maju.
Komentar