Apa kaitan antara penalti dengan warna kulit? Jawabannya hanya satu: tidak ada! Maka, mengeluarkan kecaman tentu menjadi pilihan tepat bagi Manchester United setelah Paul Pogba menjadi sasaran rasialisme. Pogba diserang melalui media sosial karena gagal mengkapitalisasi tendangan penalti dalam laga lanjutan Liga Primer Inggris melawan Wolverhampton Wanderers pada Senin (19/8) malam waktu setempat.
"Semua yang ada di Manchester United jijik dengan serangan rasialisme terhadap Paul Pogba semalam dan kami mengutuk sepenuhnya. Manchester United tidak memberikan toleransi terhadap rasialisme atau diskriminasi dalam bentuk apapun." tulis pihak Man United melalui pernyataan resminya."
Hingga batas tertentu, kekecewaan suporter Manchester United masih dapat dipahami. Kegagalan pemain asal Prancis itu mengkonversikan penalti membuat mereka harus berbagi satu angka dengan tuan rumah. Namun, melampiaskannya dengan makian rasialisme tentu tidak dapat ditoleransi.
Penyerang Manchester United, Marcus Rashford, mendesak agar Twitter mengambil langkah yang lebih tegas untuk melawan rasialisme.
"Cukup, ini harus berhenti @Twitter," tulis Rashford melalui akun resmi pribadinya.
"Manchester United adalah keluarga. @paulpogba adalah bagian dari keluarga tersebut. Anda menyerang dirinya, berarti Anda menyerang kami semua... @ManUtd."
https://twitter.com/MarcusRashford/status/1163745605761609728
Hal senada ditulis rekrutan anyar Setan Merah, Harry Maguire. Dia bahkan menilai sudah saatnya perusahaan-perusahaan media sosial, seperti Twitter dan Instagram, memfilter para pemilik akun.
"Menjijikan. Sosial media harus melakukan sesuatu tentang ini. Setiap akun yang dibuat harus diverifikasi menggunakan paspor atau izin mengemudi. Hentikan orang-orang menyedihkan ini membuat banyak akun untuk menyerang orang lain," tegas dirinya.
https://twitter.com/HarryMaguire93/status/1163742515218046976
Media sosial seperti menjadi arena baru bagi pertempuran sepakbola melawan rasialisme. Pogba adalah pemain Liga Primer Inggris kedua yang diketahui mendapatkan serangan rasialisme melalui media sosial dalam kurun kurang lebih sepekan. Sebelumnya, bintang muda Chelsea, Tammy Abraham, bernasib serupa. Penyerang Chelsea tersebut diserang setelah eksekusinya gagal dalam babak adu penalti Final Piala Super Eropa melawan Liverpool.
Bukan hanya para pesepakbola papan atas yang menjadi korban. Gelandang Reading, Yakou Meite, turut mendapatkan serangan rasialisme karena tendangan penaltinya gagal ketika Reading bertemu Cardiff City akhir pekan lalu di ajang Championship.
Kelompok anti-diskriminasi dalam sepakbola, Kick It Out, menilai diskriminasi dan rasialisme melalui media sosial sudah tak terkendali. Hal ini terbukti dari laporan yang mereka rilis pada Juli lalu. Diketahui bahwa jumlah aksi rasialisme di Inggris meningkat sebanyak 43% jika dibandingkan dengan musim 2017/18 (192 naik menjadi 274 kasus). Sebanyak 159 laporan di antaranya melalui media sosial.
"Tanpa aksi cepat dan sekeras mungkin, tindakan pengecut ini hanya akan semakin bertumbuh," tulis Kick It Out dalam pernyataan resminya. Kabar baiknya, pihak Twitter telah bersedia untuk bertemu dengan Kick It Out untuk membahas masalah diskriminasi dalam media sosial lebih lanjut.
Tentu, menghapus diskriminasi dan rasialisme di media sosial bukanlah perkara mudah, namun ketersediaan dan keterbukaan perusahaan media sosial untuk mendengarkan pendapat bisa menjadi awal bagi situasi yang lebih baik kedepannya.
Beberapa Hari terakhir juga urusan rasisme terdengar keras di negeri kita. Memang kasus penghinaan terhadap Papua yang terjadi bukan terjadi di sepakbola, tapi perlakuan yang sama haruslah dilakukan di setiap lini kehidupan. Sepakbola sebaiknya menjadi kampanye yang baik dalam urusan memerangi rasialisme. Karena itu, setiap ucapan atau tindakan yang arahnya merendahkan derajat atau martabat manusia, termasuk mengenai ras atau suku merupakan hal berbahaya dan harus ditolak. Sepakbola juga mempunyai kontribusi penting untuk menghilangkan ini.
Komentar