Oleh: Pasang Budy All Shodiq
Liga 1 sepakbola wanita di Indonesia telah dilaksanakan dalam seminggu terakhir. Setelah sekian lama terbenam, antusias terhadap sepakbola wanita di Indonesia mulai timbul lagi. Apakah banyak di antara Anda yang mengetahui jika sepakbola wanita di Indonesia pernah berjaya? Saya akan mengulas mengenai Buana Putri, salah satu klub sepakbola wanita di Indonesia yang pernah berdiri podium di tingkat Asia.
Kita tentu mengenal Persija, tim ibukota yang memiliki banyak prestasi dan menjadi kebanggaan warga Jakarta saat ini. Namun selain Persija, Jakarta pernah memiliki tim kesebelasan wanita yang prestasinya tidak kalah mentereng dengan Persija, yakni Buana Putri.
Buana Putri terbentuk berkat kemunculan tim sepakbola wanita sebelumnya, yaitu Putri Priyangan. Buana Putri adalah tim sepakbola wanita yang didirikan oleh Dewi Wibowo, istri dari pemilik perusahaan koran Bharata Yudha. Dewi Wibowo ini yang pada akhirnya menjadi ketua dari Liga Sepakbola Wanita (Galanita) atau BKSW (Badan Kerjasama Sepakbola Wanita) (Shodiq, 2019:45).
Maraknya klub sepakbola wanita di Bandung memberikan dampak terhadap kota sebelah, Jakarta. Pemilik Koran Buana langsung merespon dengan mendirikan klub sepakbola wanita yang diberi nama Buana Putri. Tim Buana Putri ini pun melengkapi tim yang dinaungi oleh Koran Buana yang sebelumnya memiliki tim putra yang bernama Buana Putra. Selain respon atas berdirinya tim sepakbola putri di Bandung, Buana Putri memiliki tujuan untuk memperbesar nilai pasar daripada Koran Buana. Pada Koran Buana, kegiatan sepakbola di Tim Buana Putra maupun Buana Putri diliput dan menjadi keuntungan yang besar bagi perusahaan Koran Buana. Sehingga hasil yang didapatkan dari koran tersebut mampu untuk memberi fasilitas kepada para pemain Buana Putra maupun Buana Putri.
Buana Putri terbentuk dari kelompok pemudi yang dulu memiliki sebutan RIC (Remaja Indonesia Club). Di dalamnya, terdapat atlet-atlet putri berbakat yang ada di wilayah Ibukota Jakarta (Shodiq, 2019: 46). Oleh sebab itu, Buana Putri tidak pernah kekurangan atlet-atlet berbakat.
Buana Putri kemudian berhasil mendominasi setiap ajang pertandingan sepakbola putri di Indonesia. Putri Priyangan bahkan banyak kehilangan pemainya karena pemain yang bagus berhijrah ke Tim Buana Putri.
Hal tersebut membuat Buana Putri menjadi Ratu Sepakbola Indonesia pada kurun waktu 1970-an hingga 1990-an akhir. Sebelum terbentuknya timnas sepakbola wanita, Buana Putri selalu mewakili Indonesia dalam beberapa kejuaraan internasional. Hasilnya pun cukup membanggakan, menempati peringkat 4 dalam kejuaraan Asia di Hongkong (anonim, 1990: VII). Selain itu, Buana Putri juga selalu menjadi juara di setiap turnamen yang ada di Indonesia, seperti Piala Kartini, Piala Gubernur DKI, dan Piala Invitasi Galanita (Piala Bu Tien Soeharto).
Prestasi Buana Putri pada waktu itu tak lepas dari kuatnya manajemen dari Buana Putri. Tim Buana Putri ditukangi oleh Muhardi, mantan pemain Buana Putra dan pelatih timnas wanita Indonesia periode 1980 hingga 1990-an akhir. Pola latihan seperti sepakbola laki-laki dan ditambahi dengan latihan bela diri yang diterapkan oleh Muhardi inilah yang membuat Buana Putri selalu menjadi langganan juara. Selain itu, fasilitas yang diberikan manajemen kepada pemain juga memadai. Pemain mendapatkan angkutan khusus untuk penjemputan ditambah uang untuk transport yang membuat para pemain memiliki semangat tinggi untuk berlatih.
Selain itu, Buana Putri juga memiliki peran yang krusial dalam memperkenalkan sepakbola wanita yang notabene olahraga baru bagi kaum hawa di Indonesia. Peran tersebut dilakukan ketika Tim Buana Putri masuk dalam salah satu scene film WARKOP DKI yang berjudul “Maju Kena Mundur Kena”. Pada film tersebut, dalam sebuah scene membahas jargon “Mengolahragakan Masyarakat dan Memasyarakatkan Olahraga”, yang saat itu menjadi Trending Topic di masyarakat Indonesia. Pada beberapa menit terakhir dalam film tersebut dipertontonkan pertandingan sepakbola wanita yang pemeranya adalah para pemain Buana Putri (Arizal, 1983: film).
Buana Putri pada kurun waktu 1970 hingga 1990-an akhir menjadi salah satu tim terkuat yang ada di Indonesia. Namun setelah adanya kerusuhan 1998, sepakbola wanita seolah-olah lenyap, begitu juga Buana Putri. Prestasi Buana Putri terus merosot dan saat itu keadaan tim-tim lain pun juga sama, mengalami kemandegan. Selain masalah ekonomi yang bergejolak, pada waktu itu regenerasi pemain yang kurang mumpuni menjadi faktor yang sangat mempengaruhi perkembangan sepakbola wanita di Indonesia. Sekarang, Buana Putri hanya tinggal kenangan, tim ibukota yang mendominasi sempat memiliki dominasi di persepakbolaan wanita di Indonesia sekarang tenggelam dalam kenangan.
Daftar Pustaka
Pasang Budy All Shodiq, “ Emansipasi Olahraga: Wanita dalam Sepakbola Indonesia Pada Masa Orde Baru”, Skripsi S-1 oleh Jurusan Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada, 2019.
Anonim, Kenangan Piala Kartini IV tahun 1990.
Arizal, “Maju Kena Mundur Kena”, Film WARKOP DKI, 1983, menit 1:26:56 – 1:32:34.
Wawancara
Muhardi, wawancara, 27 Desember 2018
*Penulis aktif di media sosial dengan akun @all_budy
**Tulisan ini merupakan hasil kiriman penulis melalui kolom Pandit Sharing. Segala isi dan opini yang ada dalam tulisan ini merupakan tanggung jawab penulis.
Komentar