Liverpool datang ke Stadion Old Trafford, Minggu (20/10/2019), dengan reservasi tiga poin. Delapan kemenangan beruntun, ditambah kondisi Manchester United yang berantakan, menjadikan mereka favorit untuk memenangi pertandingan.
Faktanya berbeda. Mereka hanya mampu membawa pulang satu poin. Mengutip pernyataan Jose Mourinho, "Ia (Jürgen Klopp) tidak menyukai sajiannya. Ia menyukai daging, tetapi mendapatkan ikan."
Mourinho tidak salah. Klopp sendiri mengkritik taktik yang diterapkan Ole Gunnar Solksjær. "Ketika kami datang kesini, mereka hanya bertahan," tutur pria yang belum pernah menang dalam lima lawatannya ke M16 tersebut.
Padahal, Klopp seharusnya senang. Jangan biarkan persentase penguasaan bola pada waktu penuh, yang 67,9% dimiliki Liverpool, membuat Anda terkecoh. Sesungguhnya, Liverpool mampu mencetak gol (penyeimbang) justru ketika Man United terlalu sibuk bertahan.
Babak Pertama: Wing-Back Man United vs Full-Back Liverpool
Man United mengawali pertandingan dengan formasi 3-4-1-2. Tujuannya jelas: menetralisasi pergerakan duo full-back Andrew Robertson dan Trent Alexander-Arnold. Keduanya tercatat sebagai bek penyumbang asis terbanyak (14), terhitung sejak Premier League musim 2018/19.
Nama terakhir merupakan salah satu kunci penyerangan Liverpool, menjadi pemain yang paling banyak menciptakan peluang (28) dalam delapan laga Premier League. Ia unggul 13 peluang dengan Mohamed Salah sebagai pencipta terbanyak kedua, yang kebetulan absen dalam pertandingan ini.
Alexander-Arnold total melepaskan delapan umpan di Old Trafford. Namun, tak satupun berhasil menemui rekan satu timnya.
Pemain berusia 21 tahun tersebut memang selalu kesulitan setiap kali kesebelasan lawan turun dengan lima bek. Contohnya, ketika menghadapi Sheffield United, Ia tidak mampu menciptakan peluang dari permainan terbuka dan tidak sekalipun menyentuh bola di dalam kotak penalti lawan.
Statistik Opta menunjukkan Alexander-Arnold mencatatkan enam peluang besar dalam lima laga Premier League menghadapi formasi empat bek. Namun, empat kali berhadapan dengan formasi lima bek, Ia hanya menciptakan satu.
Tentu, Liverpool bukan hanya tentang Robertson dan Alexander-Arnold. Untuk itu, Solksjær menugaskan Victor Lindelöf, Harry Maguire, dan Marcos Rojo untuk senantiasa menggangu pergerakan trio penyerang Sadio Mane, Roberto Firmino, dan Divock Origi.
Di saat bersamaan, taktik ini memampukan Man United mengeksploitasi ruang yang ditinggalkan oleh Robertson dan Alexander-Arnold. Lihatlah prosesi terjadinya gol pembuka Marcus Rashford: Lindelöf mencuri bola dari Origi-terlepas dari kontroversi pelanggaran atau tidak-yang kemudian diteruskan oleh Scott McTominay kepada Daniel James.
Ketika bola berada di kaki pemain asal Wales tersebut, sisi kanan pertahanan Liverpool kosong melompong; Robertson jauh di depan. James, dengan kecepatan larinya, terlalu sulit dikejar Georginio Wijnaldum.
Situasi ini memaksa Virgil van Dijk bergerak untuk meminimalisir ruang James. Alhasil, hanya Joel Matip yang menjaga Rashford di dalam kotak penalti, dan hal itu tidak cukup. Umpan matang James sukses diteruskan oleh Rashford ke dalam gawang Liverpool.
Sepanjang babak pertama, Liverpool dan Man United sama-sama mencatatkan empat peluang (dua di antaranya mengarah ke gawang). Persentase penguasaan bola juga tidak terlalu jauh (Man United 43,2%-Liverpool 56,2%). Hal ini menunjukkan bahwa sesungguhnya pressing ketat Man United sukses merepotkan Liverpool.
Untuk itu, The Red Devils patut berterima kasih kepada Andreas Pereira yang bermain di antara para gelandang dan penyerang Man United. Ia memang sempat membuang beberapa peluang, tetapi sukses menjalankan tugas utamanya: mengganggu Fabinho. Intensitas Fred dan McTominay dalam membatasi operan Jordan Henderson dan Wijnaldum pun pantas diapresiasi.
Liverpool memang tidak bermain seeksplosif biasanya. Absennya Salah bisa jadi faktor krusial. Apalagi, Origi tampil impoten. Ia gagal mencatatkan satupun tendangan sepanjang babak pertama. Namun, mengatakan bahwa Liverpool tak bertaji tentu merupakan sebuah kesalahan.
Firmino sempat mendapatkan peluang emas. Ia berdiri bebas ketika menerima operan Mane, tetapi tendangannya terlalu lemah dan mudah diantisipasi David de Gea.
Mane sendiri sempat mencetak gol. Meski dianulir oleh Video Assistant Referee karena terbukti bola menyentuh tangannya terlebih dahulu, hal ini menunjukkan kemampuan Liverpool untuk menciptakan peluang.
Babak Kedua: Kesempatan Liverpool Diberikan oleh Man United
Mengetahui potensi lini depan The Reds, Solksjær `main aman` di babak kedua. Ia mengubah formasi menjadi 4-3-3, dan kemudian menjadi 4-5-1.
Keputusan pria asal Norwegia tersebut sebenarnya tidak sepenuhnya buruk. Man United adalah salah satu tim dengan pertahanan terbaik di Premier League sejauh ini. Mereka baru kemasukan 9 gol (sama dengan Manchester City dan Sheffield), hanya kalah dari Liverpool (7) dan Leicester (8).
Solksjær juga tahu bahwa timnya selalu mampu mengancam lewat serangan balik. Peluang yang didapatkan Rashford pada menit ke-67 adalah buktinya.
Permasalahannya, dengan bermain lebih ke dalam, Man United memudahkan Liverpool mendorong bola ke sepertiga akhir lapangan. Klopp cukup jeli melihat kesempatan. Ia mengganti Origi dan Henderson dengan Alex Oxlade-Chamberlain dan Adam Lallana, seraya mengubah formasi menjadi 4-2-4.
Dapat dikatakan, Man United termakan strateginya sendiri. Tidak seperti babak pertama, mereka nampak kebingungan untuk menjaga pergerakan pemain Liverpool. Ketika Robertson mendapat operan yang berujung dengan gol Lallana, Ia berdiri bebas tanpa penjagaan, baik dari Pereira maupun Wan-Bissaka.
Pada akhirnya, Man United memang berhasil memperlambat laju Liverpool dalam perebutan titel juara. Namun, ini tetap terasa seperti kehilangan dua poin ketimbang mengamankan satu poin.
Di sisi lain, Liverpool mendapatkan pelajaran penting. Man United pasti bukan tim terakhir yang menggunakan strategi ini. Mereka harus mampu menemukan cara untuk mengatasinya secara lebih nyaman dan meyakinkan jika tak ingin tersusul Man City.
Komentar