Membicarakan 1.Bundesliga tak akan pernah lepas dari Bayern Munchen. Die Roten adalah kesebelasan paling dominan di divisi tertinggi sepakbola Jerman dengan mengoleksi 29 gelar juara, termasuk tujuh yang mereka raih secara beruntun sejak 2012 hingga 2019. Setelah menjalani 14 pertandingan di 1.Bundesliga 2019/2020, Bayern terlempar ke peringkat ketujuh klasemen sementara. Bayern terpaut tujuh poin dari pemuncak sementara Borussia Monchengladbach.
Namun, Bayern tetap mendapatkan sorotan utama. “Apa yang salah dengan Bayern?”. “Semua akan Bayern pada waktunya”. Sampai akhirnya Monchengladbach menekuk Bayern 2-1 di Borussia-Park (7/12). Mulai tumbuh rasa percaya bahwa 1.Bundesliga bukan lagi milik Bayern. Padahal, hal ini sudah bisa dilihat dari musim 2018/2019 saat kesebelasan yang dikenal sebagai FC Hollywood itu harus berjuang mati-matian menyalip Borussia Dortmund untuk mempertahankan takhta juara.
1.Bundesliga 2019/2020 bukanlah milik Bayern Munchen, bukan juga Borussia Dortmund, melainkan Borussia Monchengladbach yang bersinar di puncak klasemen. Anak-anak asuh Marco Rose berhasil mengumpulkan 31 poin dari 10 kemenangan dan satu hasil imbang. Hingga pekan ke-14, Die Fohlen, julukan Monchengladbach, hanya unggul satu poin dari pesaing terdekat mereka RB Leipzig. Namun, Marcus Thuram dan kawan-kawan berada cukup jauh dari Bayern (24 poin) dan Dortmund (26).
VIDEO: Pertandingan pertama Bayern Munich di Bundesliga vs Monchengladbach
Keberhasilan Monchengladbach ini bukanlah sebuah kebetulan. Performa Bayern yang jauh dari standar dan inkonsistensi Dortmund memang membantu Monchengladbach bisa ada di posisi ini. Namun, hal tersebut hanya faktor pembantu, bukan faktor utama. Terakhir menjuarai 1.Bundesliga pada 1976/1977, Monchengladbach bisa dibilang telah berusaha kembali ke habitat mereka sejak 2008/2009. Promosi dari 2.Bundesliga sebagai juara liga, Die Fohlen menjadikan Rob Friend, Michael Bradley, dan Marko Marin, sebagai tumpuan utama mereka.
Marin pergi di musim panas 2009, tapi Juan Arango, Raul Bobadilla, dan Marco Reus datang untuk membuat Monchengladbach tetap kompetitif. Ditambah dengan daya gedor penyerang Belgia, Igor de Camargo, Die Fohlen terus mendobrak tatanan 1.Bundesliga, berusaha kembali ke habitat mereka.
Mengakhiri musim 2011/2012 di peringkat keempat klasemen akhir 1.Bundesliga adalah puncak dari usaha kelompok pertama ini. Setelah itu pemain-pemain andalan Monchengladbach berpencar. Camargo pergi ke TSG Hoffenheim, Reus diboyong Dortmund, menyusul Bobadilla dan Bradley yang lebih memilih angkat koper dari Borussia-Park.
Lucien Favre sebagai otak dari keberhasilan Monchengladbach di atas lapangan berusaha membangun angkatan berikutnya. Ia mengandalkan Granit Xhaka, Alvaro Dominguez, Raffael, Max Kruse, Thorgan Hazard, Andre Hahn, dan Yann Sommer. Kehilangan De Jong dan Marc-Andre ter Stegen, sempat memberi pukulan untuk Monchengladbach. Namun Favre selalu berhasil mendaratkan pengganti sepadan. Die Fohlen pun mengakhiri musim 2014/2015 di peringkat ketiga klasemen akhir 1.Bundesliga.
Selama diasuh Favre, Monchengladbach tidak sekalipun mengakhiri liga di luar 10 besar, kecuali pada 2010/2011, saat nakhoda asal Swiss tersebut masuk di tengah musim menggantikan Michael Frontzeck. Memiliki kendali penuh selama empat musim (2011-2015), posisi terendah yang pernah ditempati Die Fohlen adalah peringkat delapan. Mereka dua kali menembus empat besar, bahkan dua kali lolos ke Liga Champions UEFA.
Mengawali musim 2015/2016 dengan lima kekalahan beruntun, Favre akhirnya mengundurkan diri dari Borussia-Park. Ia pergi dengan terhormat, telah mengembalikan Monchengladbach sebagai kesebelasan yang diperhitungkan di Jerman. “Setelah berpikir panjang, saya akhirnya memutuskan untuk mundur dari Monchengladbach. Ini adalah waktu yang tepat bagi klub melakukan perubahan. Saya sudah tak merasa layak menangani klub ini,” kata Favre.
Keputusan itu pun memukul Monchengladbach. “Saya berharap dia tetap bertahan di bersama kami. Keputusan Favre adalah pukulan telak bagi kami. Ia telah memberikan kesuksesan untuk klub ini dalam empat setengah tahun bersama. Sangat disayangkan semuanya harus berakhir di sini,” ungkap Presiden Monchengladbach, Rolf Koenigs.
André Schubert yang ditunjuk sebagai pengganti Favre berhasil mempertahankan Die Fohlen sebagai penghuni empat besar di akhir musim 2015/2016. Namun, setelah hanya mengoleksi 16 poin di paruh pertama 2016/2017, Schubert ditendang. Dieter Hecking yang kenyang pengalaman di 1.Bundesliga dari menangani Alemannia Aachen (2004-2006) hingga menjuarai DFB Pokal 2014/2015 bersama Wolfsburg dipercaya untuk mengisi pos Schubert.
Menangani Monchengladbach selama tiga musim, Hecking sebenarnya tidak buruk. Ia selalu berhasil membawa Die Fohlen masuk 10 besar. Dirinya juga mendatangkan kembali Christophe Kramer dan Raul Bobadilla yang sebelumnya pernah diasuh Favre. Namun, pencapaian terbaik Hecking hanya peringkat kelima klasemen akhir, masih di bawah standar Monchengladbach yang sudah dipasang oleh Favre.
Kemudian muncullah Marco Rose, pelatih yang sebelumnya baru memiliki pengalaman menangani RB Salzburg. Monchengladbach sudah kehilangan beberapa pemain penting sebelum Rose datang, Nico Schultz, André Hahn, Mahmoud Dahoud, Vincenzo Grifo, Jannik Vestergaard, semua sudah pergi dari Borussia-Park. Bahkan Thorgan Hazard menyusul Dahoud dan Reus ke Dortmund.
Namun, mungkin pengalaman sebagai nakhoda RB Salzburg membantu Rose memanfaatkan pemain-pemain yang ada. Salzburg bukan lagi kesebelasan utama Red Bull sejak RB Leipzig promosi ke divisi tertinggi sepakbola Jerman. Ia sudah terbiasa kehilangan talenta-talenta berkelas, bukan berarti tim asuhannya kalah kelas.
Mengasuh Monchengladbach, ia hanya mendatangkan Breel Embolo, Marcus Thuram, Ramy Bensebaini, Max Grün, dan Stefan Lainer. Sisanya adalah peninggalan pelatih terdahulu. Bahkan 10 dari 29 pemain yang ia miliki di musim 2019/2020 sudah membela Die Fohlen sejak era Lucien Favre. Mereka tahu di mana habitat Monchengladbach yang sebenarnya dan memudahkan kerja Rose di Borussia-Park.
Gaya permainan Rose yang sesuai dengan pemain-pemain yang ia miliki, ditambah sejarah klub sebagai salah satu tim terbaik Jerman di 1970-an membuat pencapaian Borussia Monchengladbach di paruh musim pertama 2019/2020 bukan sebuah kejutan. Akan tetapi kedua hal itu layak ditulis sebagai artikel terpisah. Dari sini, setidaknya terlihat bahwa keberhasilan Monchengladbach adalah buah dari proses panjang.
Tidak jauh berbeda dengan kesebelasan lain, Bayern Munchen merasakan kesuksesan saat Thomas Mueller, Mats Hummels, Jerome Boateng, dan Manuel Neuer, tengah ada di masa-masa terbaiknya. Mereka kini tidak lagi ada di level yang sama. Nueur sudah mulai dicarikan pengganti. Boateng secara terbuka ingin dibuang oleh Bayern. Bahkan Hummels sudah dikembalikan ke Dortmund. Nicklas Sule, Serge Gnabry, dan Alphonso Davies, sedang dibentuk untuk menjadi tulang punggung Die Roten.
Dortmund juga demikian. Mereka sempat memetik hasil dari Shinji Kagawa, Robert Lewandowski, Ivan Perisic, dan lain-lain. Mereka sedang membangun angkatan emas berikutnya lewat Jadon Sancho dan kawan-kawan. Saat mereka sibuk membangun dan Bayern mulai kehabisan bensin, giliran Borussia Monchengladbach yang naik.
Die Fohlen memang bukan salah satu klub original 1.Bundesliga. Mereka baru mendapat kesempatan main di divisi tertinggi sepakbola Jerman pada 1965/1966, musim ketiga 1.Bundesliga, tapi begitu juga dengan Bayern. Kedua kesebelasan tersebut bersinar di atas lapangan pada periode 1970-an. Mereka membentuk rivalitas, bertarung memperebutkan gelar. Monchengladbach sempat terpuruk sampai harus terdegradasi ke 2.Bundesliga. Namun kini, mereka kembali ke habitat dengan kembali menjadi memperebutkan gelar 1.Bundesliga!
Komentar