Sudah layak dan sepantasnya untuk pesepakbola bersabar menunggu giliran. Mengadu nasib di industri yang gemar memberikan beban besar kepada talenta-talenta muda, berlatih, belajar, dan duduk hingga kesempatan datang merupakan hal paling masuk akal untuk pemain belia menjaga kemampuan mereka. Sudah berapa banyak “penerus Cristiano Ronaldo” atau “Messi selanjutnya” yang gagal merasakan fase terbaik karier mereka karena dibebankan ekspektasi dan terlalu dieksploitasi?
Tapi, banyak juga pemain muda potensial yang rajin membuktikan kualitasnya saat latihan ataupun di dalam pertandingan dan masih saja gagal mendapatkan kesempatan lebih. Penyerang Everton Dominic Calvert-Lewin masuk ke dalam kategori ini. Sama seperti Gabriel Barbosa, Martin Odegaard, dan Mason Greenwood. Bedanya, Calvert-Lewin bermain untuk Everton, kesebelasan yang mendapat sorotan lebih rendah dibandingkan Inter Milan, Real Madrid, dan Manchester United.
Sejak Carlo Ancelotti datang ke Goodison Park untuk menggantikan Marco Silva, nama Calvert-Lewin langsung menjadi buah bibir di sepakbola Inggris. Bahkan rumornya, Manchester United mengincar pemain kelahiran 16 Maret 1997 itu setelah gagal mendapatkan tanda tangan penyerang sensasional Norwegia, Erling Braut Haaland. Padahal, Calvert-Lewin bukanlah nama baru di Liga Primer Inggris.
Bersama Ancelotti, Everton berhasil meraih kemenangan beruntun pertama mereka di Liga Primer Inggris 2019/2020. Mengalahkan Burnley 1-0 dan menang 2-1 atas Newcastle United dalam periode sibuk sepakbola Inggris. Semua gol Everton tersebut dicetak oleh Calvert-Lewin. Membuat dirinya menjadi pemain paling produktif di divisi tertinggi sepakbola Inggris selama Bulan Desember (5 gol). Tidak bisa dipungkiri lagi, dirinya adalah penyerang utama The Toffees.
https://twitter.com/SkySportsStatto/status/1211041050556538880">
https://twitter.com/SkySportsStatto/status/1211041050556538880
Sedikit yang menyangka bahwa Calvert-Lewin akan bisa ada di titik setinggi ini. Tergabung dalam Tim Nasional Inggris U20 yang menjuarai Piala Dunia 2017, Calvert-Lewin kalah populer dibanding Dominic Solanke, ataupun Ademola Lookman di lini depan tim asuhan Paul Simpson. Ia hanya tampil 468 menit dari tujuh partai yang dijalani Inggris di turnamen tersebut. Lebih sedikit dibandingkan Lookman (489’) dan Solanke (602’).
Tapi ketika Solanke redup di Bournemouth (0 gol/17 pertandingan/862’), dan duduk manis di bangku cadangan RB Leipzig, Calvert-Lewin justru menggila bersama Everton. Sebuah penantian lama setelah tiga manajer berbeda, Ronald Koeman, Sam Allardyce, dan Marco Silva yang selalu merasa penyerang asal Kota Sheffield itu belum siap menjadi tumpuan lini depan the Toffees.
Jangan salah, ketiga nama di atas bukan tidak melihat potensi Calvert-Lewin. Mereka hanya merasa ada nama yang lebih pantas untuk memimpin lini depan tim asuhannya. Calvert-Lewin datang ke Goodison Park bersama Lookman di masa transisi klub. Kedatangan investor mayoritas baru, the Toffees berniat untuk mengguncang peta persaingan Liga Primer Inggris. Menunjuk Ronald Koeman sebagai juru taktik mereka.
Secara kasat mata, Koeman adalah sosok yang mendaratkan Calvert-Lewin. Tapi Koeman hanya melihat Calvert-Lewin sebagai “bagian dari masa depan klub”, bukan untuk sekarang. Dirinya bahkan lebih sering memberikan jam terbang kepada Enner Valencia yang berstatus pemain pinjaman dibandingkan Calvert-Lewin. Kedatangan Theo Walcott, Wayne Rooney, Sandro Ramirez, dan Richalison juga tidak membantu kasus Calvert-Lewin. Big Sam ataupun Marco Silva mengaku senang dengan kinerja Calvert-Lewin, tapi ia selalu saja dianggap belum siap untuk menjadi pilihan utama.
Ia sudah membuktikan diri kepada Silva sejak 2018/2019. Dirinya mampu mencetak gol meski hanya bermain delapan menit melawan Crystal Palace. Bahkan membobol gawang AFC Bournemouth walau hanya tiga menit berada di atas lapangan. Cedera lutut yang dialami Cenk Tosun baru memaksa Silva menjadikan Calvert-Lewin sebagai tandem Richarlison di lini depan the Toffees.
Silva mencari penyerang baru di musim panas 2019, mendatangkan Moise Kean dari Juventus. Calvert-Lewin tetap diberi jam terbang, bahkan lebih sering main dari menit pertama, tapi hanya karena Kean masih dalam fase adaptasi. Setelah Tosun kembali sehat, Calvert-Lewin pun duduk lagi, menghangatkan bangku cadangan.
Calvert-Lewin datang ke Goodison Park dengan predikat pemain potensial Sheffield United. Walaupun hanya tampil 12 kali di tim senior the Blades, Nigel Clough, Adkins, dan Chris Wilder sepakat Calvert-Lewin adalah pemain hebat. Wilder bahkan mengaku bahwa dirinya menyesal sudah melepas pemain asli Sheffield tersebut ke Everton.
“Penyesalan saya di sini [Sheffield United] hanya satu, mengapa klub harus melepas pemain-pemain hebat seperti Dom [Calvert-Lewin], Aaron Ramsdale, dan David Brooks (Bournemouth),” aku Wilder kepada FourFourTwo.
Sheffield United adalah salah satu distributor talenta langganan Everton, hanya Manchester City, dan Manchester United yang lebih sering mengirim pemain ke Mersyside Biru daripada the Blades. Senior-senior Calvert-Lewin, mendapatkan pengakuan di Goodison Park. Phil Jagielka bahkan pernah menjadi kapten the Toffees. Tapi, Calvert-Lewin selalu saja dipandang sebelah mata.
Manajer Akademi Everton, David Unsworth mengakui bahwa pemain-pemain muda memang lebih sulit mendapatkan jam terbang di tim senior. Apalagi setelah pemilik klub, Farhad Moshiri, memberi amanat untuk menjadi kesebelasan yang diakui di Inggris dan Eropa.
“Sejak Calvert-Lewin mendarat, saya tahu dia adalah sosok yang dibutuhkan tim ini. Saya sudah mengenal dirinya sejak masih di Sheffield. Dirinya adalah pribadi ramah, selalu ingin belajar jadi pesepakbola profesional, dan lapar. Dia bisa menjadi salah satu pemain terbaik dunia, akan tetapi membutuhkan keberuntungan,” buka Unsworth kepada the Athletic.
“Butuh manajer yang memiliki dukungan kuat dan berani memainkan pemain-pemain muda agar talenta Calvert-Lewin dapat sampai di level tersebut,” lanjutnya seakan mengkritik keputusan manajer-manajer terdahulu yang lebih memilih mendatangkan penyerang lain dibanding memaksimalkan potensi Calvert-Lewin.
Calvert-Lewin adalah penyerang dengan etos kerja tinggi. Dirinya tidak pernah berlari mencari ruang, menekan lawan, ataupun mengejar bola. Semangat itu selalu ia perlihatkan di atas lapangan. Namun, nama-nama lain yang sudah didatangkan dengan dana besar juga membutuhkan jam terbang. Melihat Calvert-Lewin hanya semangat berlari-lari di atas lapangan tanpa mencetak gol, membuat Silva, Big Sam, ataupun Koeman, merasa pemain binaan Unsworth itu tak lebih layak dibandingkan Richarlison, Tosun, dan Valencia.
Padahal, kegagalan Calvert-Lewin mencetak gol bukan murni kesalahannya. Menurut pengamatan Greg O`Keeffe dan Patrick Boyland dari the Athletic, di awal musim 2019/2020, Calvert-Lewin jarang diberikan bola oleh Gylfi Sigurdsson. Padahal gelandang asal Islandia itu adalah otak utama dari serangan Everton. Apabila pemain yang bertugas mengatur serangan, distributor utama, jarang memberikan bola ke ujung tombak tim, bagaimana mereka bisa menikam gawang lawan?
Nasib Calvert-Lewin di Everton baru mengalami perubahan sejak Duncan Ferguson dipercaya mengasuh the Toffees. Ferguson mengubah sistem permainan Everton yang biasa mengandalkan satu penyerang di masa kepelatihan Marco Silva, jadi 4-4-2. Selama diasuh Silva, Everton mungkin lebih fokus untuk tampil ‘indah’, menguasai bola, bermain oper-operan pendek, namun hasilnya minim. Big Dunc meminta para pemain untuk main lebih cepat, tak perlu indah, selama efektif.
Ia pun meminta Richarlison dan Calvert-Lewin bermain sesuai karakter masing-masing. Berduet di lini depan the Toffees, mereka diberi kebebasan oleh Ferguson. Calvert-Lewin pun jadi lebih terlibat dalam pertandingan. Tak pernah lelah mengejar bola, ia melakukan 50 sentuhan, 13 kali memenangkan duel, dan mencetak dua gol ketika Everton mengalahkan Chelsea 3-1.
Sementara Richarlison menggunakan kebebasan yang didapat dari Ferguson untuk menarik perhatian lawan, memberi ruang kosong untuk dieksploitasi Calvert-Lewin. Hasilnya, sejak ditinggal Silva, Everton belum sekalipun menelan kekalahan di Liga Primer Inggris. Selama diasuh Big Dunc, the Toffees menang lawan Chelsea, juga menahan imbang Arsenal dan Manchester United. Ancelotti datang, mereka meraih kemenangan beruntun pertamanya di Liga Primer Inggris 2019/2020.
Calvert-Lewin tidak membutuhkan embel-embel ‘penerus Rooney’, ‘Vardy berikutnya’, ataupun label lainnya untuk mendapatkan jam terbang (Eh hem, Bruma..). Calvert-Lewin sudah terlalu lama disebut bagian dari masa depan Everton. Ia sudah lelah menunggu masa depan dan membuktikannya sekarang!
Diasuh manajer yang dihormati seperti Carlo Ancelotti dan mendapat dukungan dari legenda Everton seperti Duncan Ferguson, kesabaran Calvert-Lewin akhirnya terbayarkan. “Dia punya segalanya untuk menjadi penyerang yang ditakuti di Inggris, bahkan Eropa,” puji Ancelotti usai mengalahkan Newcastle United (28/12).
Komentar