Oleh: Renata Melati Putri
Surabaya, 7 Februari 2020. Spanduk bernada satir “Piala Dunia sementara, Persebaya selamanya” sempat beredar di berbagai penjuru kota Surabaya. Belum lagi unggahan senada juga sempat meramaikan jagat media sosial.
Ungkapan ini sebenarnya bukannya tanpa alasan. Pada pertengahan Januari 2020, grup suporter tim sepakbola Persebaya Surabaya, Bonek, sempat dibuat gusar karena sulitnya memperoleh izin menggunakan dua stadion kebanggaan kota Surabaya, Gelora Bung Tomo (GBT) dan Gelora Sepuluh November (G10N). Alasannya adalah kedua stadion tersebut akan melalui proses renovasi sepanjang tahun 2020.
Namun, ungkapan tersebut sempat menjadi polemik, karena banyak pihak yang salah mengartikan ungkapan hati para Bonek sebagai gerakan menolak Piala Dunia FIFA U-20 di tahun 2021 mendatang. Koordinator Bonek tribun utara, Husin Ghozali, memberikan klarifikasi jika tidak pernah ada kesepakatan antara koordinator untuk menolak Piala Dunia.
VIDEO: Update informasi sepakbola dunia
Kalimat tersebut sebenarnya dimaksudkan untuk menjadi dorongan semangat agar Bonek memperjuangkan tim kesayangannya dapat tetap berlaga di kota sendiri, tidak perlu menjadi ‘musafir’ karena perhelatan Piala Dunia.
Upaya Persebaya, yang juga mendapat dukungan solid dari Bonek, menuai hasil yang manis. Kesepakatan kedua belah pihak antara manajemen Persebaya dan Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya dapat dicapai, yaitu stadion GBT dan G10N dapat digunakan berselingan, secara bergantian.
Fenomena ini menarik untuk dikaji melalui kacamata para peneliti event olahraga. Karena, Pemkot Surabaya sudah mulai menunjukkan gejala-gejala “demam” dan Persebaya hampir saja menjadi korbannya.
Sindrom Bawaan Pesta Olahraga Dunia
Martin Mueller dalam penelitiannya di tahun 2015 bertajuk ‘Sindrom Pergelaran-Akbar: Mengapa Banyak Yang Salah Dalam Perencanaan Pergelaran-Akbar dan Apa Yang Harus Dilakukan Tentang Itu,’ pernah mengemukakan jika perhelatan olahraga akbar seperti Piala Dunia—tidak ketinggalan Olimpiade juga, sering datang membawa momok yang dia garis bawahi sebagai sindrom mega-event.
Terdapat lima tanda-tanda sindrom bawaan ini, pertama, overpromising benefits atau menjanjikan manfaat yang berlebihan dan tidak realistis. Janji-janji “manis“ ini biasanya berupa peningkatan ekonomi masyarakat sekitar dan pariwisata daerah. Kemudian, mengenai cost overrun, event olahraga sekelas Piala Dunia dan Olimpiade mempunyai kecenderungan untuk selalu menghabiskan biaya melebihi anggaran yang direncanakan di awal.
Ketiga, event takeover, adalah perubahan perencanaan tata kota secara signifikan untuk mengakomodasi pergelaran olahraga yang dimaksud. Terkadang, kondisi ini tidak sesuai dengan kebutuhan sosial dan ekonomi masyarakat di kota tersebut.
Selanjutnya, public risk-taking, adalah keadaan dimana pemerintah kota penyelenggara, pada akhirnya, bersedia menanggung resiko finansial yang timbul karena penyelenggaraan event tersebut, jika panitia pelaksana tidak mampu mengatasinya sendiri. Seringkali, pemerintah kota memang harus merogoh kantong dana dari pajak publik untuk mendukung event olahraga semacam ini.
Kelima, elite capture. Keadaan dimana event olahraga ini lebih memberikan keuntungan untuk kalangan elite saja. Hal ini menjadi ironi sebuah penyelenggaraan acara olahraga akbar yang banyak menjanjikan kesetaraan sosio-ekonomi untuk masyarakat sekitarnya. Namun, malah sebaliknya, pergelaran semacam ini justru lebih sering menguntungkan masyarakat kelas menengah-atas.
Gejala selanjutnya, event fix, ialah keadaan dimana pemerintah kota penyelenggara secara tiba-tiba mengadakan kegiatan renovasi dan pembersihan kota yang tidak lazim karena akan kedatangan banyak tamu ke kotanya. Hal ini juga biasanya rawan terjadi tindak korupsi karena pemerintah hanya mempunyai waktu yang singkat untuk menyiapkan kotanya. Maka untuk menyiasatinya, pihak kontraktor dan pemerintah biasanya menyiapkan banyak ‘pelicin’ untuk mempercepat proses birokrasi.
Biasanya event fix datang hampir dibarengi oleh gejala rule of exception, yaitu keadaan dimana pemerintah atau regulator mengeluarkan peraturan-peraturan baru untuk memberikan kelancaran pada kegiatan ‘pelicin’ tadi, agar proses birokrasinya tetap terkesan sesuai dengan rambu-rambu pemerintah.
Lalu, gejala apa yang muncul pada penyelenggaraan Piala Dunia U-20 di Surabaya?
Dalam tulisan kali ini, saya akan lebih banyak menyorot salah satu gejala dari sindrom ini, yaitu event takeover. Salah satu pertanda dari gejala tersebut adalah “terusirnya” masyarakat lokal dari lokasi diadakannya acara pesta olahraga ini (crowding-out). Penyebabnya adalah masyarakat lebih memilih menghindari keramaian yang disebabkan oleh para suporter yang datang ke kota mereka, sehingga masyarakat lokal memilih keluar kota untuk menghindari hiruk-pikuk event olahraga tersebut. Penyebab lain adalah terjadinya penggusuran pemukiman untuk mengakomodir pergelaran yang dimaksud.
Melalui kacamata Mueller, fenomena yang dialami Persebaya ini bisa jadi salah satu contoh bagaimana event takeover hampir saja “mengusir” tim kesayangan warga Surabaya dari kandangnya sendiri.
Memang sudah menjadi lumrah --atau mungkin dianggap lumrah-- ketika tim lokal malah terusir dari kandangnya. Bedanya, tim lokal biasanya harus libur selama beberapa pekan sebelum event berlangsung. Salah satu contohnya ketika perhelatan Piala Dunia FIFA 2014 di Brazil. Beberapa tim lokal harus geser ke tempat yang baru karena kandang mereka digunakan sebagai tempat latihan tim partisipan Piala Dunia. Sedangkan untuk bertanding, biasanya Piala Dunia sudah menyiapkan stadion khusus. Hanya saja, lain Piala Dunia senior, lain pula yang U-20.
Pada kasus Persebaya ini, hal ini terjadi karena Piala Dunia U-20 ini bisa dikatakan Piala Dunia sekunder. Dengan hanya diberi waktu persiapan dua tahun saja, pihak penyelenggara memanfaatkan infrastruktur yang sudah ada. Oleh sebab itu, Pemkot Surabaya memutuskan untuk menghentikan kegiatan di stadion GBT dengan alasan renovasi lapangan rumputnya, yang biasanya memakan waktu selama enam bulan.
Keputusan Pemkot Surabaya untuk menghapuskan seluruh kegiatan di GBT selama setahun penuh sudah cukup mengherankan pihak manajemen Persebaya dan Bonek. Belum lagi ditambah informasi jika Persebaya juga mendapatkan kesulitan perizinan di stadion G10N dan Gelora Delta di Sidoarjo. Perpaduan yang sangat ‘pas.‘
Bagaimana Persebaya Bisa Kebal Demam?
Persebaya cukup beruntung karena Pemkot Surabaya belum benar-benar mengidap semua gejala demam Mueller ini. Ada beberapa kemungkinan kenapa Pemkot Surabaya masih bisa legowo mencari win-win solution dengan pihak Persebaya, salah satunya juga peran Walikota Surabaya, Tri Rismaharini (Bu Risma), yang menjadi figur ibuk’e arek-arek. Seperti ibu-ibu lain yang tidak sempurna, Bu Risma sempat memberikan keputusan yang cukup mengagetkan arek-arek. Namanya juga ibu-ibu, akhirnya saat diketuk hatinya oleh arek-arek, akhirnya sepakat untuk bertemu di tengah.
Peranan Bonek dalam kasus ini menjadi salah satu titik krusial bagi manajemen Persebaya. Walau sempat menuai kontroversi karena kalimat “Piala Dunia sementara, Persebaya selamanya”, gerakan akar-rumput ini mampu mendorong Pemkot Surabaya untuk membuka ruang negosiasi dengan pihak Persebaya.
Disamping itu, komitmen Bonek untuk meninggalkan citra suporter yang rusuh sepertinya juga berpengaruh dalam pusaran kekuatan gerakan akar-rumput mereka. Bagaimanapun, Bonek adalah salah satu bagian dari masyarakat Surabaya. Maka, suara Bonek juga suara rakyat yang harus didengarkan oleh pemimpin Surabaya.
Sumber Gambar: viva.co.id
*Renata Melati Putri (@rreeere) ialah analis kebijakan olahraga dan peneliti di Ganesport Institute (@ganesport), bergelar Master of International Sport Development and Politics dari German Sport University Cologne
**Tulisan ini merupakan hasil kiriman penulis melalui kolom Pandit Sharing. Segala isi dan opini yang ada dalam tulisan ini merupakan tanggung jawab penulis.
Komentar