Eddie Howe menyatakan pengunduran dirinya sebagai manajer Bournemouth setelah gagal meloloskan Bournemouth dari jurang degradasi Liga Primer Inggris musim 2019/2020. Keputusan ini mengakhiri perjalanan panjang Eddie Howe dengan klub kesayangannya yang sudah ia bela sejak 25 tahun lalu saat ia masih menjadi pemain.
“Saya menyukai model Bournemouth. Mereka mendapatkan Harry Arter yang bermain di National League (liga amatir). Sementara, Simon Francis, Charlie Daniels, dan Marc Pugh juga tampil di League One. Mereka detak jantung klub yang memungkinkan klub bertarung di Premier League bersama Eddie Howe,” puji Manajer Sheffield United, Chris Wilder.
Wilder melemparkan sanjungan itu saat Sheffield masih berjuang untuk tembus ke Premier League tiga musim lalu. Pada akhir musim 2019-20, The Blades yang berstatus tim promosi finis di peringkat kesembilan di divisi teratas. Sementara Bournemouth, klub yang menginspirasinya, terdegradasi setelah lima musim beredar di Premier League.
Kedua klub dijalankan dengan nafas yang mirip. Wilder, seorang penggemar Sheffield, mengangkat klub dari posisi terbawah League One (divisi tiga) sampai menembus Top 10 Premier League hanya dalam empat musim.
Gerbong pemain yang membela klub sedari League One, semisal Jack O’Connell, Kieron Freeman, Chris Basham, John Fleck, dan Billy Sharp masih berada di klub sampai sekarang. Bakat mentah pemain semisal John Lundstram, Dean Henderson, David McGoldrick, dll. mekar di tangan Wilder. Sampai Agustus 2019, nyaris seluruh penggawa The Blades tanpa ada pengalaman tampil di Premier League.
Mereka bukan tim promosi tipikal Wolverhampton Wanderers yang disuntik dana investor. Bukan juga Aston Villa dan Fulham yang punya sokongan dana melimpah. Wilder mengenali timnya seperti Bournemouth yang semula terjerembab di divisi bawah sampai akhirnya mapan di divisi puncak.
Berfondasi para pemain yang berjuang sedari awal. Dipimpin manajer yang darah dan air matanya selalu untuk klub favorit yang dia tukangi. Namun, Bournemouth yang menginspirasi mesti turun divisi tepat saat Sheffield membuat sensasi.
The Cherries, julukan Bournemouth, terancam eksodus pemain. Paling menyesakkan, Eddie Howe mundur dari jabatan pelatih.
Panen Ceri Lima Musim
Howe mulai bekerja sebagai juru taktik Bournemouth saat klub berada di posisi ke-23 League Two (Divisi 4) pada musim 2008-09. Dalam strata sepak bola profesional Inggris, Bournemouth ada di urutan dua terbawah dari total 92 klub. Howe menggantikan Jimmy Quinn di tengah jalan setelah memulai kompetisi dengan minus 17 poin dan embargo transfer akibat masalah finansial.
Howe, pelatih termuda di sepak bola Inggris saat itu dengan usia 32 tahun. Dengan kondisi serumit itu, dia sanggup mempertahankan Bournemouth eksis di League Two. Semusim berselang, dia antarkan The Cherries promosi ke League One.
Kegemilangan Howe sebagai pelatih muda di divisi bawah membuat namanya masuk dalam bidikan banyak klub. Awal tahun 2011, Burnley kesengsem dengan jasanya demi bersaing di Divisi Championship. Bersama The Clarets dalam dua musim, tidak sekalipun Howe menembus zona play-off promosi.
Howe pulang ke tempat di mana dia berlabuh. Semasa bermain sebagai bek, Howe memang menghabiskan hampir seluruh karier bersama The Cherries. Periode pertama pada 1994-2002. Kemudian pindah ke Portsmouth dan Swindon Town (pinjam) tanpa benar-benar ada kisah menarik. Tiga musim terakhir kariernya dia kembali ke Stadion Dean Court. Selama dia membela lini pertahanan tim dalam 313 laga, Bournemouth hanya tim yang tersendat di League One.
Pada periode keduanya ini, Bournemouth dia antar promosi ke Divisi Championship pada akhir musim 2012-13. Kesuksesan butuh proses, maka promosi langsung ke Premier League terasa kelewat spektakuler. Bournemouth finis pada 10 besar pada percobaan pertama. Musim selanjutnya, Si Ceri melenggang ke Premier League pertama kalinya dalam sejarah klub.
Mereka klub kecil dari selatan Inggris. Bulu tangkis tampak lebih mengasyikkan bagi kota yang cocok untuk para pensiunan. Jika dibandingkan Southampton dan Portsmouth, Bournemouth bukan kota signifikan di pantai selatan Inggris. Begitupun dalam lanskap sepak bola.
Southampton mondar-mandir tampil di divisi teratas dengan mitos dalam diri Matt Le Tissier. Sementara Portsmouth sempat juara Piala FA pada 2007-08 lewat pimpinan Harry Redknapp. Jangka waktu yang lebih anyar daripada Liverpool, apalagi Tottenham Hotspur.
Bournemouth perlahan bisa tiba di level yang pernah The Saints dan Pompey capai berkat campur tangan pebisnis Rusia, Maxim Demin. Tentu dia tidak selevel dengan Roman Abramovich dari segi kekayaan dan keroyalan, tapi setidaknya kehadiran Demin sanggup memberi kelegaan bagi klub yang mulai terancam bubar pada 1997 akibat paceklik duit.
Pada 2004, Bournemouth juga nyaris disepak dari markas mereka, Stadion Dean Court, karena tidak sanggup membayar utang. Kebangkrutan pada awal musim 2007-08 sangat mungkin menenggelamkan klub ke level amatir. Kehadiran Demin memberi kestabilan finansial dengan anggaran klub meningkat empat kali lipat.
Pada dua masa sulit sebelumnya (2004 & 2007) uluran tangan suporter lewat urun dana sedikit banyak memperpanjang nyawa klub. Sementara untuk akhir 2008, kejeniusan Howe muda yang menghalangi nasib buruk Bournemouth menjadi lebih buruk.
Tiba di Premier League jelas terasa ganjil, walaupun akhirnya Si Ceri perlahan mampu menancapkan kukunya. Mereka bukan klub yang mengutamakan rapatnya pertahanan. Sejak berstatus tim promosi, Bournemouth tidak segan memperagakan sepak bola menyerang. Pada musim pertama tampil di divisi elite, total 45 gol mereka delapan klub lainnya. Bahkan hanya berselisih empat gol dari Manchester United yang ditukangi Louis van Gaal di peringkat kelima.
Sejak itu, tidak ada satu musim pun Bournemouth lewati tanpa 40 gol. Musim lalu, koleksi mereka lebih baik daripada Sheffield yang finis sembilan tingkat di atas mereka. Mungkin terkesan naif, tapi begitulah sepak bola pragmatis Howe. Untuk meraih tujuannya, Bournemouth mesti rajin cetak gol.
Sebagai penonton netral, menyaksikan Bournemouth bisa terasa mengasyikkan. Selain Manchester City, tim Big Six lainnya sanggup mereka tundukkan. Chelsea paling sering mereka perdayai dengan torehan empat kemenangan (tiga di antaranya di Stadion Stamford Brigde). Paling menohok tentu kemenangan 4-0 pada musim lalu di kandang sendiri. Musim ini, anak asuh Howe tidak sekalipun kalah dari tim pimpinan Frank Lampard.
Terkenang pula bagaimana Tyron Mings selaku debutan berduel penyerang veteran Zlatan Ibrahimovic di Stadion Old Trafford tiga tahun lalu. Setidaknya untuk setahun ke depan, kunjungan terakhir The Red Devils ke Stadion Vitality, berhias kekalahan. Sama seperti nasib Arsene Wenger yang klubnya keok 1-2 saat meninggalkan stadion mini berkapasitas sekitar 11.000 penonton tersebut.
Dua manajer finalis Liga Champions musim lalu, Juergen Klopp dan Mauricio Pochettino juga tahu rasanya kalah di sana. Setidaknya sekali, karier emas mereka di klub masing-masing sempat tercoreng oleh agresivitas tim Howe.
Man City boleh jumawa tidak sekalipun kalah atau seri. Namun gol kemenangan Raheem Sterling pada menit ke-97 di awal musim 2017-18 cukup menggambarkan betapa tangguhnya sang klub liliput.
Apa daya, lini belakang Bournemouth terlalu sering kedodoran. Mereka selalu mengakhiri musim dengan selisih gol minus. Aspek negatif yang mesti terbayar paling mahal akhir musim lalu.
Hanya sekali Bournemouth berhasil menembus 10 besar. Sebab di balik gelontoran gol Callum Wilson, ada kemarahan Asmir Begovic yang tidak tahan digempur habis-habisan. Lazim ada rasa kesal Simon Francis tidak lama setelah Charlie Daniels merangsek ke depan untuk mencetak gol. Setelah Junior Stanislas gagal memaksimalkan peluang, secepat itu pula kegamangan tampak pada Jefferson Lerma yang mengantisipasi serangan balasan tim lawan.
Musim lalu, Howe punya cukup banyak nyali menempatkan kiper berusia 22 tahun mengawal gawang klub. Selama lima musim sebelumnya, gawang Bournemouth dikawal kiper kawakan dalam diri Artur Boruc atau Asmir Begovic.
Banyak yang mengapresiasi keputusan berani ini, tapi secara kolektif hasilnya amburadul. Sedangkan secara personal, karier Ramsdale sebagai kiper utama termuda di Premier League jelas meningkat pesat. Hanya Martin Dubravka dan Bernd Leno yang menciptakan penyelamatan terbanyak (102). Ramsdale jelas kiper muda terbaik untuk mengisi tim fantasi berisi pemain di bawah 23 tahun.
Kepala Howe juga sempat dibuat pening tatkala Ryan Fraser menolak kontrak jangka pendek untuk sisa musim setelah penundaan kompetisi. Ancaman degradasi begitu nyata, pemain andalan yang bakatnya mereka temukan malah bersikap tidak karuan.
Fraser turut membantu klub promosi dari League One sejak dia direkrut dari Aberdeen saat berusia 18 tahun. Isi kepalanya sudah tidak beres sejak kariernya lumayan meroket pada musim 2018-19 dan isu tawaran dari Arsenal datang.
David Brooks juga tidak beruntung. Baru pada penghujung musim, salah satu talenta muda terbaik Wales bisa bermain setelah terakhir kali terlihat di lapangan pada laga pra-musim. Padahal, Brooks sangat impresif pada musim sebelumnya.
Harry Wilson hanya menjanjikan pada awal musim. Junior Stanislas baru mencetak gol pertama pada pekan ke-33. Dominic Solanke masih kesulitan membuktikan diri sebagai juara Piala Dunia U-20 tahun 2017 yang sanggup kompetitif di level senior. Philip Billing direkrut tentu bukan untuk menularkan pengalaman degradasinya saat bersama Huddersfield Town.
Bournemouth juga tertular tren untuk merekrut gelandang tipikal N’Golo Kante, seperti Sunderland kepada Didier Ndong atau Leicester atas Nampalys Mendy. Seperti mereka, Jefferson Lerma tidak pernah menunjukkan kualitas setara harganya.
Pembelian termahal klub ini mengoleksi 23 kartu kuning dalam dua musim kariernya di Liga Inggris. Butuh lima kartu kuning lagi untuk membuktikan kalau satu kartu kuning senilai satu juta paun sesuai nilai transfer pemain Kolombia.
Pemain lain mungkin menunjukkan kualitas mumpuni sebagaimana mestinya, tapi tidak benar-benar sanggup menyelamatkan klub. Dua kemenangan genting di akhir musim atas Leicester dan Everton nyatanya hanya menyisakan gumaman, “Mana sempat, sudah telat”.
Gol Sheffield
Faktor di luar kendali mereka tentu saja gol pemain Sheffield, Olivier Norwood ke gawang Aston yang tidak disahkan pada laga pembuka ulang kompetisi. Teknologi garis gawang tidak berfungsi mendadak sekalipun kiper Orjan Nyland mengamankan bola di belakang garis. Wasit tidak mengecek VAR yang sempat diragukan kembali digunakan akibat kebijakan social distancing di dalam ruangannya.
Klarifikasi instan penyedia layanan teknologi garis gawang tidak mengubah apapun. Sheffield tentu kesal, karena bisa saja mereka berpeluang lolos ke kompetisi Eropa jika meraih tiga angka pada pertandingan tersebut. Namun, yang paling apes adalah Bournemouth. Mereka tidak terlibat langsung namun harus pasrah dengan konsekuensi yang mereka hadapi, degradasi. Satu poin tersebut secara tidak langsung membuat Aston Villa unggul satu poin dari Bournemouth yang berada di zona degradasi pada akhir musim.
Kembalinya Leeds United ke Premier League beriringan dengan turunnya Bournemouth yang berdarah-darah dari ancaman menjadi klub amatir untuk bisa konsisten mentas di divisi tertinggi. Eksodus pemain yang memang pada dasarnya punya kualitas mumpuni untuk menjadi pelengkap skuat klub elite hadir di depan mata.
Nathan Ake bisa menjadi rekrutan pertama Man City untuk musim depan. Callum Wilson bisa menjadi alternatif jempolan bagi Tottenham yang butuh pelapis Harry Kane. David Brooks jelas mewah untuk klub papan tengah. Sementara nasib Fraser masih penuh tanda tanya, karena reputasi penuh coreng.
Bagi pemain yang sedari League One memperkuat klub, tapi tidak lagi muda mungkin tinggal mengenang pencapaian panjang mereka bisa bermain di level teratas. Sesuatu yang terbayangkan, tapi tersimpan ragu untuk terwujudkan. Beberapa nama lebih dulu meninggalkan mereka, semisal Arter, Pugh, dan Matt Richie.
Kapten Simon Francis, Steve Cook, Andrew Surman, dan Dan Gosling memasuki senja karier yang mungkin saja tujuan terakhir kariernya mengembalikan klub ke Premier League. Adam Smith untuk sementara tidak tampil lagi di banyak layar kaca dunia sembari disindir sebagai Bapak Ekonomi Modern.
Bagi pemain muda yang mengorbit di tangan Howe, seperti Ramsdale, Jack Stacey, Jack Simpson, Lewis Cook, dan Chris Mepham memang sudah seharusnya menjadi fondasi klub untuk kembali promosi. Kematangan mereka belum setingkat pemain lain yang minimal dua musim menampilkan performa konsisten.
Paling miris, Eddie Howe terpaksa mengakhiri kebersamaan keduanya bersama The Cherries. Dia mundur dari jabatannya sembari menulis surat perpisahan. Bournemouth membalasnya dengan sebutan, “Legenda”.
“Menghabiskan 25 tahun dengan klub sebagai pemain dan manajer, maka keputusan ini (dibuat bersama klub) adalah salah satu yang tersulit untuk dibuat,” ujarnya sembari mengucapkan terima kasih penuh syukur.
Setiap klub punya masa tertinggi dan terendah. Untuk Bournemouth, nama Howe tertulis di sana.
Harry Redknapp menyebut Howe mustahil menganggur lama. Crystal Palace yang perlu darah segar di kursi kepelatihan santer bergerak cepat mengejar tanda tangannya. Patut dinanti petualangan baru Howe.
Sementara Bournemouth juga punya daftar nama untuk dibidik sebagai juru taktik. Para pelatih bertangan dingin yang berpengalaman membawa klub promosi, seperti Chris Hughton (Newcastle & Brighton), Nigel Pearson (Leicester), dan Paul Cook (Wigan) masuk dalam daftar. Juga ada sosok asisten pelatih Jason Tindall yang mungkin saja dipromosikan sebagai Kepala Pelatih.
Howe yang menanam benih pohon ceri. Akhirnya pohon tumbuh besar, sampai buahnya rutin dipetik matang dan segar sepanjang lima musim. Rasanya begitu manis. Sial, sekalipun sudah bersusah payah, Si Ceri akhirnya jatuh tidak terselamatkan.
***
Sumber: The Guardian/Tifo/Detik.
Komentar