Tidak banyak pemain sepakbola asal Brasil yang memilih berkarier di Premier League pada periode 1990-an. Juninho Paulista adalah satu dari sedikit pemain yang memilih Inggris sebagai tempat melanjutkan perjalanan. Pada musim 1995/96, saat usianya menginjak 22 tahun, pemain bernama lengkap Osvaldo Giroldo Junior tersebut resmi pindah dari Sao Paulo ke Middlesbrough dengan mahar 4,75 juta paun.
Pada musim debutnya di tanah Britania, Juninho Paulista hanya memiliki satu rekan senegara di skuad The Boro, Branco. Bahkan pada musim itu, Transfermarkt mencatat—dari 20 tim Premier League— hanya ada tiga pemain Brasil. Selain dua nama penggawa The Boro tadi, satu lainnya yakni penyerang Coventry City, Isaias.
Dalam program Mola TV bertajuk Premier League Legends, Juninho Paulista bercerita mengenai pengalamannya selama berkarier sebagai pesepakbola profesional. Merujuk pada posturnya yang hanya bertinggi 1,67 meter, kemampuannya sempat diragukan, terutama jika berduel dengan bek-bek lawan yang rata-rata berpostur tinggi besar.
Hal itu beralasan, apalagi ketika usianya baru 13 tahun, dua klub asal Brasil Clube Atletico Juventus dan Corinthians menolaknya bergabung dengan alasan serupa.
Kendati demikian, Ituano FC berani meminangnya di tim junior. Pada 1992, Juninho pun berpartisipasi dalam Kejuaraan Paulista, kompetisi profesional di negara bagian Sao Paulo. Sempat akrab dengan bangku cadangan, ia kemudian menjadi andalan. Satu posisi di lini tengah Ituano kerap diisi nama Juninho Paulista.
Middlesbrough dan Julukan The Little Fella
Awalnya adalah Piala Umbro 1995. Melalui kecepatan dan visi yang dimilikinya, Juninho (saat itu bermain untuk klub Sao Paulo) masuk timnas Brasil asuhan Mario Zagallo dan tergabung dengan pemain seperti Roberto Carlos dan Ronaldo Nazario.
Dalam laga melawan Inggris, ia menjadi motor serangan di belakang dua striker (Ronaldo dan Edmundo) dalam formasi 3-4-1-2. Sempat tertinggal satu gol, Juninho berhasil menyamakan kedudukan melalui tendangan bebas. Gol itu pun membuat Brasil tampil kian percaya diri dan membalikkan kedudukan menjadi 3-1.
Lewat performanya yang ciamik, pelatih Middlesbrough yang kala itu menjadi asisten pelatih Inggris, Bryan Robson, tertarik dan menganggap Juninho akan menjadi pemain penting di klubnya. Keseriusan The Boro untuk merekrut Juninho tak main-main. Delegasi Middlesbrough kala itu bahkan sampai terbang ke Brasil dan meyakinkan Sao Paulo guna melepas sang pemain.
Sebelum menyetujui kontrak dengan Middlesbrough, Juninho sempat ragu lantaran menilai sepakbola Inggris sangat berbeda dengan Brasil. Hal ini ditambah belum banyak pemain asal negaranya yang bergabung dengan klub Inggris.
Kebimbangan seorang Juninho akhirnya diyakinkan oleh sosok Bryan Robson. Suporter Middlesbrough pun antusias menyambut Juninho. Dalam perkenalan usai resmi direkrut, suporter The Boro rela berdesakan di Riverside untuk melihat sosok asal Brasil itu.
“Ambisinya [Bryan Robson] untuk mengubah Middlesbrough menjadi klub yang lebih baik, sebuah klub Premier League yang pantas; itulah mengapa saya menyepakati tantangan ini. Saya percaya dengan nama besar dan proyeknya,” ucap Juninho.
Impresi awal pun ditunjukkan Juninho dengan begitu memikat. Dalam partai debutnya ketika melawan Leeds United, 4 November 1995, sosok di lini tengah dengan nomor punggung 25 itu berhasil memberikan asis kepada Jan Age Fjortoft yang membuat para suporter di Stadion Riverside bergemuruh. Para suporter pun menyematkan julukan The Little Fella kepadanya.
Satu Gelar Beribu Penyesalan
Pada musim perdananya bersama Middlesbrough, Juninho tampil dalam 21 laga dan membawa klub tersebut bertengger di peringkat 12. Malang tak dapat ditolak, ia tak mampu menyelamatkan The Boro dari degradasi pada musim 1996/97.
Menariknya, Leeds United menjadi lawan yang memberikan dua momen sekaligus (senang dan sedih) pada Juninho Paulista. Jika dalam laga debut, Juninho berhasil menampilkan rasa optimistis kepada para penggemar dengan asisnya, maka pada laga pemungkas musim 1996/97, Juninho justru tak kuasa menahan air mata karena timnya mesti turun ke Divisi Championship setelah ditahan imbang 1-1 oleh Leeds United. Momen ini pun dianggap Juninho sebagai salah satu kejadian yang menyedihkan dalam kariernya.
“Kami memiliki beberapa peluang untuk mencetak gol kedua dan memenangkan laga. Tetapi sayangnya itu tidak terjadi. Itu hari yang sangat menyedihkan,” kata Juninho mengenang pertandingan tersebut.
Juninho terpaksa pindah ke Atletico Madrid pada 1997/98. Menurutnya, perpindahan tersebut dilakukan untuk menjaga peluangnya tampil di Piala Dunia 1998. Alih-alih tampil oke, pilihannya kali ini justru berbuah petaka.
Dalam sebuah pertandingan melawan Celta Vigo, Juninho mengalami cedera usai mendapat tekel keras dari Michael Salgado yang membuat harapannya untuk tampil di Piala Dunia kandas.
“Saya berkata bahwa saya sangat ingin bertahan, tetapi itu dapat merusak karier saya. Saya bermimpi untuk bermain di Piala Dunia lagi. Jika saya dapat kembali ke masa lalu, keputusan itu [pindah ke Atletico Madrid] mungkin akan saya ubah,” kenang Juninho.
Namun, mentalnya kembali tumbuh. Usia sembuh dari cedera, Juninho mulai membangun kembali harapan. Ia akhirnya kembali ke Middlesbrough sebagai pemain pinjaman pada 1999/2000. Juninho pun kembali ke Riverside secara permanen pada 2002.
Di Inggris, performanya membaik. Selain berhasil tampil di Piala Dunia 2002 dan meraih gelar juara, Juninho berhasil meraih trofi Piala Liga Inggris 2003/04 bersama The Boro. Hingga kini, itulah satu-satunya gelar Middlesbrough yang diperoleh sejak berdiri pada 1876.
Saking cintanya kepada Middlesbrough, momen mengangkat Piala Liga Inggris dianggap Juninho sebagai pencapaian besar, sama halnya dengan merengkuh trofi Piala Dunia 2002.
”Saya merasa sangat bahagia bisa menjalin hubungan dengan para suporter dan klub ini. Saya merasa, sejak awal berbicara dengan Middlesbrough, [klub] itu seperti sesuatu yang berada dalam jiwa saya,” pungkas Juninho.
Kisah Juninho dan legenda Liga Inggris lain dalam program Premier League Legends dapat Anda saksikan di Mola TV (klik di sini).
Komentar