Dalam hal sepakbola, Uruguay memang kalah pamor dari dua tetangganya yang lebih besar di Amerika Latin, Argentina dan Brasil. Dua negara ini masuk jajaran tim nasional dengan profil paling mentereng di sepakbola modern, menghasilkan pemain terbaik sepanjang masa seperti Pele, Diego Maradona, dan Lionel Messi. Namun, sebelum Argentina dan Brasil meraih pengakuan tertinggi di dunia sepakbola, La Celeste adalah kekuatan dominan yang merajai sepakbola dunia pada awal abad 20.
Negeri seluas 176.215 km persegi tersebut adalah juara Piala Dunia pertama, memenangkannya sebagai tuan rumah. Pada 1930, La Celeste dipilih sebagai tuan rumah Piala Dunia usai memenangkan Olimpiade Paris 1924 dan Amsterdam 1928. Di final perdana itu, Uruguay menghajar jiran sekaligus rival abadi mereka, Argentina, dengan skor 4-2.
Kesuksesan La Celeste pun berlanjut hingga 1950-an. Setelah menolak berpartisipasi dalam Piala Dunia 1934 dan 1938, Uruguay kembali bertanding di Brasil 1950. Waktu itu, skuad besutan Juan Lopez Fontana berhasil mengalahkan Brasil yang difavoritkan menjuarai kompetisi.
Mulai dari Olimpiade 1928 hingga Tragedi Maracana tahun 1950, kesuksesan sepakbola Uruguay sohor lekat dengan Garra Charrua. Di lapangan hijau, skuad La Celeste memadukan kegigihan, keuletan, dan muslihat khas sepakbola jalanan dalam identitas Garra Charrua.
Garra Charrua, secara sederhana, didefinisikan sebagai keuletan, spirit, dan sikap mau mengorbankan segalanya untuk tim dan meraih yang tidak mungkin. Namun Garra Charrua tidak sesederhana itu. Frasa yang secara literal berarti “Cakar Charrua (penduduk asli Uruguay)” itu adalah filosofi yang diimani setiap pemain Uruguay.
“Sedikit rumit untuk menjelaskan apa itu Garra Charrua. Itu adalah cara menghidupi sepakbola, setiap orang Uruguay dibesarkan dengan cara itu. Itu adalah cara kami bermain sepakbola di lingkungan kami. Garra Charrua terdapat dalam tiap insan Uruguay. Agak sulit menjelaskannya,” ucap gelandang anyar Atletico Madrid, Lucas Torreira.
Kisah-kisah kegigihan Timnas Uruguay kerap dirujuk untuk menjelaskan apa itu Garra Charrua. Sosok Hector Castro, penggawa La Celeste yang memenangkan Piala Dunia 1930, adalah salah satu contoh yang tepat. Meski kehilangan satu lengan akibat terpotong gergaji listrik saat berusia 13, Castro gigih bermain sepakbola dan berperan penting di Uruguay 1930.
Kemenangan dalam Tragedi Maracana pun layak ditunjuk sebagai representasi filosofi tersebut. Pada 1950, La Celeste adalah tim kuda hitam. Mereka harus mempertaruhkan gelar juara lawan Brasil di partai pemungkas putaran final.
Brasil jauh difavoritkan atas Uruguay dalam laga tersebut. Selecao menghajar Swedia (7-1) dan Spanyol (6-1) di putaran final. Sedangkan Uruguay hanya mampu bermain imbang lawan Spanyol dan menang tipis 3-2 atas Swedia. Bahkan, koran O Mundo telah mencetak headline kemenangan Brasil sebelum pertandingan final dimulai.
Akan tetapi, keuletan dan kecerdikan La Celeste sukses membuat publik tuan rumah meratapi nasib. Uruguay menang 2-1 kendati sempat tertinggal lebih dulu lawan Brasil yang superior. Skuad Uruguay mempresentasikan spirit Garra Charrua dengan berjuang hingga akhir.
“Itu [Garra Charrua] seperti ketika Anda sudah kehabisan napas, tetapi Anda selalu ingin memberi lebih. Kadangkala, di menit-menit akhir, lawan tim besar, Anda tak pernah mengira punya kesempatan untuk menang, di situlah Garra yang dibicarakan banyak orang itu hadir,” ucap eks striker Uruguay, Diego Forlan.
“Garra Charrua adalah sesuatu yang kami banggakan, meskipun orang lain sering keliru memahaminya,” lanjutnya.
Link streaming pertandingan Kualifikasi Piala Dunia 2022: Uruguay vs Chile
Era legendaris Uruguay dengan Garra Charrua-nya berakhir pada 1950-an. Setelah disingkirkan Magical Magyars di Swiss 1954, Uruguay tidak memiliki identitas sepakbola yang sama.
Pada paruh kedua abad 20, skuad Uruguay tidak lagi dihormati sebagai tim dengan permainan indah nan cerdik. La Celeste justru terkenal karena permainan agresif dan dark arts di lapangan.
Permainan seperti demikian nyatanya tak bisa mengangkat La Celeste kembali ke masa kejayaan. Kendati meraih enam Copa America pada kurun 1956-1995, Uruguay selalu gagal di Piala Dunia. Mereka tak pernah lolos lebih jauh dari 16 Besar pada 1974-2006.
Nasib Uruguay lantas berubah saat ditangani Oscar Tabarez untuk kali kedua pada 2006. Bersama Tabarez, La Celeste berhasil menembus semifinal Afrika Selatan 2010, partisipasi pertama mereka di semifinal Piala Dunia sejak Meksiko 1970.
Di bawah Tabarez, Uruguay menjelma tim ulet dengan kemampuan progresi bola yang berbahaya. Tabarez disebut telah berhasil memodifikasi Garra Charrua era 1930-an dan menggunakannya untuk membina spirit tim.
“Kami punya harmoni yang hebat. Kami melihat harmoni itu, solidaritas antarpemain, persatuan itu. Ini adalah senjata yang sangat bagus dan memungkinkan kami mengalahkan tim mana pun,” kata Tabarez usai mengalahkan Korea Selatan di 16 Besar Piala Dunia 2010.
Kini, memasuki usia senja, Tabarez berkesempatan menampilkan Garra Charrua Uruguay di Copa America 2021 dan Piala Dunia 2022. Meskipun seandainya pria berusia 73 tahun itu memilih pensiun, jasanya dalam membina identitas sepakbola Uruguay akan tetap dikenang.
Hasil binaan Tabarez telah membuat La Celeste layak diperhitungkan sebagai kuda hitam Copa America dan Piala Dunia. Negeri berpenduduk 3,5 juta ini mungkin akan terus dibayangi pamor dua tetangganya, Brasil dan Argentina. Namun, justru dengan status kuda hitam itu Uruguay dapat mempraktikkan semangat “meraih yang mustahil” ala Garra Charrua.
Perjalanan Uruguay di pentas internasional 2021 dan 2022 tentu masih panjang. Sebelum bicara soal Qatar 2022, Rodrigo Bentancur dan kawan-kawan harus lolos terlebih dulu. Pada Jumat (9/10/2020) pagi, Uruguay akan memulai kualifikasi Piala Dunia 2022 lawan Chile.
Di masa jeda internasional, Anda tidak akan kekurangan tontonan. Mola TV menayangkan pertandingan persahabatan, UEFA Nations League, dan Kualifikasi Piala Dunia 2022. Pertandingan Uruguay vs Chile pada Jumat (9/10) pukul 05.45 WIB dapat Anda saksikan dengan mengeklik tautan ini.
Komentar