Harvey Barnes sedang menikmati musim tersuburnya di Leicester City. Pada musim ini, pemuda kelahiran Burnley itu telah mencetak 13 gol di semua ajang. Ia turut menyumbang sembilan dari 44 gol The Foxes di Premier League. Capaian ini melampaui rekor sang pemain dua musim sebelumnya. Musim 2019/20, Barnes mencetak tujuh gol dari 42 laga. Sedangkan pada 2018/19, saat ia dipanggil dari West Bromwich Albion pada pertengahan musim, Barnes mencetak satu gol untuk Leicester.
Ada sejumlah alasan mengapa Barnes jauh lebih prolifik musim ini. Dari segi teknik, penyelesaian akhir jebolan akademi Leicester ini memang berkembang. Brendan Rodgers pun menyebut Barnes menjelma pemain yang lebih matang secara mental. Selain itu, setelan taktik Rodgers memberi sang pemain keleluasaan lebih di area lawan dan menempatkannya sebagai salah satu pencetak gol.
Di atas kertas, Barnes masih sering diturunkan sebagai winger kiri dalam formasi 4-2-3-1 atau 3-4-3. Eks penggawa West Brom tersebut menempati posisi ini sejak muda. Kaki kanan adalah kaki terkuatnya. Secara natural, Barnes cocok menjadi inside forward.
Namun, musim lalu, Barnes berperan sebagai pemain yang cenderung suportif. Rodgers memanfaatkan kecepatan sang pemain untuk menciptakan transisi serangan cepat. Dari posisi ini, Barnes menjadi kreator peluang yang melayani striker utama (Jamie Vardy).
Musim ini, pemuda berusia 23 tahun itu lebih diandalkan untuk merangsek ke kotak penalti. Di Premier League, Barnes mencatatkan 108 sentuhan di kotak penalti lawan. Jika dibagi rata-rata, angka ini tak berbeda jauh dan bahkan turun dibanding musim lalu. Pada 2019/20, Barnes mencatatkan 5,76 sentuhan di kotak penalti lawan per pertandingan, berbanding 5,16 pada musim ini. Tetapi perbedaan peran Barnes baru akan terlihat jika membandingkan statistiknya dengan Jamie Vardy.
Beberapa musim belakangan, Vardy adalah pencetak gol andalan Leicester. Penyerang 34 tahun itu merupakan top skor sepanjang masa klub nomor empat. Cara The Foxes mencetak gol seringkali bertumpu pada pergerakan Vardy di kotak penalti. Hal tersebut membuat sentuhan Vardy di kotak penalti lawan jauh mengungguli rekan-rekannya.
Pada musim ini, pola finishing Leicester mulai berbeda. Vardy tak lagi terlalu dominan sebagai target finisher di kotak penalti lawan. Statistik sentuhan Vardy di kotak penalti lawan hampir disamai Barnes. Vardy mencatatkan 111 sentuhan di kotak penalti, hanya terpaut tiga angka dari Barnes (108).
Barnes pun seringkali berposisi sejajar dengan Vardy dan membentuk duet striker. Setelan taktik Rodgers ini terlihat kala The Foxes membungkam Liverpool, 13 Februari lalu. Duet Vardy-Barnes yang dibentuk pada 10 menit akhir pertandingan berperan sentral dalam kekalahan The Reds.
Pada menit 85 laga tersebut, kehadiran Vardy dan Barnes menimbulkan situasi dua lawan dua di pertahanan Liverpool. Jordan Henderson, di sisi kiri pertahanan, menempel pergerakan Vardy. Sedangkan tandem Henderson, Ozan Kabak memiliki dua tanggung jawab, bola lambung yang bergerak ke arahnya serta Barnes di sisi kanan pertahanan. Situasi berbahaya ini berujung pada miskomunikasi antara Kabak dan Alisson yang dimanfaatkan Vardy untuk mencetak gol.
Setelahnya, giliran Barnes yang mencetak gol dari skema ini. Bertindak sebagai striker, eks penggawa Barnsley tersebut menerima umpan terobosan dari Wilfried Ndidi. Barnes kemudian melepaskan tembakan akurat dari pinggir kotak penalti yang tak mampu dihalau Alisson.
Barnes kemudian kembali mencetak gol pada gameweek berikutnya lawan Aston Villa. Dalam laga yang dimenangi Leicester 1-2 itu, pemain bernomor punggung 15 tersebut mengemas satu gol serta satu asis.
“Kita melihat keyakinan dalam dirinya [Barnes] yang sekarang. Dia menemukan level itu, dan ketika Anda melihatnya, dia terlihat seperti orang yang akan mencetak gol di tiap pertandingan,” kata Rodgers usai laga kontra Aston Villa.
Kepercayaan Rodgers terhadap sang pemain dibayar tuntas. Selain mencetak lebih banyak gol, konversi peluang Barnes meningkat dibanding dua musim belakangan. Penyelesaian akhirnya lebih efektif. Barnes mencatatkan konversi peluang hingga 23% musim ini, berbanding 13% pada 2019/20 dan 4% pada 2018/19.
Kecepatan Barnes sendiri masih jadi senjata manjur Rodgers dari sayap kiri. Pemain berpostur 1,82 m ini dapat diandalkan untuk progresi bola dan serangan balik The Foxes. Musim ini, Barnes adalah pemain tercepat Leicester. Ia mencatatkan sprint dengan puncak kecepatan 35,1 km/jam.
Perkembangan Barnes membuatnya jadi sosok pembeda kampanye Leicester musim ini. Daya serang sang pemain diharapkan mampu membawa The Foxes meraih tiket Liga Champions. Setelah kekecewaan musim lalu, anak asuh Rodgers tentu amat mengidamkan pos empat besar 2020/21.
Leicester masih memiliki peluang yang besar untuk lolos ke Liga Champions. Mereka saat ini berada di peringkat tiga, mengantongi poin yang sama dengan runner-up sementara, Manchester United. Pasukan Rodgers wajib menjaga konsistensi untuk menjegal Setan Merah.
Pada pekan 26, untuk menjaga persaingan, The Foxes wajib meraih tiga poin lawan anak asuh Mikel Arteta. Partai Leicester vs Arsenal dijadwalkan di King Power, Minggu (28/2/2021). Meskipun berada di luar 10 besar, Pierre-Emerick Aubameyang dan kawan-kawan masih menyimpan asa untuk lolos ke kompetisi Eropa musim depan. The Gunners saat ini terpaut sembilan angka dari Chelsea di peringkat lima.
Komentar