Apa yang terjadi jika negaramu berpartisipasi di turnamen besar, seperti Piala Dunia, mungkin? Atau, dalam konteks Indonesia, Piala Asia? Tentu keberhasilan itu akan disambut meriah. Tim nasional menjadi buah bibir orang-orang dan media tak henti memainkan narasi tentang mereka. Narasi yang bertebaran mungkin terkadang berlebihan, cenderung bertujuan menggembleng spirit nasional, membangkitkan kepercayaan diri, atau sekadar menjaga tensi euforia. Lalu, bagaimana jika upaya-upaya mengobarkan sensasi itu diterima secara negatif oleh pihak lain? Dalam hal ini, Inggris merupakan contoh sempurna.
Ketika Piala Eropa 2020 baru memasuki pekan pertama, isu mengenai keangkuhan Inggris sudah mengemuka. Kapten Timnas Kroasia, Luka Modric mengklarifikasi ucapannya saat kedua tim bersua di semifinal Piala Dunia 2018. Waktu itu, gelandang Real Madrid tersebut menyebut The Three Lions terlalu berbangga diri dan meremehkan lawan. “Arogan” adalah kata yang dipilih Modric untuk menyimpulkannya.
“Arogansi itu tidak terlalu berhubungan dengan para pemain dan tim nasional Inggris, tetapi orang-orang di sekitar mereka—sejumlah jurnalis, komentator, dan sebagainya,” kata sang kapten Kroasia di konferensi pers 13 Juni lalu.
Saat Inggris dan Kroasia bertanding di semifinal, skuad Vatreni tidak menyembunyikan kekesalan mereka atas build-up media-media Inggris. “Mereka [pandit Inggris] meremehkan Kroasia dan itu adalah kesalahan besar. Mereka seharusnya lebih rendah hati dan menghormati lawan,” kata Modric usai semifinal Piala Dunia 2018.
Bukan hanya Modric dan Kroasia yang memiliki anggapan demikian atas Inggris. Lima tahun silam, di Piala Eropa 2016, Gareth Bale menyatakan hal senada. “Mereka [Inggris] membesar-besarkan diri sebelum melakukan apa pun,” kata bintang Wales tersebut.
Sepertinya, stereotipe bahwa (persepakbolaan) Inggris picik dan angkuh masih diamini banyak pihak. Meskipun Gareth Southgate dan tokoh sepakbola Inggris macam Gary Lineker coba memadamkannya, imej buruk The Three Lions kadung terpatri di ingatan banyak pihak.
Potongan lirik lagu “The Three Lions”, yakni “football’s coming home”, acap dituduh sebagai wujud kesombongan Inggris. Yel-yel ini viral bersamaan dengan laju tak terduga timnas ke semifinal Piala Dunia. Southgate menyebut nyanyian yang sarat kepercayaan diri itu hanyalah candaan. Menjadi candaan karena, secara ironis, orang Inggris mulai sadar betapa payahnya timnas mereka dua dekade belakangan; sehingga, keyakinan meraih sesuatu seperti trofi Piala Dunia tinggal guyonan belaka.
“Lagu itu adalah humor, bukankah begitu? Itulah humor Inggris,” kata Southgate jelang menghadapi Kroasia di UEFA Nations League, 2019 silam.
Sayangnya, “candaan” itu tidak diterima sesimpel niatan Southgate. Riwayat peliputan sensasional yang selama ini dilakukan media Inggris pun sama sekali tak bantu membangun citra The Three Lions yang lebih “rendah hati”.
Achtung! Surrender: Peran Media dalam Imej Buruk Inggris
Media Inggris sejak lama dikenal sensasional dalam peliputan sepakbola. Media, terutama tabloid, berupaya menyambut renjana liar suporter The Three Lions. Membesar-besarkan kualitas diri sekaligus mengejek lawan adalah praktik yang lumrah.
Mark Groves, pengajar Sosiologi Olahraga di Universitas Wolverhampton, menyebut media Inggris sering menjadikan turnamen akbar seperti Piala Dunia atau Piala Eropa untuk menyebarkan “spirit identitas nasional” dengan gaya pelaporan “kita vs mereka”. Headline yang dimunculkan pun biasanya mengambil referensi figur historis atau menekankan “karakter khas” orang Britania seperti “semangat juang” dan “pekerja keras”.
“Narasi seperti itu ditujukan untuk menggalang dukungan kepada timnas, tetapi mereka juga cenderung merayakan karakter dan kualitas tertentu untuk membingkai negara Britania sebagai yang superior,” tulis Groves dalam komentarnya untuk Democratic Audit.
Pada masa lalu, pokok berita yang dipilih kerap bersifat ofensif dan menyinggung pihak lain. Salah satu yang paling tersohor adalah tajuk Daily Mirror ketika Inggris bersua Jerman di semifinal Piala Eropa 1996. Halaman depan tabloid itu adalah potret dua pemain Inggris (Paul Gascoigne dan Stuart Pearce) yang dipakaikan helm Perang Dunia Kedua beserta judul yang ditulis besar-besar: Achtung! Surrender.
Mirror menggunakan analogi perang untuk menggambarkan pertandingan kedua tim. Tentu hal ini ofensif bagi pihak lawan. Suratkabar itu berupaya mengail rasa permusuhan, menautkan lawan dengan sejarah kelam Jerman di Perang Dunia Kedua, di mana blok Sekutu (yang di dalamnya ada Inggris) mengalahkan pihak Nazi.
Imej arogansi Inggris semakin menjadi pada akhir 1990-an hingga awal 2000-an, seiring dengan munculnya “generasi emas” mereka. Menjelang Piala Dunia 2010, giliran tabloid The Sun yang “menyita perhatian”.
Di Afrika Selatan 2010, Inggris tergabung di Grup C bersama Amerika Serikat, Aljazair, dan Slovenia. Saat hasil undian grup diumumkan, The Sun mencetak tajuk yang meremehkan rival. Tajuk itu bertuliskan “England, Algeria, Slovenia, Yanks [Amerika Serikat]”, ditulis secara berurutan dari atas ke bawah. Huruf awal dari tajuk dimarkahi agar secara vertikal terbaca: “EASY”. Mudah. Sepele.
Halaman muka The Sun akhirnya dikenang secara agak komikal. Pasalnya, Inggris hampir gagal lolos fase grup. Mereka finis di posisi runner-up setelah menang tipis atas Slovenia. Di babak 16 Besar, The Three Lions dilibas Jerman dengan skor 4-1.
Southgate sadar bahwa riwayat liputan tabloid telah memberi citra buruk ke tim nasional. Ia pun menegaskan bahwa Timnas Inggris yang sekarang berbeda. Mereka bukan lagi sekelompok bintang yang merasa diri jauh lebih superior meskipun belum bertanding.
“Kami tidak boleh menampilkan arogansi yang mungkin kami punya selama bertahun-tahun—bahwa kami berhak berada di babak akhir. Sebagai tim dan staf, kami harus mengupayakannya,” kata Southgate pada 2019 silam.
Akan tetapi, citra baik-baik yang berupaya dimunculkan Southgate dirintangi oleh media mereka sendiri. Hingga Piala Dunia 2018, tabloid Inggris masih menampilkan narasi yang kurang ajar terhadap lawan. Hal ini terjadi saat Inggris bersua Kolombia di babak 16 Besar.
Sebelum pertandingan, The Sun merilis tajuk yang menyinggung peredaran kokain dari Kolombia. Tajuk itu bahkan dikomplain oleh Duta Besar Kolombia untuk Inggris, Nestor Osorio Londono.
“Menyedihkan bahwa mereka menggunakan peristiwa yang bersahabat dan meriah seperti Piala Dunia untuk memojokkan sebuah negara dan lanjut menstigmatisasinya dengan isu yang sama sekali tak ada hubungannya,” katanya.
Citra Timnas Inggris sudah kadung buruk dan dicap arogan. Pihak timnas ingin tampil lebih “rendah hati”. Apakah media akan mengamini hal itu?
Bersorak “football’s coming home” atau menyamakan Kalvin Phillips sebagai paket komplet Pirlo-Gattuso-Kaka mungkin hanyalah candaan. Namun, tak sedikit yang menganggapnya sebagai sisa-sisa keangkuhan yang terus dirawat.
Berhubung Piala Eropa 2020 masih dalam tahap awal, tajuk-tajuk bernada meremehkan dan angkuh seperti demikian bisa jadi masih (akan) dibuat dalam konteks yang tidak-bercanda.
“Tidak ada siapa pun yang bisa menaikkan derajat seseorang sebagaimana jurnalis Inggris, dan tidak ada yang bisa melemparkan [citra] seseorang dari tebing sebagaimana mereka pula!,” kata Jan Age Fjoertoft, eks striker Norwegia yang pernah merumput di Premier League.
Peliputan media Inggris tentang sepakbola mungkin tak sefrontal Piala Eropa 1996, tetapi bukan berarti narasi superioritas (persepakbolaan) Inggris—meskipun mereka tak memenangkan apa pun selama 55 tahun—tak lagi diminati.
Komentar