Granit Xhaka langsung menentukan pilihan ketika ia memenangi lempar koin di akhir laga Swiss vs Perancis, 29 Juni lalu. Wasit melempar koin untuk menentukan urut-urutan adu penalti dan Xhaka, tepat menebak sisi koin yang telentang, memilih timnya sebagai penendang pertama.
Mario Gavranovic maju menjadi eksekutor pertama dan sukses menjaringkan bola. Empat penendang Swiss dan Perancis juga sukses. Pada tendangan terakhir, Kylian Mbappe wajib mengonversi penalti agar Les Bleus tak tereliminasi. Megabintang Paris Saint-Germain itu gagal. Sepakannya ke sudut kanan gawang ditepis Yann Sommer. Swiss melenggang ke perempat final.
Hasil tersebut mengukuhkan paham tentang keuntungan menendang pertama pada adu penalti, dikenal sebagai first-mover advantage (FMA). Di Piala Eropa 2020, setelah partai Swiss vs Perancis, adu penalti antara Swiss vs Spanyol menguatkan bukti adanya FMA. Meskipun dalam laga itu, eksekusi penendang pertama (Sergio Busquets) membentur tiang gawang.
Baru-baru ini, di semifinal Piala Eropa 2020, Italia juga membuktikan hal yang sama. Giorgio Chiellini memenangi lempar koin dan pilih menendang lebih dulu. Gli Azzurri pun mengalahkan Spanyol dalam adu penalti.
Akan tetapi, apakah FMA benar-benar ada? Hal ini telah diperdebatkan berbagai kalangan selama bertahun-tahun. Tak sedikit pula tim yang meyakini bahwa mendapat jatah penendang pertama selalu menguntungkan.
Beda Probabilitas Kemenangan Berdasarkan Urutan Menendang
Salah satu penelitian yang membuktikan keberadaan FMA dilakukan oleh Jose Apesteguia dan Ignacio Palacios-Huerta pada 2010. Mereka mengumpulkan sampel 129 adu penalti dari turnamen papan atas. Hasilnya, tim yang menendang pertama memiliki probabilitas kemenangan hingga lebih dari 60%.
Pada 2012, penelitian Martin Kocher, Marc Lenz, dan Matthias Sutter membantah kesimpulan yang didapatkan Apesteguia dan Palacios-Huerta. Mereka meneliti 540 adu penalti, jumlah sampel yang jauh lebih besar dari studi sebelumnya, dan menemukan bahwa probabilitas kemenangan tim yang menendang pertama hanya sejumlah 53%. Kesimpulannya, selisih 3% tidaklah signifikan sehingga aturan adu penalti yang sekarang bisa dianggap adil.
Namun, temuan tiga peneliti itu kembali dibantah oleh Palacios-Huerta pada 2014. Kali ini ia mengumpulkan 1.001 sampel adu penalti yang digelar sebelum 2012. Hasilnya, probabilitas kemenangan tim yang menendang pertama tetap unggul signifikan, yaitu 60,6%.
Pada 2019, Nils Rudi, Marco Olivares, dan Aditya Shetty merilis analisis dengan jumlah sampel lebih superior, yakni 1.635 adu penalti. Hasilnya, tim penendang pertama memiliki probabilitas kemenangan sejumlah 54,86%. Meskipun angka ini lebih dekat ke kesimpulan Kocher dkk., keunggulannya dianggap cukup signifikan untuk menyokong bukti FMA.
Studi yang dilakukan Apesteguia dan Palacios-Huerta menemukan bahwa kelemahan tim penendang kedua ada di eksekutor ketiga hingga terakhir. Pasalnya, jika tim pertama terus-terusan sukses mengeksekusi penalti, tendangan tim kedua dapat menjadi tendangan hidup-mati: nasib tim ditentukan oleh keberhasilan mereka. Ini meningkatkan tekanan psikis ekeskutor penalti.
Di antara dua tim, persentase kesuksesan penendang pertama tidak berbeda jauh, yakni 79% untuk tim pertama dan 72% untuk tim kedua. Namun, ketika sampai penendang ketiga, tim yang mendapat jatah menendang belakangan hanya memiliki persentase kesuksesan sekitar 60%. Sedangkan tim penendang pertama selalu memiliki persentase kesuksesan di atas 70% dari lima tembakan.
Alasan mengapa tim penendang kedua lebih kesulitan karena tekanan psikologis yang lebih besar. Jika tim pertama berhasil mencetak gol lebih dulu, maka pemain tim kedua sadar bahwa pertaruhannya lebih menentukan. Ia tak boleh gagal jika tak ingin timnya tertinggal dan hanya berjarak beberapa tembakan dari eliminasi.
Kalangan pelatih dan pemain pun umumnya meyakini keberadaan FMA. Survei yang dilakukan Apesteguia dan Palacios-Huerta ke 240 pemain dan pelatih di La Liga hingga kejuaraan amatir di Spanyol menunjukkannya. Sebanyak 96% responden memilih untuk menendang terlebih dulu. Alasannya, mereka ingin menciptakan tekanan (dengan mencetak gol lebih dulu) kepada penendang lawan.
Baca juga: Pertandingan Olimpiade yang Melahirkan Adu Penalti
Adu Penalti sebagai Duel Psikologis
Banyak praktisi meyakini keberadaan FMA, menunjukkan bahwa adu penalti sebagai duel psikologis merupakan kesadaran umum. Dalam duel penalti antara tim yang memiliki kualitas teknis cenderung merata, mentalitas seringkali jadi pembeda. Mencetak gol lebih dulu tak hanya unggul sementara di papan skor, melainkan juga mengalihkan beban mental ke tim lawan.
Pada dasarnya, adu penalti dibuat sebagai penentu (tiebreaker) pertandingan dengan skor imbang. Sistem ini diterapkan mulai 1970. Sebelumnya, IFAB tak memiliki aturan baku jika dua tim tetap bermain imbang setelah partai ulangan atau babak tambahan waktu. Penentuan pun kerap dilakukan melalui untung-untungan lempar koin. Adu penalti diciptakan demi penentuan yang lebih sportif dan menghilangkan aspek untung-untungan.
Akan tetapi, untuk menentukan penendang pertama, lempar koin tetap dilakukan. Dengan keberadaan FMA yang umum diakui, adu keberuntungan belum bisa sepenuhnya dihilangkan oleh sistem adu penalti yang sekarang.
Meskipun demikian, bukan berarti tim penendang pertama selalu menang. Secara teoretis, keunggulan FMA bisa dibalik jika salah satu tim memiliki kiper yang cakap menghalau penalti. Keberhasilan kiper di tendangan pertama akan mengalihkan beban ke tim yang menendang pertama.
Di lain sisi, keputusan pemain, yang menendang/menghadapi penalti dalam tekanan besar, selalu rawan berbuah kesalahan.
Baca juga: 5 Cara untuk Memenangkan Adu Penalti
Pada era sekarang, tim mudah mendapatkan informasi untuk membuat keputusan lebih tepat, seperti yang dilakukan Xhaka atau Chiellini saat memenangi lempar koin. Namun, tekanan yang ada bisa jadi membuat eksekusi dilakukan secara buruk atau justru membuat pemain berubah pikiran.
Hal ini terjadi di final Liga Champions 2008 silam antara Manchester United vs Chelsea. Menurut penuturan eks pelatih kiper MU, Eric Steele, masing-masing tim waktu itu menggunakan bantuan perusahaan penyedia data untuk mengambil keputusan dalam adu penalti.
“Pada 2008, Manchester United menggunakan jasa perusahaan asal Jerman yang sama dengan Chelsea. Mereka punya lebih dari 16.000 data adu penalti di basis data mereka, dan kami menggandeng mereka di setiap pertandingan Liga Champions, membayar untuk sepaket informasi,” kata Steele kepada ESPN.
“Setiap penalti Chelsea diarahkan ke sisi kiri Edwin van der Sar hingga tiba jatah Anelka. Chelsea memutuskan bahwa Edwin punya kelemahan di sisi kiri dan setiap tendangan mengarah ke sisi kirinya hingga eksekusi Anelka melesat ke arah lain. Edwin menghalaunya dan menjadi pahlawan. Chelsea benar-benar tidak terima karena Anelka menyeleweng dari informasi yang mereka punya,” lanjutnya.
Kasus Anelka menunjukkan bahwa, sedetail apa pun informasi yang dipunya, aspek kesalahan manusia tetap rawan terjadi di situasi seperti itu. Anelka sendiri sepertinya tidak dalam kondisi psikis yang siap untuk adu penalti. Dalam wawancara beberapa hari setelah pertandingan, ia mengaku sempat menolak permintaan Avram Grant untuk menjadi bagian lima penendang utama. “Sedih untuk mengatakannya, tetapi saya tahu bahwa saya akan gagal menendang,” kata striker asal Perancis tersebut.
Dibanding kiper, tekanan terhadap penendang lebih besar. Salah satu alasannya adalah kegagalan kiper lebih sepi sorotan dibanding penendang. “Dalam perkara seperti ini, tekanan tidak mengarah ke penjaga gawang, melainkan kepada mereka yang akan menendang,” kata eks kiper internasional Perancis, Fabian Barthez.
Faktor psikologis yang mengitari penendang adalah perkara kompleks yang membuat kesimpulan statistik tak bisa sepenuhnya berlaku. Banyak hal kecil bisa mengacaukan konsentrasi pemain. Bahkan catatan sejarah yang tak ada sangkut pautnya dengan sang pemain bisa memberi tekanan.
Hal tersebut dialami Jamie Carragher pada 2006. Di perempat final Piala Dunia lawan Portugal, eks bek Liverpool itu dimasukkan pada penghujung babak tambahan waktu. Ia dimasukkan untuk menjadi eksekutor adu penalti semata. Carragher dijadikan eksekutor karena, sebelumnya, ia sukses menjaringkan bola dalam dua adu penalti bersama The Reds. Ia juga sukses menendang di sesi latihan. Namun, menghadapi Portugal, ia gagal sebagai penendang pertama.
“Saya tak pernah gagal bersama Liverpool dan saya selalu memiliki kepercayaan bahwa kami akan menang bersama mereka. Itu berbeda dengan Inggris. Anda merasa bahwa Anda akan kalah sebelum memulai. Mungkin itu murni perkara psikologis, karena dengan Liverpool kami punya riwayat kemenangan adu penalti. Kami tidak memilikinya bersama Timnas Inggris,” kata Carragher.
Adu penalti memang dijalankan lewat urut-urutan sederhana. Namun, serangkaian efek psikologis yang ditimbulkannya amatlah kompleks dan cenderung menguntungkan penendang pertama. Luc Arrondel dkk. menemukan bahwa, semakin besar pertaruhan dalam tendangan, yang mana lebih sering dialami tim kedua, semakin tinggi risiko gagal.
Baca juga: Debat Dua Fisikawan Inggris Tentang Adu Penalti
Upaya-upaya Membuat Adu Penalti Lebih Adil
Statistik menunjukkan bahwa keunggulan penendang pertama cukup signifikan. Tim yang memenangi lempar koin pun memiliki peluang menang lebih besar. Penelitian yang dirilis Mark Kassis dkk. pada 2021 menunjukkan bahwa tim yang memenangi lempar koin memiliki probabilitas kemenangan hingga 60,4%.
Hal ini tentu menjadi preseden buruk bagi imej keadilan adu penalti. Meskipun lebih sportif dari lempar koin, sistem penalti yang sekarang dikritik karena lebih menguntungkan tim penendang pertama atau tim yang memenangi lempar koin.
Sejumlah kalangan pun mengusulkan perubahan sistem adu penalti. Setidaknya, sebagaimana dirangkum oleh Laszlo Csato, terdapat tiga usulan utama yang dianggap lebih baik. Usulan pertama dikenal sebagai aturan ABBA yang membalik urut-urutan tendangan (antara tim A dan tim B) tiap dua ronde.
Dalam aturan ABBA, urutan dua tendangan pertama adu penalti dibalik pada dua ronde berikutnya. Jadi misal tim A menendang pertama pada ronde pertama dan kedua, maka tim B ganti menjadi penendang pertama pada ronde ketiga dan keempat. Demikian seterusnya.
Aturan itu sempat diujicobakan pada 2017 di Piala Eropa U-17 dan U-19. Sistem ini juga diterapkan dalam partai Community Shield antara Arsenal vs Chelsea pada 6 Agustus 2017.
Akan tetapi, IFAB akhirnya meninggalkan opsi penerapan aturan ABBA. Pasalnya aturan baru itu tidak mendapatkan dukungan kuat karena prosedur yang dianggap terlalu rumit.
Usulan lain dikemukakan oleh Steven Brams dan Mehmet Ismail pada 2018. Aturan yang digagas mereka dikenal sebagai Catch-Up Rule. Aturan ini membalik urut-urutan tendangan di masing-masing ronde, termasuk ketika adu penalti memasuki babak sudden death. Urutan tendangan tidak dibalik jika tim pertama gagal menjaringkan bola sedangkan tim kedua sukses mengonversi penalti.
Aturan yang diusulkan Brams dan Ismail dimodifikasi Csato untuk menemukan rumusan yang lebih adil. Urut-urutan tendangan secara umum masih sama dengan Catch-Up Rule. Bedanya, tim penendang kedua mendapat jatah tembakan pertama ketika adu penalti memasuki babak sudden death (tembakan keenam).
Berdasarkan permodelan matematika Csato, aturan modifikasi Catch-Up Rule yang diusulkannya memiliki tingkat keadilan lebih baik. Probabilitas kemenangan lebih dekat ke 50% dibanding dua aturan sebelumnya.
Beberapa usulan perubahan adu penalti telah dilontarkan. Meskipun keuntungan penendang pertama diakui secara luas, IFAB tak kunjung berbenah. Ganjalan utamanya adalah kerumitan aturan baru yang lebih adil, sebagaimana ditunjukkan uji coba pada 2017 silam. Namun, kemungkinan sistem adu penalti akan berubah tetap terbuka lebar. Bukan tidak mungkin usulan-usulan ini akan mengetuk pintu IFAB dan dipertimbangkan.
Komentar