Sorak sorai pendukung timnas Indonesia kembali bergemuruh ketika tim kesayangannya berhasil melaju ke babak final Piala AFF 2020. Pemandangan yang kembali terjadi setelah sebelumnya terjadi di tahun 2010, dan 2016. Menjadi memori tersendiri bagi penulis ketika kembali merasakan hal yang serupa terjadi di tahun ini.
Lahir di penghujung tahun 90’ an menjadi alasan mengapa penulis hanya menyebutkan final Piala AFF tahun 2010 dan 2016. Ke tiga final Piala Tiger yang disinggahi Indonesia, yakni di tahun 2000, 2002, dan 2004 sulit untuk dikenang dalam benak, karena pada saat itu penulis masih berusia belia.
Yang paling kentara adalah Piala AFF 2010, karena saat itu baru merasakan riuh ramainya dinamika timnas Indonesia. Pandangan mulai berpaling dari klub sepakbola kepada timnas Indonesia. Media seakan tidak pernah tidur ketika Indonesia lolos ke babak final. Salah satunya stasiun televisi berita yang tak pernah henti menayangkan cuplikan gol-gol Indonesia dan membahas sepak terjang Indonesia di Piala AFF 2010.
Suasana jalanan Otto Iskandar Dinata, Bandung yang biasa dihiasi pedagang dengan menjajakan kostum klub Persib Bandung, seolah berubah menjajakan kostum Timnas Indonesia, hingga jaket yang selalu dipakai pemain ketika memasuki lapangan. Yang paling menonjol adalah kostum timnas dengan nama Gonzales karena saat itu ia menjadi bomber hebat bagi timnas Indonesia maupun Persib Bandung.
Walaupun berakhir dengan kekalahan di tangan Malaysia, namun memori mengenai riuh penonton saat itu tidak pernah hilang. Bahkan, jauh sebelum itu animo masyarakat Indonesia terhadap persepakbolaan sangat tinggi. Stadion selalu penuh sesak ketika timnas hendak bermain di Stadion Gelora Bung Karno.
Namun, hingga detik ini kebahagiaan pendukung timnas Indonesia belum menemui puncaknya. Pencapaian timnas Indonesia, khususnya senior belum pernah meraih medali di ajang bergengsi. Ketika mencapai partai final selalu takluk oleh lawannya. Alhasil lima final Piala AFF belum pernah sekalipun Indonesia mengemas gelar. Maka dari itu, puncak perayaan pendukung hanya sebatas lolos fase grup, hingga lolos ke babak final, setelah itu dibuat kecewa ketika takluk di final.
Sepak terjang Garuda di Piala AFF
Pasca era timnas tahun 2010, federasi kembali mengalami guncangan yang mengakar ke penampilan timnas Indonesia. Pecahnya liga menjadi dua (ISL dan IPL) menjadi penyebab menurunnya penampinal timnas Indonesia di atas lapangan. Memasuki Piala AFF 2012, timnas Indonesia tampil dengan susunan pemain baru yang dihuni oleh para pemain IPL yang saat itu merupakan liga resmi di bawah naungan PSSI. Saat itu timnas Indonesia gagal lolos di fase grup dengan mengemas empat poin, sekaligus menjadi penurunan baginya setelah di edisi sebelumnya berhasil menginjak partai final.
Di periode selanjutnya, yakni Piala AFF 2014, yang dimana di tahun tersebut merupakan masa transisi federasi dan kompetisi Indonesia yang kian hari makin stabil. ISL yang sebelumnya dianggal illegal kini menjadi legal sebagai kompetisi tertinggi di Indonesia. Para pemain yang menghuni skuad timnas kini bisa dibilang lebih mumpuni dibandingkan edisi sebelumnya. Namun sayang, hasil Indonesia masih belum bisa menyamai pencapaian di tahun-tahun sebelumnya yang berhasil menembus partai final.
Tahun 2016 menjadi edisi pahit dan manis bagi pecinta timnas Indonesia. Di tahun tersebut kondisi federasi kembali mengalami kekacauan akibat di sanksi FIFA dan liga dijalankan oleh Menpora. Alhasil, jadwal pertandingan liga dengan kompetisi Piala AFF bertabrakan. Alfred Riedl yang saat itu menunggangi Indonesia, dibatasi dalam mengambil sejumlah pemain. Hal tersebut membuat segelintir pendukung Indonesia geram dan pesimis untuk pencapaian timnas di Piala AFF 2016.
Namun di luar dugaan, Indonesia pada akhirnya berhasil melaju ke babak final menghadapi Thailand. Menariknya adalah ketika Indonesia berhasil melaju ke babak final ketika ditunggangi oleh Alfred Riedl, pelatih yang sama kala timnas Indonesia melaju ke babak final Piala AFF 2010.
Media sosial yang saat itu sudah mulai kencang seakan ikut merayakan lolosnya timnas Indonesia ke partai final setelah berhasil mengalahkan Vietnam di babak semifinal. Euphoria di semifinal membuat perasaan pendukung timnas naik turun. Digempur habis-habisan, timnas Indonesia mampu menahan kekuatan besar Vietnam dan berhasil lolos dengan dramatis.
Namun, lagi dan lagi rasa senang pendukung ketika Indonesia lolos ke babak final tidak disempurnakan dengan meraih gelar juara.
Ditahun selanjutnya, pencapaian Indonesia cenderung antiklimaks. Setelah berhasil melaju ke babak final di tahun 2016, di Piala AFF 2018, bahkan Indonesia tidak mampu lolos di fase grup. Hal tersebut sekaligus menjadi kekecewaan tersendiri bagi pendukung.
Kecewa untuk kesekian kalinya
Bagaimana tidak, perasaan penuh harapan ketika berhasil masuk final dan meraih gelar pertama, kandas begitu saja. Setelah itu, berharap adanya pembenahan dengan segala kekurangannya di final, yang terjadi hanyalah sebuah proses dari awal dengan meramu skuad baru yang hasilnya belum bisa dirasakan dengan baik oleh penikmat sepakbola tanah air.
Ketika pencapaian timnas mengalami penurunan, para pendukung tidak hanya menyoroti timnas Indonesia ketika bermain di lapangan. Bahkan, bobroknya federasi dalam mengurus timnas menjadi sorotan yang besar. Bisa dibilang, penurunan pencapaian timnas adalah sebab dari federasi yang tidak bisa mengurus anaknya dengan baik. Baik itu mengelola timnas ataupun sebuah kompetisi liga.
Aksi demonstrasi pun kerap beberapa kali dilakukan oleh pendukung Indonesia. Hal tersebut dilakukan sebagai bentuk protes terhadap kinerja federasi dalam mengurus persepakbolaan Indonesia. Tujuannya hanya satu, pendukung hanya ingin Indonesia tampil dengan baik dan meraih prestasi setinggi mungkin.
Belum ada tanda perbaikan dari federasi dalam mengurus sepakbola Indonesia. Terakhir, di tahun 2021 ketika geliat kompetisi bergulir masih saja ada permasalahan di dalam piramida kompetisi Indonesia yang masih belum terurus dengan baik oleh federasi. Bahkan dalam pelaksanaan liga masih saja berbenturan dengan jadwal timnas Indonesia dan mengharuskan pelatih mengambil pemain setidaknya dua pemain per klub.
Titik balik sorak pendukung Indonesia
Rasa pesimis kembali menghinggapi pendukung ketika Indonesia akan tampil di Piala AFF 2020. Jumlah pemain yang dibatasi, dan kompetisi yang baru bergulir setelah sebelumnya terhenti, menjadi ingatan yang serupa kala timnas Indonesia tampil di Piala AFF 2016. Bukan hanya itu, ketika berhasil melaju ke final dan (kembali) berhadapan dengan Thailand seakan hal tersebut membuat pendukung Indonesia de javu.
Pola ini sering terjadi di benak pendukung kala Indonesia hendak bermain di sebuah kompetisi. Laga awal Indonesia kontra Kamboja menjadi titik awal perjuangan timnas di Piala AFF 2020. Meskipun unggul 4-2, penampilan timnas Indonesia tidak terhindar dari kritikan para pendukung di media sosial. Sering hilang bola, hingga kebobolan oleh tim sekelas Kamboja menjadi garis besar betapa buruknya Indonesia tampil di laga perdana.
Namun, pembuktian penampilan apik timnas Indonesia berawal dari laga terakhir penentuan fase grup melawan rivalnya, Malaysia. Indonesia berhasil melibas Malaysia dengan skor telak 4-1, dan mengokohkan namanya sebagai juara grup B, diatas tim raksasa Asia Tenggara, Vietnam.
Cuplikan demi cuplikan kemenangan timnas atas Malaysia berkeliaran di lini masa sosial media. Pendukung Indonesia seolah terpuaskan oleh penampilan tim kesayangannya ketika melibas rivalnya. Beberapa suara pendukung mulai meningkat kala menghadapi Singapura di semifinal.
Kafe, rumah makan, warung kopi, hingga pos ronda kembali dipenuhi oleh jiwa yang lapar akan kemenangan Indonesia. Sorak sorai ketika mencetak gol kembali terdengar setelah puasa kurang lebih lima tahun lamanya.
Puncaknya, ketika Indonesia berhasil melaju ke babak final. Tangis haru, saling rangkul antar penonton kembali terlihat. Hingga, media-media kembali menayangkan sepak terjang Indonesia di Piala AFF 2020. Ditambah derasnya informasi di media sosial membuat nama timnas Indonesia kembali terdengar oleh kuping para pendukung yang sunyi akan riuh sorak kemenangan.
Musiman ataupun setia, tapi tetap satu
Saking ramai dan derasnya arus sosial media, seseorang yang awalnya hanya mengenal timnas Indonesia di permukaan saja, kini vokal dalam mendukung timnas Indonesia. Bahkan bisa dikatakan pendukung “musiman”, cirinya adalah mereka akan vokal dan mengikuti perkembangan timnas Indonesia ketika penampilannya sedang naik dan menjadi sorotan publik.
Penulis menganggap konotasi pendukung musiman sebagai hal yang positif, karena mendukung dan tidak mendukung merupakan hak masing-masing individu sebagai penikmat sepakbola. Menjadi sebuah keuntungan ketika pendukung musiman ini mulai vokal ketika Indonesia meraih pencapaian yang baik. Suara ataupun dukungan semakin banyak tergaung dari pendukung Indonesia.
Selain itu, di luar sana masih banyak pula pendukung setia timnas, baik itu sedang terpuruk maupun timnas sedang diatas daun. Mereka selalu menyaksikan bagaimana timnas berproses dari yang buruk menjadi lebih baik. Bagi mereka timnas sudah memiliki tempat tersendiri di hatinya, mereka tak segan untuk mengkritik federasi dalam mengasuh timnas, dan kembali bersorak ketika timnas meraih hasil yang baik.
Di laga final Piala AFF 2020, akan menjadi penantian seluruh umat pecinta sepakbola nasional. Jika timnas membawa pulang gelar juara, maka ini akan menjadi puncak bagi kebahagiaan pendukung timnas Indonesia. Namun, jika kembali takluk, ini menjadi kesekian kalinya pendukung dibuat terjatuh.
Perlu digaris bawahi, ketika timnas tampil di atas lapangan, mereka hanya membawa nama Indonesia dan garuda di dada dengan kemenangan menjadi harga dirinya. Kekecewaan kita hanya sebatas penampilan mereka di atas lapangan, sisanya federasi yang menentukan. Setelah itu, garuda dan harga diri bangsa Indonesia harus tetap ditanamkan di hati. Selamanya Garuda!
Komentar