Sejak seri keempat bergulir, Liga 2021/22 tidak henti didera masalah. Dihantam gelombang ketiga COVID-19 di lingkungan pemain, liga yang kejar tayang dan puncaknya ketika Tim Nasional Indonesia batal ikut Piala AFF U-23 2022.
Sederet masalah yang menggerogoti kompetisi sepakbola, menimbulkan kekecewaan banyak orang, terlebih kelompok suporter. Kekecewaan ini mendorong beberapa elemen suporter klub, asal Makassar, Lamongan, Madura, Bogor, hingga Jakarta berkumpul dan menuntut perbaikan di tubuh Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) serta PT Liga Indonesia Baru (LIB). Dari hasil perkumpulan tersebut, kemudian melahirkan beberapa poin tuntutan kepada PSSI dan PT LIB.
Larang Pemilik Klub urus PSSI atau LIB
Pemilik klub dilarang menjabat di PSSI maupun LIB. Perwakilan suporter, Cak Conk mengatakan, jika pemilik klub menjabat sebagai regulator atau operator, bisa memunculkan konflik kepentingan.
“Memangnya tidak ada orang-orang yang bisa mengurus PSSI atau LIB? Kenapa harus orang-orang itu saja?” imbuhnya kepada Pandit Football. Menurutnya, tidak sedikit orang yang ahli dalam sepakbola, namun tidak dilibatkan di federasi dan operator.
Meski demikian, tidak ada larangan anggota PSSI atau LIB rangkap jabatan sebagai pengurus klub. Saat ini, ada Ferry Paulus yang menjabat sebagai pengurus LIB sekaligus Direktur Olahraga Persija Jakarta.
Sementara dalam aturan PSSI, hanya ada larangan kepemilikan dua klub atau lebih, bukan larangan rangkap jabatan sebagai pemilik klub dan pengurus PSSI atau LIB. Hal itu tercantum dalam Statuta PSSI Pasal 19, bahwa kepemilikan lebih dari satu klub dalam satu turnamen, baik oleh perorangan atau induk/anak perusahaan, adalah pelanggaran.
“Dalam keadaan apa pun, tidak seorang pun atau badan hukum termasuk induk perusahaan dan anak perusahaannya dapat mengendalikan lebih dari satu klub atau grup yang menyebabkan integritas suatu pertandingan sepakbola diragukan,” tulis Statuta PSSI Pasal 19.
Jika menilik segi historis, justru PSSI dibentuk oleh tujuh pendiri klub, di antaranya Persib Bandung, Persija Jakarta, PSIM Yogyakarta, Persis Solo, Persebaya Surabaya, PSM Madiun dan PPSM Magelang. Makanya sah-sah saja untuk rangkap jabatan, meski dinilai ada konflik kepentingan.
Perbaikan Kompetisi
Beberapa jadwal pertandingan yang berlangsung di Bali, diselenggarakan pada larut malam. Dari sekian klub, jadwal tanding Persib berlangsung pada pukul sembilan malam. Hal itu menjadi ironi antara kejar tayang dan kesehatan pemain.
LIB mematok jadwal yang tidak elok. Di tengah-tengah Liga 1 seri keempat, gelombang ketiga COVID-19 terjadi. Sejak itu pula, sebanyak tiga pertandingan ditunda akibat beberapa klub krisis jumlah pemain.
Tentunya, pertimbangan jadwal larut malam ditambah COVID-19 bisa menggadaikan kesehatan pemain. “Liga kita kejar tayang,” kata Cak Conk. LIB tidak punya rencana menghentikan kompetisi sementara waktu. Padahal, kata Conk, penghentian liga sementara bisa memutus penyebaran COVID-19.
Bukan hanya jadwal yang berantakan, pengadil lapangan selalu berlaku di luar nalar. Dari rilis hasil diskusi suporter, keputusan wasit acap kali tidak adil. Entah dari keputusan offside, ataupun memberi kartu merah tanpa dasar argumen. Artinya, bagi mereka pun kualitas wasit di kompetisi Indonesia patut untuk diperbaiki.
Demi membantu wasit, pengadaan teknologi Video Assistant Referee (VAR) juga patut dipertimbangkan. Masalahnya, keputusan wasit tidak jarang menimbulkan kekesalan suporter. Kehadiran VAR bisa membantu wasit memperjelas keputusan yang dibuat.
Badan Independen
Kelompok suporter sepakat meminta pembentukan pengawas independen terbaru. Pengawas ini serupa dengan Satgas Anti-mafia Bola bentukan Polisi atas rekomendasi PSSI. Bedanya, pemilihan pihak pengawas independen dipilih oleh klub, pemain, dan suporter, tanpa ada campur tangan PSSI.
Sampai saat ini, Satgas bentukan Polisi belum kembali memperlihatkan batang hidungnya. Publik tentu menyayangkan karena Perserang Banten dan Gresik United sempat tersandung kasus pengaturan skor.
Naturalisasi
Indonesia kedatangan amunisi baru naturalisasi, yakni Sandy Walsh dan Jordi Amat. Keduanya punya darah Tanah Air dari orang tua dan kakek-neneknya, sehingga bisa membela Indonesia dengan cepat.
Keduanya santer jadi bahan pembicaraan, tatkala Walsh dan Amat berkarir di Eropa. Bekal dari Eropa, yang menjadi pertimbangan Indonesia menaturalisasi keduanya. Usai berakhir menjadi runner-up, tentu Indonesia harus berbenah, salah satunya lewat perekrutan naturalisasi.
Naturalisasi bukan hal ganjil. Indonesia sudah banyak dibela pemain naturalisasi sejak medio 2010. Namun hal itu ditentang oleh kelompok suporter. Mereka berdalih, jika kompetisi domestik berjalan baik, tentu tidak perlu sibuk merekrut naturalisasi.
Dari sekian banyak manusia di Indonesia, Conk pun yakin tidak mungkin sulit mencari talenta-talenta sepakbola, “Tanpa naturalisasi, kita bisa berbicara. Kalau liganya berjalan sehat, aku yakin bisa,” tegas Conk.
Apalagi batalnya keberangkatan Tim Nasional Indonesia ke Piala AFF U-23 2022, adalah buntut ketidakbecusan federasi dan operator kompetisi mencegah masalah COVID-19. Skuad Garuda semakin tidak siap untuk tampil prima saat kesempatan Piala AFF hilang dan naturalisasi datang.
Komentar