Pada SEA Games 1991, Indonesia dikomandoi manajer I Gusti Kompyang Manila dan pelatih asal Uni Soviet – sekarang Rusia, Anatoli Fyodorovich Polosin. Manila serta Polosin punya andil besar bagi sepakbola Indonesia saat itu.
Sebelum menjalani turnamen seantero Asia Tenggara, pemain Indonesia digenjot persiapan selama empat bulan. Dalam buku biografi Manila berjudul “Panglima Gajah, Manajer Juara”, para pemain berlatih dengan dan tanpa bola.
Shadow Football, latihan tanpa bola, ditekankan Polosin dalam dua kali sehari. Seiring latihan, Polosin menambah porsi latihan menjadi tiga kali sehari. Dalam hal ini, Polosin menekankan pentingnya posisi, bentuk tubuh, dan reflek.
Selain itu, Polosin juga menekankan sentuhan bola dari para pemain. Menurut mantan pemain Tim Nasional (Timnas) Indonesia pada SEA Games 1991, Herrie Setyawan, tujuan utama dalam latihan sentuhan bola agar pemain bisa lebih aktif.
“Saat bertanding, dia [Polosin] menghitung sentuhan kita ada berapa dalam waktu 45 menit [babak pertama dan kedua]. Tujuannya agar kita aktif, tidak hanya menunggu [bola],” ungkap Herrie via telepon kepada Pandit Football.
Nantinya Polosin akan mencatat pemain mana saja yang malas mengejar bola.
Polosin, kata Herrie, juga memanfaatkan gunung dalam melatih anak asuhnya. Tercatat ada dua gunung yang dipilih Polosin untuk menggembleng para pemain. Adalah Gunung Sanggar Batujajar di Bandung dan Air Terjun Coban Rondo di Malang.
Menurut Herrie, Batujajar menjadi lokasi para Komando Pasukan Khusus (Kopassus) dilatih. Karena Polosin merupakan orang yang keras, maka pegunungan itu menjadikan fisik para pemain Indonesia kuat.
Namun dengan latihan macam itu, sejumlah pemain tersingkir. Tercatat Mecky Tata, Singgih Pitono, Eryano Kasiba, dan Ansyari Lubis didepak. Fisik mereka tidak tahan terus dikuras selama mengikuti pola latihan Polosin.
Pemain-pemain yang digadang-gadang akan bersinar juga terlempar dari seleksi Manila dan Polosin. Seperti Mustaqim yang didepak dari tim karena menderita cedera. Sementara Fachri Husaini dan Jaya Hartono memutuskan tidak melanjutkan kiprah pasca uji coba di Hong Kong dan Korea Selatan.
Fachri dan Hartono protes terhadap pola latihan yang dituntut Polosin. Keduanya menganggap latihan yang diterapkan Polosin terlalu ekstrem. Bahkan Polosin juga meminta anak asuhnya naik gunung.
“Mungkin berbeda dengan sepakbola modern saat ini. Polosin menanamkan ke kita bahwa fisik nomor satu dalam sepakbola karena melihat kelemahan tim kita. Kemampuan kalau tidak ditutupi stamina [tidak akan berjalan baik],” tambah Herrie.
Untuk mengapresiasi kerja keras para pemain, Manila memberikan gaji masing-masing pemain sebesar Rp 350 ribu. Kebijakan tersebut diambil oleh Manila agar para pemain punya semangat lebih membela Indonesia.
Namun, Indonesia hampir kehilangan pilar utama di bawah mistar, Edy Harto lantaran klub Krama Yudha Tiga Berlian (KTB) enggan melepasnya. KTB tengah sibuk mempersiapkan tim untuk berlaga di Piala Winners Asia.
“Waktu itu sebenarnya ada komunikasi yang kurang baik antara pengurus PSSI dengan Pak Syarnoebi Said, pemilik KTB. Setelah diperbaiki, Edy masuk tim (Indonesia),” ungkap Manila dalam buku biografinya seperti dikutip Historia.
Setelah Edy dipastikan bisa memperkuat Indonesia, Manila malah mencoret Ricky Yacobi dari skuad. Manila beralasan sang striker telah melakukan kecerobohan saat Indonesia menjalani laga uji coba melawan Malta pada Piala Presiden di Korea Selatan.
Dalam laga tersebut, Ricky menyia-nyiakan peluang. Ricky, yang berada di mulut gawang, membuang bola. “Kenapa tak kau tembak (ke gawang) itu bola?” teriak Manila selepas laga usai.
“Ricky hanya menjawab: hari itu dia sedang tidak boleh melukai hati orang lain.” Dengan mimik aneh, Manila menjawab “Alamak!” sambil menepuk kening.
Ketua Umum PSSI saat itu, Kardono tak habis pikir mengapa Manila mencoret pilar utama Indonesia. Apalagi, ketidakhadiran Ricky di Timnas Indonesia, menurut Kardono akan membahayakan misinya.
Saat Kardono berada di penghujung masa jabatan kedua, Soeharto memberinya misi khusus. Soeharto meminta Kardono agar Timnas Indonesia bisa menyabet prestasi emas SEA Games 1991.
Sebenarnya Kardono sudah melepas jabatan usai Indonesia memetik medali emas SEA Games 1987. Dalam buku “Selamat Jalan Pak Soeharto: Dokumen Kepergian Pemimpin Bangsa” , Soeharto enggan melepas Kardono dari kursi pemimpin PSSI.
Akan tetapi, Manila berteguh pada keputusannya. Jika Kardono mendorong Ricky masuk ke skuad, Manila akan mundur dari jabatan manajer. “Saya tidak main-main,” ketus Manila kepada Kardono.
Keputusan Manila tepat. Meski tanpa diperkuat Ricky, Indonesia tetap berjaya di Sea Games 1991.
18 Pahlawan Indonesia
Setelah latihan ekstrem selama sebulan penuh, terpilih 18 pemain dalam Skuad Indonesia yang berlaga di SEA Games 1991. Di bawah mistar, ada Edy Harto dan Erick Ibrahim. Lini belakang Robby Darwis, Ferril Hattu, Sudirman, Aji Santoso, Salahuddi Abdul Rachman, dan Herry Setyawan. Lini tengah Toyo Hartono, Maman Suryaman, Heriansyah, Kas Hartadi, dan Yusuf Ekodono. Lini serang Widodo Cahyono Putro, Peri Sandria, Hanafing, Bambang Nurdiansyah, dan Rochi Putiray.
Sebanyak 18 pemain mengeluhkan iming-iming bonus. Pemain meminta janji bonus tim Rp 3 juta saat berlaga di SEA Games 1991. Manila pun mengamininya dengan alasan para pemain telah menjalani serangkaian latihan “neraka”.
Dengan berbagai latihan kejam dan bonus yang cukup menggiurkan, membuat pemain seakan menjadi hebat. Kata Herrie Setyawan, orientasi sejak awal adalah medali emas. “Seberat apapun [latihan] untuk membawa Indonesia juara. Latihan seberat apapun, kami akan [lakukan].” tegasnya.
Tekanan tinggi dari Manila dan Polosin ternyata berbuah hasil. Pada fase Grup B SEA Games 1991, Indonesia tak terkalahkan dari Malaysia, Vietnam, dan sang tuan rumah Filipina.
Barulah di semifinal dan final, Indonesia mendapat ujian sesungguhnya. Kontra Singapura, Skuad Garuda hanya bisa bermain imbang hingga perpanjangan waktu. Laga pun mesti ditentukan lewat adu penalti yang dimenangkan Indonesia 4-2.
Sementara di babak final, giliran Thailand yang jadi lawan tanding Indonesia. Susunan pertama yaitu Edy Harto; Robby Darwis, Sudirman, Ferryl Hattu, Toyo Haryono, Herrie Setyawan; Yusuf Ekodono, Maman Suryaman, Heriansyah; Widodo Cahyo Putro, Peri Sandria hanya menahan imbang Thailand hingga dua babak tambahan berakhir. Akhirnya drama adu penalti terjadi.
Ketika skor penalti 3-3, Polosin memerintah Sudirman untuk menjadi algojo penentu. Usia Sudirman masih 21 tahun, tetapi sepakannya mampu merobek gawang Thailand. Skor akhir 4-3 memastikan Indonesia meraih medali emas kedua.
Formasi Timnas Indonesia pada final SEA Games 1991
Komentar