Pada 1961, Johan Huwae mendapatkan kewarganegaraan Belanda. Ia sudah bermain untuk sebuah tim di daerah Zeeland, Belanda. Menurut Huwae, level sepakbola di Belanda dan Hindia Belanda (Indonesia) tak terlalu jauh. “Namun, di Indie (Indonesia) bermain lebih cepat dengan kombinasi umpan-umpan pendek. Gayanya agak sedikit mirip Brazil. Di Indonesia juga lebih kasar. Saya pernah ditendang di dada, tapi wasit tak menganggap itu pelanggaran. Wasit mengizinkan segalanya. Kalau di Belanda, wasit jauh lebih ketat.”
Pada 28 Oktober 1995, surat kabar Belanda, Provinciale Zeeuwse Courant, menurunkan esai yang cukup panjang soal kiprah Johan Huwae. Esai ini bisa menjadi salah satu bahan untuk memahami kisah orang-orang yang tak dikenal dalam sejarah Indonesia, khususnya yang berkaitan dengan sepakbola.
Johannes Benjamin Huwae adalah orang Maluku Selatan, namun ia lahir di Jakarta dan Besar di Bandung. Di Bandung lah ia pertama kali mengenal sepakbola. Namun, ia tak bermain dengan bola yang dimainkan anak-anak seperti zaman sekarang. Ia mengganti bola dengan sebuah jeruk bali.
"Ketika Anda memainkannya pertama kali, jeruk itu keras. Tapi berubah menjadi lunak saat Anda selalu memainkannya," katanya.
Di Bandung pula ia bergabung dengan dua klub legendaris, Uitspanning Na Inspanning (UNI) dan Spelen in De Open Lucht is Gezond (SIDOLIG). Ia adalah pemain sayap. Bahkan, Provinciale Zeeuwse Courant menyebutnya sebagai pemain sayap kanan terbaik di Indonesia. Surat kabar yang sama juga menyebut Huwae pernah beberapa kali membela timnas Indonesia. Namun, konflik politik membuat Huwae harus pergi ke Belanda.
***
Konferensi Meja Bundar (KMB) 1949 mengubah konstelasi politik Indonesia. Para serdadu Koninklijk Nederlands Indische Leger (KNIL) yang berasal dari Ambon, Maluku, dalam kondisi yang serba bimbang. Ada yang bergabung dengan TNI, dan ada juga yang memilih pergi ke Belanda.
Banyak anggota KNIL yang berasal dari Maluku. Pemerintah kolonial merekrut banyak orang Maluku dan Minahasa untuk mengimbangi pasukan KNIL yang mayoritas berasal dari Jawa.
Provinciale Zeeuwse Courant, pada edisi 19 Desember 1950, mewartakan sebuah berita tentang pertandingan antara SIDOLIG melawan Jong Ambon yang menewaskan beberapa orang. Kericuhan terjadi saat pertandingan berlangsung sekitar lima menit. Pertandingan itu sebenarnya digelar untuk menyambut natal sekaligus menjadi perayaan atas dipulangkannya para Tentara Kerajaan Belanda ke negeri asalnya.
Rupanya, pertandingan itu mencuri perhatian masyarakat Bandung, tak terkecuali para Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI). Mereka memaksa masuk stadion tanpa membayar karcis. Akibatnya, terjadi kericuhan antara APRI dan serdadu kerajaan Belanda, yang membuat tentara APRI menembak secara brutal ke arah stadion.
Lanskap politik seperti itulah yang menjadi lingkungan hidup Johan Huwae. Ia pernah bekerja sebagai sipir, dan kemungkinan besar ia termasuk anggota KNIL. Maka masuk akal ketika ia memutuskan untuk pergi ke Belanda pada 25 Maret 1951, tepat di hari ulang tahunnya yang ke-26.
Di Belanda, Huwae tinggal di Middelburg, sebuah kota di Provinsi Zeeland. Huwae tetap bermain sepakbola, bahkan sampai tim MV&AV Middelbourg tertarik dengan kemampuannya.
Jika dibandingkan dengan orang-orang Belanda, postur Huwae jelas kalah. Posturnya 156 cm. Ia pernah berlatih dengan MV&AV Middelbourg. "Dia mengikat bola ke kakinya, kata seseorang ketika pelatih Jan Ravenschot menyuruh saya melakukan sesuatu," tutur Huwae. "Saya langsung diizinkan untuk berpartisipasi di babak pertama. Saat itu melawan KVV Dosko yang diperkuat pemain timnas Belanda, Rinus Benaars. Kami menang 6-1. Saya berlari lebih cepat dari yang lain."
Penampilan Huwae begitu memikat. Ia dikenal banyak orang, dan pada akhirnya ia diadopsi oleh Mr. Lavooy, pemilik sebuah toko pakaian.
Huwae bermain untuk MV&AV Middleburg selama lima tahun. Performanya membuat pemuda-pemuda dari Maluku kagum. Salah satu pemuda itu adalah John Lilipaly.
John Lilipaly baru dikenal ketika terpilih menjadi Tweede Kamer (semacam DPR) pada 1986 melalui Partai Buruh. Sebagai anggota Tweede Kamer, ia fokus pada diskriminasi rasial. Pasalnya, Lilipaly adalah korban rasisme di Belanda. Ketika Lilipaly sedang bermain di lapangan, di antara penonton ada yang berteriak "tendang negro itu dari lapangan." Lilipaly menyebut rasisme di lapangan itu sebagai vandalisme verbal.
Johan Huwae berbeda. Ia tak pernah mengalami diskriminasi rasial. Orang-orang justru sangat menghormatinya. Huwae mengaku orang-orang tak pernah memanggilnya kacang (merujuk pada kacang hitam) kepada dirinya. "Kami bermain di Terneuzen. Semua orang kemudian berbicara dengan hormat - orang Brazil kecil itu."
Lilipaly lima belas tahun lebih muda dari Huwae. Ia mengenal sepakbola sejak kecil di Semarang. Bola yang ia gunakan adalah koran yang disusun sedemikian rupa agar berbentuk bundar.
Lilipaly pernah bermain bersama VC Vlissingen. Perjalanannya tak mudah. Awalnya ia tak mempunyai sepatu sepakbola. Saat umurnya masih 16 tahun, ia bermain di tim utama. Ia juga memiliki kemampuan yang Huwae punya: teknik, kecepatan, serta pergerakan yang sulit ditebak. Merujuk surat kabar Provinciale Zeeuwse Courant, PSV pernah memantau bakat Lilipaly, namun ayahnya tak mendukung.
Lilipaly terus berjuang untuk melawan diskriminasi, sebagai orang yang mengalami perubahan iklim politik dengan cepat yang berdampak pada dirinya dan keluarga - serta orang-orang yang tergabung dalam KNIL.
***
Bagi para tentara KNIL Ambon yang enggan masuk TNI, pergi ke Belanda adalah alasan logis. Mereka adalah tentara kerajaan, dan pekerjaanlah yang harusnya mengayomi mereka. Mereka tak mungkin kembali ke Maluku karena pada 25 April 1950, tentara KNIL memproklamasikan berdirinya Republik Maluku Selatan (RMS) - padahal, KNIL rencananya akan dibubarkan pada 26 Juli 1950.
Peneliti LIPI, Nur Aisyah Kotarumalos, dalam jurnal berjudul "Mengkonstruksi Identitas Diaspora Maluku di Negeri Belanda," menulis bahwa Presiden Sukarno menolak memulangkan sekitar 4000-an tentara Ambon KNIL yang masih berada di Jawa. Pemerintah khawatir tentara-tentara KNIL itu akan membantu rekan-rekannya untuk memperkuat kekuatan RMS.
Belanda dan Maluku memang punya hubungan sejarah yang panjang. J.P. Coen, pada 1621, membantai orang-orang Banda untuk menguasai perdagangan rempah, sekaligus membalas dendam atas jebakan orang-orang Banda pada pasukan Verhoevem pada 1609. Ribuan orang Banda tewas dan akhirnya VOC berhasil menguasai Banda. Ini merupakan salah satu pembantaian VOC terbesar di Nusantara.
Hubungan antara orang-orang Maluku dan Belanda berlanjut, saat Pemerintah Kolonial menyuruh penduduk Maluku untuk menjadi tentara. Namun, mengelola perkebunan lebih menggiurkan dibanding menjadi tentara. Semua berubah saat harga rempah menurun. Perlahan, orang-orang Maluku mulai tertarik menjadi tentara KNIL. Mereka dikenal setia karena membantu Pemerintah Kolonial menguasai wilayah-wilayah Nusantara, dan bayaran mereka paling tinggi di antara tentara dari daerah lain. Mereka menyebut diri sebagai Belanda Hitam.
***
John Lilipaly lahir di Maluku. Ia pergi ke Belanda bersama orang tuanya. Saat baru tiba di Belanda, John dan orang tuanya tinggal di Oranjehotel di Dordrecht. Mereka berpindah-pindah tempat tinggal. Setelah dari Oranjehotel, mereka tinggal di De Lichtkuip di daerah Noordwykerhout, hingga ke daerah-daerah lain seperti Roermond, Vlissingen, dan Souburg.
Ia bukanlah orang kelahiran Indonesia pertama yang menjabat sebagai Tweede Kamer. Lambertus Nicodemus Palar (LN Palar), pernah menjadi anggota Tweede Kamer dari PvDa. Palar mengusulkan agar kemerdekaan Indonesia diakui. Namun, karena banyak yang tak setuju dengan usulannya, ia akhirnya memutuskan untuk mundur dari keanggotaan Tweede Kamer. Selain Palar, Roestam Effendi dan Setiadjit pun pernah menjadi anggota Tweede Kamer.
Sebagai seorang minoritas, Lilipaly fokus pada diskriminasi. Selain itu, ia juga membahas persoalan Maluku di Belanda. Orang-orang Maluku di negeri Belanda banyak yang ngotot bahwa tanah air mereka adalah Maluku Selatan. Dieksekusinya pimpinan RMS, Soumokil, pada 1966 membuat mereka marah.
Kemarahan itu berbuntut pada penyerangan Kedutaan Besar Indonesia di Wassenar pada 1970, penyanderaan di konsulat RI dan sebuah sekolah, serta pembajakan kereta api.
Salah satu cara untuk meredakan kemarahan adalah mengunjungi kembali tanah leluhur mereka, tak terkecuali John Lilipaly. Ia mengunjungi Maluku, dan ia sangat memiliki perasaan kuat dengan Maluku.
"Saya tidak memiliki gambaran dalam ingatan saya, tetapi hal-hal lain seperti aroma rempah tertentu membuat saya tahu: Saya pernah ke sini. Saya memiliki perasaan yang sangat kuat bahwa saya menemukan kembali akar saya. Kehangatan kerabat dan kenalan yang hanya bisa saya ketahui dari surat-surat... aku milik dua dunia, Timur dan Barat," akunya pada jurnalis Wera de Lange, dari surat kabar Het Parool.
***
Johan Huwae dan John Lilipaly hanya dua dari ribuan orang Maluku yang hijrah ke Belanda. Dari orang-orang Maluku yang hijrah ke Belanda itulah telinga kita akrab dengan berita-berita tentang deretan pesepakbola Belanda yang mempunyai darah Indonesia.
Komentar