Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF) dalam kesimpulan laporannya menyebut bahwa penyebab terjadinya Tragedi Kanjuruhan adalah karena PSSI dan para pemangku kepentingan liga sepakbola Indonesia tidak profesional.
“PSSI dan para pemangku kepentingan liga sepakbola Indonesia tidak profesional, tidak memahami tugas dan peran masing-masing, cenderung mengabaikan berbagai peraturan dan standar yang sudah dibuat sebelumnya, serta saling melempar tanggung jawab pada pihak lain. Sikap dan praktik seperti ini merupakan akar masalah yang sudah berlangsung selama bertahun-tahun dalam penyelenggaraan kompetisi sepak bola kita, sehingga dibutuhkan langkah-langkah perbaikan secara drastis namun terukur untuk membangun peradaban baru dunia sepakbola nasional,” tulis TGIPF dalam laporannya.
Ketidak-profesionalan PSSI dalam mengurus sepakbola nasional membawa petaka. Tragedi Kanjuruhan, berdasarkan laporan TGIPF, jelas sebagai akibat tidak profesionalnya PSSI dalam mengurus sepakbola.
Dalam sejarahnya, PSSI memang pernah mendaku sebagai pengurus sepakbola amatir. Itu terjadi di era 1930-1950-an. Konteksnya, saat itu, liga profesional yang mengacu pada liga Eropa belum mampu dijalankan oleh PSSI.
PSSI Sebagai Pengurus Sepakbola Amatir
Untuk memahami istilah amatir, KBBI memberi penjelasan: amatir adalah kegiatan yang dilakukan atas dasar kesenangan dan bukan untuk memperoleh nafkah, misalnya orang yang bermain musik, melukis, menari, bermain tinju, sepak bola sebagai kesenangan.
Kalau penjelasan KBBI ini dipakai untuk memahami sejarah sepakbola Indonesia, PSSI pernah mengaku bahwa mereka hanya mau memainkan sepakbola untuk kesenangan.
Pasca-kemerdekaan, PSSI menyelenggarakan kompetisi antarkota. Kompetisi ini telah diselenggarakan sejak 1931. Ada semacam kebimbangan terkait prinsip apa yang digunakan dalam pelaksanaan kompetisi itu; mau amatir atau profesional?
Profesional, dalam hal, ini berarti menyelenggarakan kompetisi seperti yang diselenggarakan oleh negara-negara Eropa. Dari sisi industri, profesionalisme jelas lebih menjanjikan. Namun, PSSI saat itu lebih memilih untuk melandasi kompetisi yang mereka gelar dengan prinsip amatirisme.
R.N Bayu Aji, dalam Politik Nasionalisme Sepak Bola Era Soekarno 1950-1965, mengutip tulisan Suwandito yang terbit di Madjalah Olahraga dengan judul “Amateurisme dalam Sepak Bola”, mencantumkan pasal 3 (a) dalam anggaran dasar dan rumah tangga PSSI tahun 1951.
Pasal itu berbunyi: setiap pemain dari PSSI adalah amateurisme. Penjelasan lanjutan pasal tersebut tertuang dalam Pasal 24: setiap pemain jang melanggar peraturan-peraturan amateurisme dianggap sebagai pemain professional. Pemain demikian tidak akan dapat main lagi dalam lingkungan PSSI.
Namun demikian, dalam pada Pasal 11 ayat 5, PSSI berkewajiban memikirkan dan mengusahakan penyempurnaan segala peraturan PSSI untuk diterapkan kepada para pemain sepakbola yang tergabung dalam PSSI.
Semangat amatirisme PSSI di 1950-an mempunyai akar historis. Sejak 1930-an, PSSI sadar bahwa landasan semua kegiatan mereka adalah amatirisme. Majalah Olahraga edisi November 1937 memuat tulisan salah satu pengurus PSSI yang berjudul PSSI Berdasar Amateurisme.
Perloe disini agaknja kami terangkan sedikit, bahwa persepakragaan kita itoe didasarkan amateurisme. Artinja jang lebih landjoet, bahwa sesoeatoe Bond itoe dilarang membajar pada anggautanja, seroepa oepah. Lebih landjoet, bahwa seseorang lid dari sesoeatoe club (bond) itoe dilarang sama sekali minta oepahan pada clubnja, bila ia kebetoelan disoeroeh main boeat competitie, bersedia tjokoep sepatoe dan kaosnja dan ongkos perdjalanandja. Tidak perdoelie, apa roemahnja jaoeh, apa tempat tinggalnja dideket lapang bal.
Boekan itoe sadja kewadjibannja, malah spelers bal djoega diwadjibkan membajar oeang ieoeran. Ini kami katakan, karena masih banjak sekali anggauta-anggauta jang beranggepan, kalau soedah djadi speler kelas I, malah-malah terpilih djadi bonspeler, laloe tidak maoe bajar contributie: kalau disoeroeh main dalam competitie, minta ditransportkosten. Alesannja, karena datangnja pakai daleman, atau roemahnja djaoeh. Malah ada jang minta sepatoe atau kaos kaki.
Apa yang membuat PSSI menyarankan demikian? Tentu saja adalah pemborosan mengingat pemasukan klub amatir itu masih dari iuran para pemain. Biaya yang dikeluarkan untuk membiayai transportasi pemain yang rumahnya jauh dari lapangan, misalnya, tidaklah sedikit.
Keadaan jang sematjem ini. dipandang sepintas laloe tidak apa-apa. Tetapi sebetoelnja, amat meroegikan kepada club. Tjobalah berpikir diantaranja 11 orang, ada 6 orang jang djaoeh tinggalnja, oempanja sampai 5 KM atau lebih. Seorangja minta transport 30 cent. Djoemblah soedah 6 x 0,30 cent jadi 1,80 gulden. Seminggoe main 2 kali, seboelan djadi 8 kali. Boeat transport sadja soedah 8 x 1,80 gulden ada 14,40 gulden. Beloem ongkos tjoetji pakaian, beloem sewa lapang, beloem bajar contributie pada bond. Lidnja tidak maoe bajar contributi. Pengoeroesnja tombok djadi bobrok.
Wacana untuk menggelar liga profesional pun juga sempat mengemuka. Namun, tulisan itu mempertegas bahwa masyarakat (Hindia Belanda) belum siap menggelar liga profesional seperti yang digelar di Eropa. Salah satu alasannya adalah animo penonton.
Masjarakat kita masih terlaloe moeda oentoek mengandakan beroepsspelers. Penghargaan publiek masih rendah pada voetbalspel. Boektinja penonton beloem banjak seperti penonton di loear negeri. Sesoeatoe competitie di London sampai dikondjoengi 10.000 penonton. Interstedelijke wedstrijd di kita paling banjak dikoendjoengi 4000 orang (bandoeng dan solo pernah mengalami). Competitie kita biasanja dikoendjoengi 50 gelinti penonton.
Karena sistem kompetisi belum terbentuk dengan baik, maka banyak pemain yang memilih bermain di luar klub keanggotaan PSSI dengan alasan mereka bisa bermain sepakbola sekaligus mendapat pekerjaan. Pemain yang semacam itu, merujuk pada esai tersebut, bukanlah pemain profesional.
Dalam praktiknya di era 1950-an, PSSI tidak menerapkan amatirisme secara saklek. Para pemain masih diberi tempat tinggal (penginapan), transportasi, uang saku, dan mendapat ganti kerugian apabila mengalami cedera ketika bermain.
Amatirisme juga menjadi landasan Toni Pogacnik - pelatih yang membawa Indonesia dua kali mencapai semifinal Asian Games dan tokoh di balik folklore Indonesia menahan Uni Soviet 0-0 - untuk membangun tim nasional dan semangat sepakbola secara umum di Indonesia.
"Kesebelasan Indonesia tetap sebagaimana sekarang ini, yaitu berdasarkan amateurisme. Tidak perlu meniru keadaan sepakbola di Eropa, di mana hampir setiap hari pemain-pemain itu berlatih sehingga tidak ada jalan lain selain menjadi pemain professional. Lagipula pemain-pemain amateur dapat bermain lebih gembira, ada enthousiasme (antusiasme), dapat bermain dengan hati dan tidak semata-mata tergantung pada uang," ujar Toni pada majalah IPPHOS, sebagaimana dikutip dari detik.com.
Toni bahkan lebih menyetujui sistem semi-profesional dibandingkan langsung meloncat ke sistem profesional. "Pemain-pemain diberi pekerjaan, misal sampai jam 12.00, kemudian sorenya melakukan latihan. Jangan setiap tanggal satu ambil gaji saja," katanya, memberi nasihat kepada tim Jayakarta pada 1970.
Prinsip amatirisme ini pula yang membuat Toni berkeliling ke daerah-daerah untuk memberikan pelatihan, sekaligus mencari bibit potensial untuk bermain di timnas. Namun demikian, timnas saat itu juga mengambil pemain-pemain dari klub anggota PSSI, di mana mereka sudah mengikuti kompetisi internal tim yang sudah lebih tertata.
Pendek kata, Toni langsung turun ke akar rumput.
Kompetisi dalam bentuk perserikatan tetap eksis. Kemudian, pada 1979, muncullah kompetisi Galatama yang mulai dikelola dengan cara profesional. Pelatih-pelatih timnas tak direpotkan dengan mencari pemain ke daerah-daerah. Mereka tinggal memantau pemain-pemain yang berlaga di kompetisi.
***
Laporan TGIPF bisa menjadi pintu masuk untuk memahami silang sengkarut kemampuan PSSI dalam mengurus sepakbola Indonesia. PSSI memang sudah membuat seperangkat aturan dalam bentuk statuta, regulasi liga, serta aturan keamanan dan keselamatan stadion. Namun, aturan itu tidak menjamin peningkatan pengelolaan liga, sehingga salah satu isi kesimpulan TGIPF untuk PSSI adalah mengubah statuta.
PSSI pun, dalam Tragedi Kanjuruhan, selalu mengelak dari tanggung jawab. Beberapa pengurus PSSI juga mengeluarkan pernyataan yang tidak sesuai dengan kapasitas tanggung jawab mereka terhadap Tragedi Kanjuruhan, seperti anggota Exco PSSI, Sonhadji, yang menganggap Tragedi Kanjuruhan terjadi karena kehendak Allah.
PSSI memang mengaku akan bertanggung jawab, namun tidak direpresentasikan dengan mengundurkan diri atau melaksanakan semua rekomendasi TGIPF, melainkan dengan membentuk tim task force transformasi sepakbola. PSSI mencanangkan akan kembali memulai Liga 1 pada 25-26 November 2022 dan menolak usulan TGIPF untuk segera melaksanakan KLB.
Komentar