Pada 26 Juli 2022, suporter Persis Solo yang akan menyaksikan tim kesayangannya di Magelang terlibat bentrok dengan warga di Jogja. Peristiwa itu juga berimbas pada meninggalnya salah seorang suporter PSS Sleman, Tri Fajar Firmansyah, yang dikeroyok oleh sekelompok orang ketika sedang berada di halaman mini market. Peristiwa ini tidak bisa dilihat tanpa menilik sejarah perselisihan antara tiga suporter tim.
Perselisihan suporter PSIM Yogyakarta dan Persis Solo bisa diurai dari tahun 1997, ketika dua kesebelasan itu masih berlaga di Divisi 1 Liga Indonesia Grup Tengah. Di sisi lain, perselisihan antara suporter PSS dan PSIM terjadi sewaktu PSS masih berkandang di Stadion Tridadi. Suporter PSIM dilempari dan diusir keluar dari stadion pada 2001. Kericuhan itu memantik kericuhan-kericuhan lain tiap kali kedua tim bertanding.
Di Indonesia, perselisihan antarsuporter merupakan hal yang jamak. Sejarah panjang perselisihan yang kerap memakan korban jiwa tampaknya telah sampai di titik akhir. Pasca Tragedi Kanjuruhan, aksi solidaritas seperti menyalakan lilin serta doa dan salat gaib bersama digelar di seantero negeri.
Tragedi Kanjuruhan juga memicu inisiatif aksi damai para suporter di beberapa daerah. Di Twitter muncul tagar #SepakatDamai, sebuah upaya memasifkan pesan-pesan damai khususnya di media sosial. Beberapa orang bahkan mengakui mereka sudah meleburkan segala dendam terhadap suporter tim rival dan mengakui kesalahannya.
Kelompok suporter Persis, PSIM, dan PSS melakukan aksi damai di Monumen Juang 45 Klaten, dalam tajuk Mataram Islah atau Mataram is Love. Kemudian, mereka juga melakukan aksi solidaritas di Stadion Mandala Krida (4/10) dan di parkiran Stadion Maguwoharjo (6/10).
Pertemuan-pertemuan kecil antar suporter lain yang mempunyai sejarah perseteruan yang muncul di media sosial bisa dibaca sebagai dampak dari solidaritas terhadap Tragedi Kanjuruhan.
“Konflik, baik verbal dan bahkan fisik yang terjadi antarsuporter sudah selayaknya diakhiri. Rivalitas hanyalah di lapangan hijau dalam pertandingan sepakbola selama 90 menit dan dengan semangat fair play. Jangan lagi ada kekerasan atas nama dan berlatar belakang sepakbola,” terang Fajar Junaidi, dosen dan peneliti budaya fans sepakbola Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
Tantangan selanjutnya sekaligus menjadi tantangan terbesar aksi perdamaian itu adalah menemukan cara agar gerakan tersebut berlangsung lama. Rivalitas, dalam sepakbola akan, selalu, dan memang harus ada. Salah satu aspek yang membuat sepakbola selalu menarik dinikmati adalah rivalitas. Itulah sebabnya dalam pertandingan sepakbola selalu menggunakan kata “lawan” alih-alih “musuh.”
Terkait rencana damai suporter Persis, PSIM, dan PSS, Agos Warsoep (salah satu tokoh suporter Persis) menyatakan bahwa masih ada beberapa orang yang kontra dengan inisiasi rencana damai tersebut.
“Karena (perdamaian) nggak bisa instan. Jadi harus ada pendekatan-pendekatan lagi, dan kita juga berusaha agar (perbedaan pendapat mengenai rencana damai) tidak menjadi perpecahan sendiri dalam tubuh kami. Kalau langkah selanjutnya jelas kita ingin merangkul (mereka yang belum setuju), memberi edukasi untuk menyudahi pertikaian lama ini. Menurut saya, di pihak Sleman dan Jogja pun masih ada yang kontra, karena prosesnya (pertemuan menggagas perdamaian) juga cepat sekali. Tapi dalam perhitungan kami, yang kontra tidak banyak,” ujar Agos Warsoep saat kami hubungi.
Presiden Brajamusti, Muchlis Burhanuddin atau akrab disapa Thole, senada dengan apa yang dikatakan Agos. “Jika ada (yang belum setuju dengan gagasan damai) tentu itu sebuah hal yang wajar, adanya pro kontra terhadap sesuatu yang baru. Kami tidak bisa memaksa semua untuk ikut masuk bersama dalam gerakan pendahuluan ini. Saat ini yang paling utama adalah menjaga keinginan mulia akan terwujudnya kedamaian hidup bersuporter tetap dalam jalurnya dan bisa semakin masif menyentuh semua lapisan elemen suporter.”
Aksi perdamaian mula-mula diawali dengan adanya pengakuan kesalahan dari dua suporter yang pernah terlibat konflik, sama-sama menyadari bahwa perbuatan yang menjurus pada munculnya kekerasan yang pernah dibuat di masa lalu adalah sebuah kesalahan.
“Komunikasi harus semakin intensif dilakukan di antara semua suporter DIY-Jateng. Komunikasi antar arus bawah menjadi kunci utama dan hal hal itu seperti akan kami support bahkan akan kami fasilitasi penuh. Sedangkan kami dari pengurus tentunya akan tetap menjaga silaturahmi dan komunikasi dengan pengurus wadah suporter di DIY-Jateng khususnya suporter di Sleman dan Solo,” ujar Thole.
Suporter merupakan salah satu komponen ekosistem sepakbola nasional yang dikelola oleh PSSI. Sayangnya, PSSI tidak mampu membentuk sebuah sistem yang menjamin keamanan bagi para suporter. Jam pertandingan yang terlalu malam hanya mempertimbangkan rating televisi dengan glorifikasi masyarakat Indonesia yang gila (nonton) sepakbola, tak pernah memperhatikan mitigasi pengamanan dan keamanan suporter.
“Saya melihat Tragedi Kanjuruhan adalah sebuah warning bagi seluruh suporter Indonesia. Jika sistem dari federasi yang gagal ini tetap berjalan, maka kejadian serupa bisa menimpa suporter Indonesia di mana pun berada. Untuk mengubah sistem federasi yang rusak ini diperlukan kekuatan suporter. Jika suporter Indonesia bersatu, maka akan menjadikan satu kekuatan yang besar, akan menjadi satu suara bersama yang luar biasa hebat untuk meminta agar federasi berubah total, kekuatan yang besar untuk mendesak federasi agar lebih menganggap suporter sebagai bagian dari stakeholder penting dalam sepak bola Indonesia,” kata Thole.
Fajar Junaedi mengatakan bahwa rekonsiliasi antarsuporter akan awet jika tata kelola sepakbola kita benar-benar profesional dan berintegritas.
“Konflik yang terjadi selama ini adalah superstruktur dari basis persoalan yaitu tata kelola sepakbola yang tidak baik. Akibat tata kelola yang tidak baik ini muncul ketidakpuasan, yang berujung perseteruan.”
“Lagi-lagi, suporter yang akan jadi korban. Jadi jangan selalu menyalahkan suporter, karena mereka bukan basis dari persoalan. Justru suporterlah yang secara aktif menjadi agency dalam proses perdamaian. Semangat agency dalam perdamaian inilah yang harus terus dipupuk dan dirawat,” ujar Fajar.
Suporter telah menjalankan perannya dengan mengakui kesalahan di masa lalu dan rekonsiliasi. Upaya damai ini hanya bisa dihargai dengan membentuk ulang manajemen liga yang memberikan rasa aman bagi suporter.
Komentar