Pada intinya adalah waktu. Dan ratusan orang yang meregang nyawa di Stadion Kanjuruhan pada 1 Oktober 2022 tak memilikinya lagi. Sementara, mereka yang selamat dan menjadi penyintas hanya bisa pasrah dalam trauma, melihat para pihak otoritas saling tunjuk dan lempar tanggung jawab, bahkan setelah hampir dua pekan.
Sudah banyak investigasi dilakukan berbagai pihak. Berdasarkan temuan-temuan yang telah dipaparkan, kita bisa melihat Tragedi Kanjuruhan bermula dari penanganan yang salah.
Penggunaan gas air mata, misalnya. Pihak kepolisian (melalui Kapolres Malang ketika itu, AKBP Ferli Hidayat) mengaku tak tahu bahwa FIFA telah melarang gas air mata dibawa ke dalam stadion (FIFA Stadium Safety and Security Regulations pasal 19 poin b).
Belum lagi terkait penjualan tiket melebihi kapasitas stadion, kecacatan verifikasi stadion, hingga jadwal pertandingan yang larut malam. Semuanya merupakan faktor pendukung terjadinya Tragedi Kanjuruhan.
Kesalahan penanganan itu bahkan sudah dimulai berhari-hari sebelum hari yang mematikan itu: saat PSSI, PT Liga dan broadcaster bersikukuh agar pertandingan berlangsung malam hari, menolak rekomendasi yang disampaikan kepolisian agar dimajukan ke sore hari.
Sungguh miris. Terutama jika kita melihat bahwa setiap kejadian di dalam stadion (mulai dari api di tribun hingga penanganan teror bom) sudah ada petunjuk langkah mitigasi dan penanganan. Tragedi Kanjuruhan sangat mungkin dicegah oleh otoritas lewat prosedur-prosedur yang sudah ada.
Langkah cepat pemerintah untuk membentuk tim investigasi independen patut diapresiasi. Hari ini, rencananya laporan akan diserahkan kepada presiden. Dari situ, akan diambil langkah-langkah yang diperlukan untuk perbaikan sepakbola Indonesia.
Kendati demikian, sebelum kita memandang terlalu jauh ke depan, kita tidak boleh melupakan para korban yang masih berjuang dalam perawatan di rumah sakit dan di pojok kamarnya masing-masing – sendiri menanggung trauma yang sampai entah itu. Ini adalah persoalan dasar yang harus diurai terlebih dahulu.
Hal-hal terkait teknis hingga perbaikan infrastruktur tinggal mengikuti prosedur dan peraturan yang telah ada. Sementara, penyelesaian kasus dan pertanggungjawaban masih mengambang-ambang di antara pihak otoritas terkait.
Mengurai dan memastikan penyelesaian persoalan mendasar adalah prioritas. Menuntut akuntabilitas dan pertanggungjawaban akibat inkompetensi dan kelalaian banyak otoritas adalah utang kita kepada ratusan nyawa tak bersalah yang meninggal di Kanjuruhan.
Bentuk pertanggungjawaban terbaik adalah semua pengurus PSSI harus mundur. Ini tidak bisa ditawar. Mereka tak bisa dibiarkan terus meneruskan melakukan kelalaian. Mundur adalah sebaik-baiknya bentuk pertanggungjawaban!
Cara-cara lama dalam mengelola sepakbola Indonesia perlu ditinggalkan. Cara-cara baru harus benar-benar diterapkan agar tragedi serupa tidak terulang, agar sepakbola Indonesia berbenah. Sudah cukup sampai di sini sepakbola kita diurus oleh orang-orang yang inkompeten.
Komentar