Dua hari pasca Tragedi Kanjuruhan, Arema FC mendatangi Stadion Kanjuruhan sebagai bentuk solidaritas terhadap para korban. Mereka juga memberi bantuan kepada para korban luka berupa pengobatan mata dan pemain Arema FC juga sempat melayat ke rumah duka. Saat ini, Arema FC mulai fokus kondisi psikis para pemain serta staf dan kembali berlatih.
Hal-hal yang dilakukan Arema FC bisa dibilang cukup tepat. Memberi bantuan dan dukungan kepada korban adalah hal baik. Kendati demikian, “taring” Arema FC dalam upaya mengusut tuntas Tragedi Kanjuruhan belum terlihat hingga sekarang.
Hilangnya 134 nyawa suporter jelas bukan urusan main-main. Terlepas Arema FC turut bertanggung jawab atas insiden tersebut (dalam konteks penyelenggaraan pertandingan, dapat dilihat melalui sanksi Komisi Disiplin PSSI), mereka harusnya menjadi salah satu yang paling vokal dalam upaya mengusut tuntas Tragedi Kanjuruhan. Sebagaimana diungkap dalam laporan Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF), Tragedi Kanjuruhan merupakan hasil dari kelalaian pihak otoritas sepakbola Indonesia.
Arema FC adalah salah satu anggota (voters) PSSI. Artinya, mereka punya peran dan kekuatan besar untuk menuntut pertanggungjawaban dan mendesak federasi melakukan perbaikan.
Sejak terjadi malapetaka di Stadion Kanjuruhan, PSSI berusaha melempar tanggung jawab. Mereka sempat berkilah dan menyebut diri tidak bersalah. Tuntutan untuk mundur sebagai pertanggungjawaban moral dari publik yang dianjurkan TGIPF tidak digubris.
Pada akhirnya (setelah lebih dari dua pekan), PSSI memang meminta maaf dan menyatakan siap bertanggung jawab, namun bukan dalam bentuk mengundurkan diri. Mereka membentuk tim satgas transformasi bersama delegasi FIFA, AFC, serta delegasi beberapa kementerian.
Ketika pengungkapan fakta mengalami hambatan, beberapa korban masih berjuang di ICU, dan tanah kuburan belum kering, PSSI justru malah mengadakan fun football bersama Presiden FIFA Gianni Infantino pada 18 Oktober 2022. Salah satu sosok yang ikut bermain di acara tersebut adalah Iwan Budianto.
Berdasar data legal klub yang di-submit pada 17 Mei 2022, Iwan Budianto adalah Direktur Utama PT Arema Aremania Bersatu Berprestasi Indonesia (AABBI), PT yang menaungi Arema sekaligus sebagai pemilik saham terbesar PT tersebut dengan akumulasi 85%. Saham sisanya dipegang oleh Agoes Soerjanto, yang juga rekan bisnis Iwan Budianto di perusahaan Ijen Nirwana.
Iwan Budianto, yang ikut bermain fun football selaku Wakil Ketua PSSI, mengatakan bahwa itu merupakan bagian dari pesan FIFA. "Sebenarnya pesan Presiden FIFA adalah akan ada banyak kejadian di sepakbola dunia, tapi sepakbola harus tetap jalan," ujarnya dilansir dari Antara.
Presiden Klub Berganti, Iwan Budianto Abadi
Iwan Budianto pernah menjabat sebagai manajer Arema pada Ligina musim 1998/1999. Itu merupakan awal kariernya di dunia sepakbola. Ia kemudian menjadi manajer Persik Kediri dan pengurus PSSI sejak 2007 sebagai Komite Eksekutif.
Konflik sepakbola nasional pada 2011 kembali membukakan jalan Iwan menuju Arema. Ketika ditanya oleh Tirto.id soal pendirian PT AABBI yang hanya berjarak lima hari selang investigasi Jawa Pos terbit, Iwan menyebut bahwa sudah sejak 2011 Arema FC membentuk banyak PT.
PT AABBI berdiri pada 3 Maret 2015 lantaran PT yang menaungi Arema Cronus yakni PT Arema Indonesia tidak memiliki NPWP. Sebelumnya, muncul investigasi surat kabar Jawa Pos yang menyebut bahwa PT Arema Indonesia tidak memiliki NPWP. Iwan Budianto mengakui hal tersebut. Ketika pertama kali didirikan, Iwan Budianto menjadi pemegang saham mayoritas PT AABBI dengan akumulasi 70%, dan sisanya dimiliki oleh Agoes Soerjanto.
“Ada banyak PT kami buat ketika kami nge-run Arema mulai 2011, masing-masing punya tugas dan target bisnis dari perencanaan awal, seperti khusus mengelola merchandise satu PT sendiri, yang mengelola tiket satu PT sendiri, dan lain-lain," ujar manajer timnas di Piala AFF 2016 itu.
Pada 2019, Agoes Soerjanto ditunjuk menjadi CEO PT AABBI menggantikan Iwan Budianto melalui Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), karena Iwan terpilih menjadi Wakil Ketua Umum PSSI.
Dari data yang diperoleh dari Ditjen AHU Kemenkumham, saat ini Iwan Budianto memiliki saham mayoritas sebesar 3.750 lembar atau senilai Rp3.750.000.000. PT Rans Intertainment juga memiliki saham sebanyak 500 lembar, senilai Rp500.00.000, sementara sisanya dimiliki oleh PT Juragan Sembilan Sembilan Corp milik Gilang Widya Permana, yang menguasai saham sebesar 750 lembar atau Rp750.000.000.
Nama terakhir menjadi satu-satunya orang dari manajemen Arema FC yang angkat suara dan tampil ke publik dalam Tragedi Kanjuruhan. “Kami juga mendukung penuh pengusutan yang dilakukan pihak kepolisian dan memohon pihak-pihak untuk menahan diri sampai benar-benar ketemu titik terang permasalahannya," ujar Gilang selaku Presiden Arema FC sehari setelah Tragedi Kanjuruhan, dilansir dari situs resmi Arema FC.
Jabatan Presiden Arema FC sebelum Gilang dipegang Rendra Kresna yang menjabat pada 6 Januari 2010. Pada 2018, Rendra menjadi tersangka kasus korupsi penyediaan sarana penunjang peningkatan mutu pendidikan Dinas Pendidikan Pemerintah Kabupaten Malang. Ia diduga menerima gratifikasi yang berhubungan dengan jabatannya sebagai Bupati Malang dua periode.
Gilang sendiri ditunjuk menjadi Presiden Arema FC pada 6 Juni 2021. Dalam peresmian itu hadir pula Iwan Budianto.
Konflik Kepentingan: Antara Klub dan Federasi
Menurut temuan dan rekomendasi TGIPF, potensi konflik kepentingan merupakan salah satu akar masalah yang perlu dibenahi. “Kepemilikan mayoritas saham mencapai 98,8% oleh pemilik klub dalam PT LIB dapat berpotensi menimbulkan konflik kepentingan sebab beberapa anggota Komite Eksekutif PSSI adalah juga pemilik klub yang akan membawa dampak pada saat pengambilan keputusan strategis yang menyangkut kepentingan klub,” tulis TGIPF dalam laporannya.
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, Iwan Budianto, sebagai Wakil Ketua Umum PSSI, juga merupakan pemegang terbesar saham PT AABBI. Konflik kepentingan itu menjadi salah satu hal yang sangat diperhatikan oleh TGIPF. Dorongan TGIPF kepada PSSI untuk segera menggelar Kongres Luar Biasa (KLB) adalah untuk menghilangkan konflik kepentingan.
Dalam kepengurusan PSSI saat ini, potensi konflik kepentingan di antara klub dan pengurus federasi bukan hal asing. Beberapa anggota Komite Eksekutif PSSI merupakan pemilik klub, seperti Yoyok Sukawi yang menjabat CEO PSIS Semarang. Selain itu, ada Peter Tanuri yang menjabat sebagai komisaris PT Bali Bintang Sejahtera yang mengelola Bali United, dan Hasnuryadi Sulaiman yang menjabat CEO Barito Putera.
Mengacu statuta FIFA, pemilik klub dan pengurus federasi memang dibolehkan rangkap jabatan. Yang menjadi sorotan FIFA adalah kepemilikan pengurus yang memiliki klub lebih dari satu melalui perusahaan induk atau anak perusahaannya. Hal itu, menurut FIFA, membuat integritas pertandingan dan pengelolaan sepakbola dapat diragukan.
Aremania Mulai Merasa Gerah dan Bergerak
Terhitung sejak 2 Oktober, Arema FC belum memunculkan lagi pernyataan terkait pengusutan Tragedi Kanjuruhan. Kami telah mencoba mengkonfirmasi pada pihak Arema FC terkait sikap klub dalam mengusut tuntas Tragedi Kanjuruhan dan terhadap rekomendasi TGIPF. Namun, hingga artikel ini tayang, belum ada jawaban dari mereka.
Ketika pihak klub diam, suporter Arema FC memilih proaktif. Mereka menggelar “aksi diam” di Balai Kota Malang, Kamis (20/10). Massa aksi melakukan long march dari Stadion Gajayana dan diakhiri di titik yang sama.
“Tuntutan kami tetap sama pada usut tuntas tragedi ini, kami juga menuntut tersangka yang telah ditetapkan untuk segera mendapatkan proses hukum yang sesuai dan mendesak seluruh pihak yang terlibat untuk bertanggung jawab. Singkatnya, ini bentuk protes dari lambatnya proses hukum pada pihak yang terlibat dalam Tragedi Kanjuruhan,” ujar salah satu peserta aksi yang tak mau disebutkan identitasnya kepada Panditfootball.
Aremania pun mulai sadar bahwa kepemilikan saham mayoritas Arema membawa potensi konflik kepentingan.
“Jelas pengaruhnya besar soalnya kalau saya lihat di bagannya Arema pemegang saham terbesar beliau, Pak IB (Iwan Budianto). Makanya, mungkin orang-orang yang memegang manajemen yang mengelola Arema saat ini ada ketakutan (untuk bersikap tegas dalam Tragedi Kanjuruhan). Tapi seharusnya, sebaiknya itu semua dikomunikasikan dengan suporter” ujar Ivo, salah satu Aremania, dikutip dari Narasi. “Akhirnya kita semua yang jadi korban hanya menjadi angka. Jadi sama saja, tidak evaluasi yang berarti, nantinya suporter akan menjadi akan kambing hitam, yang akan dievaluasi besar-besaran suporter dan klub.”
Mahardika Nanang Susilo, seorang Aremania yang tergabung dalam Curva 10, juga mengutarakan kekecewaan serupa.
“Seharusnya Arema [merasa] sebagai korban juga. Tim atau manajemen Arema sebagai korban harusnya berjuang bersama Aremania untuk usut tuntas masalah hukum. Harapan saya untuk Arema, yang meninggal dan jadi korban itu suportermu. Mereka yang mendukungmu secara materiil dan moriil. Istilahnya, Arema ini bapaknya Aremania anaknya. Kalau anaknya terluka bapaknya harus bertanggung jawab,” ucap pria yang akrab disapa John itu kepada Narasi.
Arema FC tentu bukan satu-satunya klub atau anggota PSSI yang bergeming dalam upaya mendorong transformasi sepakbola Indonesia hingga ke akarnya. Namun, Aremania juga bukan satu-satunya kelompok suporter yang mulai merasa gerah dan siap bergerak menuju masa depan yang lebih cerah.
Komentar