Sebagai kelompok suporter, duduk di bangku tribun, mendukung tim kesayangan dengan nyanyian, hingga memakai atribut klub, sudah menjadi kodratnya. Namun, apa yang dilakukan oleh suporter klub Jerman lebih dari hanya sekedar menyanyi maupun memakai atribut. Mereka terkadang melakukan aksi-aksi protes dan kritik mengenai fenomena sosial, anti-rasisme, anti-fasisme, anti-homofobia, anti-seksisme, hingga anti kekerasan terhadap wanita.
Protes ataupun kritik yang dilontarkan suporter Jerman merupakan bentuk kebebasan suporter dalam mengutarakan gagasannya. Tribun stadion tidak hanya sekedar tempat suporter yang membayar, datang, menonton, mendukung, dan bersorak, namun, lebih dari itu. Sepakbola telah menjadi konsumsi publik bebas dan luas. Publik non-pecinta bola pasti terpapar ketika sepakbola telah disiarkan melalui saluran televisi, hingga media massa atau cetak.
Aksi-aksi protes dan kritik dari kelompok suporter ini menjadi mengingatkan kembali, jika sepakbola bukan perihal pertandingan 90 menit. Pengaruh sepakbola akan mengakar ke banyak hal, seperti sosial, budaya, hingga politik.
Boikot Qatar 2022
Terbaru, laga Liga Champions yang mempertemukan klub Jerman, Borussia Dortmund melawan Manchester City, hari Rabu, 26 Oktober 2022 terdapat aksi protes dari kelompok suporter tuan rumah, Dortmund di Stadion Signal Iduna Park. Spanduk protes bertuliskan, “#BoikotQatar2022” terbentang di tribun suporter.
Selain klub, suporter Tim Nasional Jerman juga menyerukan untuk boikot Piala Dunia 2022 di Qatar. Mereka membentangkan sebuah spanduk berisi kalimat, "15.000 kematian untuk panggung besar - FIFA & co. tidak punya hati nurani! Boikot Qatar!". Spanduk itu terpampang ketika Jerman menghadapi Italia di Europa Nations League pada 15 Juni 2022.
Selain suporter, pemain Jerman berjajar dengan mengenakan kaos huruf yang diurut menjadi “HUMANRIGHTS”, yang berarti Hak Asasi Manusia (HAM). Federasi Sepakbola Jerman (DFB) pun mendukung aksi-aksi kritis yang dilakukan para suporter. Dilansir dari dw.com, DFB menyambut baik wacana kritis mengenai HAM di Piala Dunia Qatar 2022. Menurutnya, kebebasan berekspresi, termasuk kritikan itu merupakan aset yang berharga.
"Terutama dalam hal penyelenggaraan Piala Dunia 2022 di Qatar, kondisi kerja di lapangan, pembatasan tentang kebebasan berekspresi dan pers, serta situasi komunitas LGBT IQ+, diperlukan wacana kritis. Budaya penggemar Jerman berkontribusi besar pada wacana ini, yang secara eksplisit kami sambut," tulisnya.
Dilansir dari Amnesty.org, per tanggal 26 Agustus 2021, statistik resmi Qatar merilis data dari tahun 2010 - 2019 jika terdapat kematian sebanyak 15.021 orang dengan penyebab yang tidak dapat dipastikan secara jelas. Korban meninggal itu merupakan pekerja migran non-Qataris.
Para ahli epidemiologi mengatakan bahwa seharusnya sistem kesehatan memiliki sumber daya yang baik dalam menyelidiki penyebab kematian. Ketidakjelasan kematian ini menembus angka yang tidak wajar. Sebanyak 70% korban meninggal tidak bisa diidentifikasi penyebab kematiannya apa. Dalam sertifikat kematian para korban, terdapat keterangan kematian berupa, “gagal jantung akut yang penyebab alami”, “gagal jantung tidak ditentukan”, “gagal pernafasan akut karena penyebab alami”, dan “tidak terkait pekerjaan”.
Kepada Amnesty International, David Bailey, ahli patologi, sekaligus anggota WHO, mengatakan mengenai sertifikasi kematian itu harus disebutkan secara jelas penyebab kematian seseorang. Jika penyebabnya gagal jantung akut, atau gagal pernafasan, itu harus dijelaskan lebih rinci.
Selain itu, dilansir dari The Guardian pada tahun 2021, lebih dari 6.500 pekerja migran dari India, Pakistan, Nepal, Bangladesh, dan Sri Lanka meninggal dunia di Qatar, setelah diumumkannya Qatar menjadi tuan rumah Piala Dunia 2022.
Dengan begitu, seruan untuk memboikot Piala Dunia 2022 di Qatar oleh suporter Jerman bukan tanpa alasan. Sebab terdapat ribuan orang mengorbankan nyawanya atas pesta besar sepakbola dunia itu.
Tragedi Kanjuruhan
Suporter klub Jerman, Bayern Muenchen menyuarakan solidaritas atas kematian ratusan korban jiwa atas Tragedi Kanjuruhan, Malang. Sebuah spanduk bertuliskan “Lebih dari 100 orang dibunuh oleh Polisi” terbentang ketika pertandingan Liga Champions yang mempertemukan Bayern Muenchen dengan Viktoria Plzen, Rabu 5 Oktober 2022.
Di bawah spanduk tersebut, terdapat pula kalimat yang bertuliskan, “Ingatlah, para korban tewas di Kanjuruhan,” yang menegaskan jika spanduk tersebut ditujukan terhadap Tragedi Kanjuruhan.
Tragedi Kanjuruhan terjadi pada tanggal 1 Oktober 2022, pasca pertandingan Arema FC vs Persebaya Surabaya di Stadion Kanjuruhan. Tuan rumah, Arema kalah 2-3 atas Persebaya Surabaya di pertandingan itu. Namun, pemicu banyaknya korban jiwa bukanlah kekalahan tersebut, namun bagaimana pihak keamanan melakukan tindakan penertiban massa.
Massa yang masuk ke dalam lapangan ditertibkan oleh aparat keamanan dengan cara menembakkan gas air mata. Total 11 tembakan gas air mata di dalam stadion yang membuat kondisi suporter panik dan berhamburan menuju keluar stadion. Angin yang berhembus ke arah tribun selatan, kemudian sebanyak tujuh tembakan gas air mata ke arah yang sama, membuat tribun itu dikepung asap. Ditambah lagi, pintu 13 yang berada di tribun selatan dikunci, menjadi perkara yang menyebabkan ratusan korban meregang nyawa di tempat.
Perlu diketahui, gas air mata, serta atribut pengamanan yang berlebihan dilarang dalam statuta FIFA. Dengan begitu, empat hari pasca Tragedi Kanjuruhan, para suporter Bayern Muenchen membentangkan spanduk tersebut, karena polisi telah melakukan tindakan yang melanggar dalam pertandingan sepakbola, hingga berakhir jatuhnya ratusan korban jiwa.
Kritik dan Protes Sudah Menjadi Keharusan
Kelompok suporter, terutama dalam sepakbola Jerman tentu beragam, salah satunya Ultras. Kelompok suporter Ultras yang identik dengan tendensi politik, terutama di Jerman terbagi ke dalam dua haluan politik, antara sayap-kanan dan sayap-kiri. Dua kelompok ini dengan keras menyuarakan paham politiknya, seperti haluan sayap-kanan yang menyerukan ultras nasionalis, rasisme, anti-semit. Sementara sayap-kiri dengan menyuarakan anti-rasisme, menjunjung kesetaraan, anti-fasis, anti-diskriminasi, dan lain-lain.
Beberapa ultras yang memiliki haluan sayap kanan, diantaranya adalah Ultras Dynamo (SG Dynamo Dresden) dan Ultras Chemnitz 99 (Chemnitzer FC). Ultras Dynamo memiliki citra negatif karena selalu menerobos aturan mengenai penggunaan kembang api dan flare. Selain itu, kelompok Ultras Dynamo menyerukan paham rasisme dan anti-semit. Sedangkan Ultras Chemnitz 99 dikenal memiliki kekerabatan dekat dengan ekstrimis bawah tanah. Kebangkitan Ultras sayap-kanan di Jerman ditandai munculnya sifat agresif dari suporter yang menyebar di Eropa, terkhusus Jerman.
Kemudian, Ultras yang memiliki haluan sayap-kiri memiliki pandangan berlawanan dengan sayap-kanan. Salah satunya Ultras St. Pauli (FC St. Pauli) yang paling vokal dalam menyerukan paham anti-fasis, anti-homofobia, dan menjunjung tinggi kesetaraan. Perkembangan ideologi kiri di St. Pauli mencuat di era 1970-an, dimana para golongan kiri mendapatkan pendidikan politik yang kemudian menyuarakan isu soal imigran, anti-kapitalisme, anti-fasisme, hingga anti-rasisme. Kian waktu berjalan, paham-paham tersebut mulai masuk ke stadion, ketika klub kota St. Pauli bertanding.
Selain Ultras St. Pauli, ada Ultras Schickeria (FC Bayern Muenchen) yang di tahun 2014 mendapatkan penghargaan Julius Hirsch Award yang diadakan oleh DFB. Penghargaan itu diberikan atas komitmen Ultras Schickeria dalam memerangi diskriminasi, xenofobia, anti-semit, dan rasisme.
Gerd Dembrowski, Sosiolog asal Jerman, menelaah jika suporter sepakbola Jerman semakin aktif dalam menyuarakan penolakan terhadap sepakbola modern yang semua serba dikomersialisasi hingga industrialisasi. Pengalaman selama Dembrowski menyaksikan sepakbola, kelompok suporter ultras memiliki posisi penting dalam hal kritik. Ultras juga sering menyuarakan kepentingan bersama dan posisinya sebagai masyarakat biasa.
Ultras sering menyuarakan penolakan terhadap aparat polisi dan DFB. Tak heran, selalu ada spanduk bertuliskan “All Cops All Bastard” membentang di tribun. Contoh lain ketika suporter Bayern Muenchen yang membentangkan spanduk bertuliskan “Lebih dari 100 orang dibunuh oleh Polisi” atas Tragedi Kanjuruhan.
Perlawanan-perlawanan kelompok suporter ultras sayap-kiri terhadap negara juga sangat kencang, termasuk tentang peraturan dan kebijakan negara yang kerap merugikan masyarakat menengah ke bawah.
Kebijakan 50+1: Klub Adalah Milik Kami
Kebijakan 50+1 diterapkan oleh operator Liga Jerman (DFL) tahun 1998 silam. Aturan ini dijelaskan sebagai kepemilikan masing-masing klub Bundesliga sebesar 51% milik suporter dan 49% milik investor eksternal, atau luar. Investor luar tidak boleh melebihi angka tersebut, karena 51% itu dimiliki oleh suporter seutuhnya.
Sepakbola Jerman menerapkan kebijakan ini dengan tujuan bahwa sepakbola, bahkan klub adalah milik suporter, atau penggemar yang berhak menikmati itu seutuhnya. Dengan kebijakan ini, suporter memiliki andil dalam tawar menawar dalam kebijakan klub.
Selain itu, dengan saham 51% ini membuat harga tiket menjadi lebih murah. Berdasarkan data dari Statistika musim 2019/20, harga tiket klub Bundesliga rata-rata mematok 180 euro untuk laga kandang selama satu musim. Jumlah ini sangat jauh jika dibandingkan dengan harga tiket musiman klub Premier League Inggris, seperti West Ham United yang mematok harga 350 euro per musim.
Dengan kebijakan tersebut, harga tiket menjadi murah, hingga menyebabkan Bundesliga menjadi kompetisi di Eropa dengan jumlah rata-rata penonton terbanyak. Di musim 2018/19 rata-rata penonton Bundesliga sebanyak 43.449 per pertandingan, sedangkan Premier League sebanyak 38.168 per pertandingan.
Kebijakan ini juga melarang klub kontestan Bundesliga rugi dan tidak memiliki utang di akhir musim. SC Freiburg menjadi contoh bagaimana pengelolaan klub berdasarkan kebijakan ini berjalan dengan baik. Di tahun 2018 hingga 2019, Freiburg mendapat keuntungan sebesar 18 juta euro. Kebijakan ini juga mengatur agar pemilik saham baru tidak terlalu jor-joran dalam pengeluaran selama setahun dua tahun, lalu bangkrut. Namun, kebijakan ini dibuat agar pengelolaan keuangan klub agar tetap sehat dan sustain atau berkelanjutan.
Bisnis sepakbola tidak dapat menjanjikan keuntungan yang ‘wah’. Fenomena ini pernah ditulis dalam buku berjudul Soccernomics yang ditulis oleh Simon Kuper dan Stefan Szymanski. Dalam buku tersebut disebutkan, jika industri sepakbola merupakan industri terburuk di dunia.
Dengan begitu, melalui kebijakan 50+1 ini, sepakbola Jerman memiliki tujuan utama agar sepakbola dimiliki oleh mereka, para suporter dan penggemar. Bukan untuk kepentingan bisnis, hingga melupakan suporter sebagai bagian dari klub.
—
Hal yang perlu dipelajari dari sepakbola Jerman dalam memperlakukan suporter, bahwa Jerman mewadahi kebebasan pendapat para suporternya. Tidak jarang suporter melontarkan kritik keras kepada federasi, hingga klub. Namun, federasi maupun klub menerima kritikan itu. Karena mereka mengerti, jika sepakbola adalah milik suporter dan penggemar. Tiket murah, bebas berpendapat, hingga memiliki hak tawar menawar di dalam kebijakan klub, ditunjukkan oleh Jerman dalam memperlakukan suporter dengan selayaknya pihak yang mencintai sepakbola. Bukan sebagai market untuk mendulang keuntungan klub.
Komentar