Kongres Luar Biasa (KLB) PSSI akan dipercepat dari 18 Maret menjadi 16 Februari 2023 sesuai arahan langsung dari FIFA. Namun, Akmal Marhali selaku anggota Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF) Tragedi Kanjuruhan, meragukan tujuan KLB tersebut.
“Tulus atau enggak KLB ini untuk pengurus PSSI yang sekarang mundur? Tapi, kan, faktanya ternyata Hasani (Abdulgani, anggota Exco PSSI) bilangnya kalau pas kongres dipilih lagi, itu hak voters. Berarti kan sebenarnya KLB ini tidak jelas (tujuannya),” ucap Akmal kepada Pandit Football.
Selain KLB, Kongres PSSI yang awalnya dijadwalkan digelar pada 7 Januari juga digeser menjadi 14 Januari 2023. Tanggal 16 Januari menjadi batas penyerahan berkas pendaftaran kandidat Komite Eksekutif PSSI.
Percepatan KLB ini merupakan salah satu respons PSSI atas Tragedi Kanjuruhan. Hal itu disampaikan langsung oleh Ketua Umum PSSI, Mochamad Iriawan, setelah rapat Exco PSSI pada 28 Oktober 2023.
"Exco PSSI memutuskan mempercepat kongres luar biasa pemilihan dengan memperhatikan surat yang dikirim oleh dua anggotanya, dikarenakan Exco PSSI tidak ingin terjadi perpecahan di antara para anggotanya dan karena exco PSSI adalah mandataris yang dipilih oleh delegasi (voters) yang mewakili anggota PSSI," jelas pria yang akrab disapa Iwan Bule itu melalui laman resmi klub.
PSSI memang baru bergerak setelah Persis Solo dan Persebaya Surabaya mengirim surat menuntut diadakannya KLB. Sebelumnya, PSSI bergeming terhadap segala desakan. Satu-satunya pergerakan mereka adalah di atas lapangan hijau, ketika bermain fun football bersama Presiden FIFA, Gianni Infantino.
Padahal, laporan TGIPF sudah menunjukkan bahwa Tragedi Kanjuruhan merupakan akibat kelalaian pihak otoritas sepakbola Indonesia. Mereka merekomendasikan agar ketua umum PSSI dan segenap jajarannya mundur sebagai tanggung jawab moral sejak 14 Oktober 2023.
Salah satu alasan yang digunakan PSSI untuk mengindahkan rekomendasi TGIPF adalah melalui Statuta PSSI. Memang, dalam konteks "football family", pemerintah tidak bisa mengintervensi. Ada ancaman sanksi FIFA yang membayang-bayangi.
Permasalahannya, Tragedi Kanjuruhan merupakan dampak dari tata kelola PSSI yang inkompeten. Regulasi yang dibuat oleh PSSI memungkinkan mereka untuk berlindung di balik aturan sendiri.
Keberadaan dan penggunaan gas air mata oleh aparat yang menyebabkan para penonton di tribun Stadion Kanjuruhan panik dan kehabisan nafas karena berdesak-desakan, misalnya. Regulasi Keselamatan dan Keamanan Stadion FIFA telah melarang gas air mata digunakan (lihat pasal 19b). Kendati demikian, TGIPF justru menemukan bahwa PSSI tidak pernah mengadakan sosialisasi terkait regulasi FIFA kepada jajaran Polda Jatim.
Jika itu soal penegakkan aturan, masalah lainnya terletak di dalam aturannya sendiri. Statuta PSSI memungkinkan adanya konflik kepentingan dengan mengizinkan pemilik klub untuk berada di dalam jajaran Exco.
Arema FC, sebagai korban kelalaian PSSI, seharusnya menjadi yang paling nyaring untuk menuntut perubahan dan pertanggungjawaban. Nyatanya, mereka justru diam seribu bahasa. Tidak ada desakan kepada pihak kepolisan untuk mengusut tuntas Tragedi Kanjuruhan. Mereka juga baru bersuara terkait percepatan KLB setelah mendapatkan surat dari PSSI pada 29 Oktober.
Fakta bahwa Iwan Budianto selaku Direktur Utama PT Arema Aremania Bersatu Berprestasi Indonesia (memiliki 85% saham) juga merupakan Wakil Ketua Umum PSSI menimbulkan kecurigaan besar akan adanya konflik kepentingan.
“Seharusnya Arema [merasa] sebagai korban juga. Tim atau manajemen Arema sebagai korban harusnya berjuang bersama Aremania untuk usut tuntas masalah hukum. Harapan saya untuk Arema, yang meninggal dan jadi korban itu suportermu. Mereka yang mendukungmu secara materiil dan moriil. Istilahnya, Arema ini bapaknya Aremania anaknya. Kalau anaknya terluka bapaknya harus bertanggung jawab,” keluh seorang Aremania, Mahardika Nanang Susilo, kepada Pandit Football.
Bukan hanya Iwan Budianto yang memiliki kekuasaan di klub dan federasi. Masih ada Yoyok Sukawi (Pemegang saham PSIS Semarang dan anggota Exco), Pieter Tanuri (Pemilik Bali United dan anggota Exco), serta Hasnuryadi Sulaiman (CEO Barito Putera dan anggota Exco).
Untuk diketahui, klub-klub tersebut tidak pernah menyatakan sikap tegas terkait Tragedi Kanjuruhan selain berbelasungkawa. Tidak ada permintaan perubahan, tidak ada tuntutan KLB.
Pembenahan PSSI Harus dari Akarnya
Melihat linimasa pergerakan PSSI, muncul keraguan bahwa KLB akan menyelesaikan masalah sepakbola Indonesia. Hal itu tidak terlepas dari fakta bahwa TGIP sebenarnya merekomendasikan KLB hanya jika ketua umum dan jajarannya mundur, bukan mundur melalui KLB.
"Dalam rekomendasi TGIPF, KLB itu bukan kewajiban yang harus dijalankan. KLB menjadi wajib dijalankan kalau pengurus PSSI nya mundur. Kalau pengurus PSSI nya gak mundur, buat apa KLB? Ini logikanya seperti terbalik, karena mereka bukan berpikir untuk melakukan pembenahan, melainkan untuk mempertahankan jabatan," kata Akmal.
Menurut Akmal, perlu ada komitmen secara terbuka dari pengurus PSSI yang sekarang untuk mundur jika ingin ada perubahan serius dalam sepakbola Indonesia.
"Bisa gak komitmen untuk mundur dan tidak mencalonkan diri lagi? Biar transparan. Tetapi tidak ada yang mau. Jadi, kita harus waspada, jangan-jangan KLB yang diagendakan 18 Maret itu untuk mengukuhkan pengurus yang ada saat ini. Sementara, rencana KLB ini seolah-olah untuk menjawab (permintaan) TGIPF dan meminta kompetisi digulirkan," tutur dirinya.
"Seolah-olah rekomendasi TGIPF itu cuma KLB, padahal masih ada 11 lagi. Lalu, seakan masalah sudah selesai. Ya, orang kan tidak bisa dibodohi seperti itu," Akmal menambahkan.
KLB memang menjadi sedikit angin segar bagi arah perubahan sepakbola Indonesia. Namun, perubahan sesungguhnya memang harus dimulai dari dalam diri PSSI sendiri selaku otoritas tertinggi. Melihat bahwa Tragedi Kanjuruhan adalah buntut dari ketidakbecusan PSSI selama ini, maka rasanya masuk akal jika mengganti seluruh pengurus PSSI yang sekarang menjadi langkah pertama.
Komentar