Orang-orang Brazil pasti bangga dengan gol itu. Mereka akan mengenangnya sebagai salah satu gol terbaik Brazil sepanjang sejarah Piala Dunia.
Vinicius Junior menyisir sisi kanan pertahanan Serbia dalam bayangan Darko Lazovic. Dengan kaki kanan bagian luarnya, Vini melepaskan umpan ke tengah dengan bola yang melayang rendah. Bola itu mengarah tepat di kaki kiri Richarlison.
Barangkali Richarlison ingin mengontrol bola itu agar berhenti tepat di depannya, yang akan ia tendang ke gawang dengan kaki kiri juga. Tapi, bola melenting ke atas dan dengan reflek yang begitu cepat, pemain 25 tahun itu melompat, melakukan tendangan salto, dalam posisi tepat di tengah tiga pemain Serbia yang berada di dekatnya.
Vanja Milinkovic Savic, penjaga gawang Serbia, mencoba menepis bola itu yang meluncur ke arah kanannya. Tapi laju bola terlalu cepat. Sebuah gol indah telah tercipta ke gawangnya.
Richarlison berlari ke arah pojok lapangan, merayakan gol bersama ofisial dan pemain yang duduk di bangku lapangan (dan pemain yang berada di lapangan tentu saja) - di hadapan pendukung Brazil yang bersorak kegirangan, lantaran gol itu juga membuat Brazil unggul 2-0.
Beberapa orang mungkin menganggap bahwa gol itu berawal dari salah kontrol. Salah kontrol atau bukan, itu mejadi tidak penting lantaran refleks lanjutan yang ditunjukkan Richarlison sangat indah. Ia membalikkan badan dan melakukan tendangan salto dengan kaki kanan.
Gol itu membuat Richarlison berada di halaman muka beberapa surat kabar Brazil pada Jumat pagi.
Sumber: Guardian
Golaco Que Vai Ficar Na História (gol yang akan dicatat sejarah), tulis Jernal de Brasilia. O Voo Do Pombo (Merpati terbang), tajuk dari Estado de Minas. Pombo Sem Asa (Merpati tanpa sayap), kata Extra. Pombo Sem Pena Solta O Pruuuuskas (Merpati tanpa sayap melepaskan tendangan Puskas), tulis Hoora.
Merpati. Ya, Richarlison memang dijuluki sebagai merpati lantaran gaya selebrasinya setelah mencetak gol: kepala digerak-gerakkan maju-mundur, seperti yang dilakukan merpati ketika berada di tanah.
Perjuangan Richarlison untuk terbang bagai merpati tidak mudah. Di level junior, ia pernah ditolak oleh klub Avai dan Figueirense. Penolakan oleh Figueirense terjadi tepat ketika ia berulang tahun ke 16.
“Saya sangat terpukul. Saya merasa seolah-olah tidak ada yang berhasil. Saya ingat ketika menerima semua salam “Selamat Ulang Tahun” dari teman dan keluarga - namun yang dapat saya pikirkan hanyalah bahwa saya harus kembali ke ibu saya di Nova Venecia. Masa trial telah berakhir. Saya harus pergi mencari pekerjaan lain,” aku Richarlison di The Players Tribun.
Penolakan Figueirense itu terjadi ketika mimpi Richarlison menjadi pemain sepakbola berada pada harapan tertinggi. Bukan tanpa sebab, sepakbola dianggap Richarlison sebagai satu-satunya jalan untuk mengubah nasibnya dan nasib keluarganya. Ia dan banyak anak-anak Brazil lainnya tumbuh dalam lingkungan yang keras, dan karena orang tuanya bercerai saat ia berusia tujuh tahun, Richarliosn harus berjualan membantu ibunya.
Saat berumur 11 tahun, Richarlison pernah berjualan es, sebuah usaha yang dijalankan kakeknya. Ia akan bangun jam 6 pagi dan mendorong gerobak esnya. “Saya akan bangun jam 6 pagi, mendorong gerobak ke pusat kota dan menghabiskan hari itu dengan berteriak seperti salah satu penyiar pertandingan yang Anda lihat di luar stadion sepak bola. “Es! Es! Beli es lolimu di sini!”
Karena berjualan es hanya menghasilkan uang yang tak seberapa, Richarlison juga menjual permen coklat yang dibuat oleh bibinya, dan ia juga bekerja di sebuah tempat pencucian mobil.
Kerasnya lingkungan tempat tinggal Richarlison terlihat dari peredaran narkoba. “Ada banyak kejahatan dan narkoba di daerah saya, dan saya punya beberapa teman yang terlibat di dalamnya. Ketika ibu saya sedang bekerja, saya akan pergi dengan salah satu saudara laki-laki saya di jalanan. Kami melihat senjata, tas penuh uang, kami melihat semuanya. Terima kasih Tuhan, saya tidak pernah pergi mencari apa pun di dunia itu.”
Richarlison juga terkena imbas dari kerasnya lingkungan itu. Suatu kali, saat ia berumur 14, Richarlison dan temannya ditodong oleh dua orang yang memegang pistol ketika sedang berjalan pulang sehabis bermain bola. “Kami sangat ketakutan. Jika seseorang menarik pelatuknya, bahkan secara tidak sengaja, kami pasti sudah mati.” Dua orang itu mengira Richarlison dan temannya menjual narkoba di tempat mereka.
Ketika sudah menjadi pesepakbola yang mapan, dan itu artinya cita-cita masa kecilnya tercapai, Richarlison tak pernah melupakan di mana ia tumbuh. Hal itu juga ia praktikkan dalam sikapnya, dengan memberikan sebuah kaus sepakbola kepada seorang kepala desa di wilayah Pantanal - daerah hutan tropis yang menjadi tempat tinggal satwa langka dan terbakar. Richarlison sangat peduli dengan Pantanal dan ia menyuarakan bencana kebakaran yang ada di Pantanal.
Selain itu, Richarlison sangat peduli dengan gejolak politik yang terjadi di Brazil. Ia mendukung vaksinasi Covid-19 untuk masyarakat Brazil di tengah anggapan Presiden Bolsonaro yang berkebalikan dengan ilmu pengetahuan, dengan menganggap virus tersebut sebagai “flu kecil.” Richarlison terang-terangan mendukung Vaksinasi di tengah beberapa pemain timnas Brazil yang justru mendukung Bolsonaro, seperti Neymar dan Dani Alves. Neymar ingin mendedikasikan gol pertamanya di Piala Dunia 2022 untuk Bolsonaro dan Dani Alves mendukung Bolsonaro meski kalah dalam pemilihan umum pada Oktober lalu.
Karena sikapnya itulah Richarlison dipuji berbagai kalangan di Brazil. “Richarlison mewakili sisi yang lebih penuh kasih sayang untuk seleção Brasil. Dia terlihat sebagai warga negara yang benar-benar peduli dengan Brasil,” ujar penulis sepakbola Brazil, Juca Kfouri, dilansir dari The Guardian.
“Dia bukan hanya bintang di lapangan, dia juga bintang di luar lapangan,” ujar aktivis favela Rene Silva, mengenang bagaimana Richarlison menyumbangkan tabung oksigen ke kota Manaus, ketika sistem perawatan kesehatan di kota itu melemah selama pandemi, dikutip dari The Guardian.
“Lebih dari pemain hebat, Richarlison adalah warga negara teladan,” cuit Paulo Pimenta, politikus Partai Buruh.
Sebelum Copa America 2019, Richarlison menyumbangkan 50.000 Reais (£7.000) kepada sekelompok anak sekolah yang ingin pergi ke Taiwan untuk Olimpiade Matematika Internasional. Beberapa minggu kemudian, seseorang mengiriminya foto anak-anak di kampung halamannya mengenakan kaus `Richarlison, 21` dan berselang beberapa waktu, dia muncul di sekolah anak-anak itu dan memberi mereka jersei yang resmi.
***
Kini, Richarlion menjadi tumpuan lini depan Brazil di Piala Dunia 2022. Itu merupakan prestasi yang sangat baik - dengan membukukan dua gol di babak grup - padahal di Tottenham ia tak selalu menjadi pilihan utama.
Ia pun bermain bersama Neymar, idolanya ketika ia remaja, yang bahkan gaya rambut mohawknya pernah Richarlison tiru. “Ingin menjadi seperti Neymar adalah satu hal, tapi menjadi pemain profesioal adalah hal lain.”
Cita-citanya kini sudah tercapai. Merpati itu akan terbang lebih tinggi.
Komentar