Kongres Luar Biasa (KLB) PSSI telah usai dan pengurus baru pun sudah terbentuk. Namun, ada satu hal yang sangat tidak bisa diabaikan dalam KLB, yakni adanya permintaan pemungutan ulang dari voters karena mereka menganggap suara mereka dihilangkan.Inilah gambaran bagaimana PSSI diurus selama ini.
Proses politik PSSI memang penuh dengan akrobat politik. Ini jadi tantangan dan tugas berat untuk Erick Thohir sebagai Ketua Umum PSSI terpilih. Agenda bersih-bersih Menteri BUMN itu di tubuh PSSI bukan hanya tentang orang-orang lama, tapi juga sistem politiknya. Kongres PSSI memang proses politik. Kita bisa bayangkan bahwa hal-hal seperti itu terjadi di Asosiasi Provinsi (Asprov) dan Asosiasi Kabupaten dan Kota (Askab dan Askot) yang merupakan kepanjangan tangan PSSI di level daerah dan KLB PSSI merupakan titik muaranya.
Terpilihnya Erick Thohir sebagai Ketua Umum PSSI sebenarnya membuka harapan baru persepakbolaan Indonesia di tengah kabar buruk yang lebih sering terdengar daripada prestasi. Ada empat hal besar dalam waktu 10 tahun terakhir yang bisa menunjukkan bahwa PSSI tidak baik-baik saja; pembekuan pada 2015, pembentukan satgas anti-mafia bola dan penangkapan banyak orang (termasuk pengurus) dalam soal mafia persepakbolaan, Tragedi Kanjuruhan, serta prestasi yang tidak pernah diraih.
Erick Thohir dan para pengurus pasti punya target jangka pendek maupun jangka panjang. Sebagus apapun target yang dicanangkan, tidak akan tercapai tanpa organisasi yang bersih. Dalam konteks kepemimpinan baru dan harapan publik yang besar, harus ada kemenangan cepat organisasi untuk mendapatkan dukungan publik. Oleh karena itu, menurut saya ada dua target yang harus dicapai, yaitu industri dan prestasi.
Prestasi atau kualitas sepakbola pada dasarnya adalah resultante dari beragam faktor. Kalau mau kualitas sepakbola baik, maka faktor-faktor itu yang harus dibenahi terlebih dahulu. Tidak ada jalan pintas untuk menaikkan kualitas sepakbola kita. Pertanyaan selanjutnya adalah, apa saja faktor-faktor itu? Banyak, memang. Tapi, kalau mau diperas, faktor penentu kualitas sepakbola adalah kompetisi.
Inti dari penyelenggaraan sepakbola adalah pertandingan. Pertandingan itu adalah kompetisi. Jadi, pondasinya adalah kompetisi. Untuk membenahi kompetisi, jawabannya bukan pemakaian Video Assistant Referee (VAR). Jawabannya juga bukan hak siar. Jawabannya juga bukan training camp (TC) jangka panjang.
Jawabannya adalah penegakan aturan. Kompetisi itu adalah manualnya, ada aturannya. Aturannya harus ditegakkan tanpa pandang bulu. Sebelum kompetisi digelar, ada verifikasi macam-macam, mulai dari kesiapan finansial sampai infrastruktur. Lakukan verifikasi dengan benar, yang tidak lolos jangan diloloskan. Saat liga sudah berjalan, ada aturan soal suporter, ada aturan soal izin dan jadwal pertandingan. Semua aturan itu harus ditegakkan tanpa pandang bulu di semua level kompetisi. Ada aturan yang jelas tentang kinerja wasit, yang tidak memimpin dengan benar diberhentikan atau diberi hukuman.
Itu semua adalah kunci. Kompetisi kita tidak akan ke mana-mana kalau aturannya tidak ditegakkan. Percuma ada VAR, percuma hak siarnya mahal, kalau aturannya tidak tegak.
Dan jangan lupa, kompetisi itu bukan cuma Liga 1, Liga 2 dan Liga 3. Tapi juga liga-liga amatir, termasuk kompetisi muda, kompetisi pelajar, termasuk juga tarkam (antar kampung).
Industrialisasikan semua Liga adalah opsi masuk akal. Erick Thohir, dengan pengalamannya di Mahaka sebagai sport business, pasti tahu bahwa pertandingan level apa pun ada potensinya. Deregulasi aturan penyelenggaraan kompetisi di level-level bawah. Permudah perizinan liga dan turnamen amatir sehingga semakin banyak orang bermain sepakbola.
Tidak mungkin industri dan prestasi bisa dicapai bersamaan. Perbaikan ekosistem industri sepakbola adalah hal yang sangat bisa dikejar dalam waktu dekat jika melihat track record Erick Thohir dalam birokrasi. Catatannya, PSSI harus bersih. Jika industri sepakbola Indonesia bisa dikelola dengan baik dalam waktu dekat, bisnis sepakbola akan mendapatkan kepercayaan kembali pasca Tragedi Kanjuruhan.
Lalu, kenapa bukan soal prestasi seperti juara Piala AFF 2024, lolos babak grup Piala Dunia U-20, atau lolos ke fase gugur Piala Asia? Perbaikan piramida prestasi sepakbola bukan hal instan. Butuh waktu lama untuk memperbanyak pemain di level junior dan amatir sehingga mudah mencari pemain di level elit. Kalau hari ini Erick Thohir membereskan hal itu, mungkin baru 10-15 tahun lagi (atau bahkan lebih) kita baru bisa memetik hasilnya. Penerapan ilmu pengetahuan, upgrading kualitas dan kuantitas pelatih dan wasit menjadi syarat mutlak agar kita bisa mengakselerasi.
Selain itu, saya juga berharap Erick Thohir bisa mendorong banyak soal kebijakan yang berperspektif pencegahan dalam pelaksanaan teknis agar tidak ada lagi Tragedi Kanjuruhan baru, tidak ada lagi 135 orang yang kehilangan nyawa, tidak ada lagi pemain yang tidak dibayar gajinya. Verifikasi stadion yang ketat, verifikasi klub peserta di semua level dijalankan dengan ketat. Mereka yang tidak mau mengikuti aturan jangan dilibatkan. Jangan pernah menormalisasi semua kesalahan-kesalahan di masa lalu. Kalau perlu, libatkan kampus sebagai lembaga riset sebagai salah satu bahan pertimbangan untuk mengambil kebijakan.
Sekali lagi, target-target itu tak akan bisa dicapai tanpa organisasi yang bersih.
Komentar