Erick Thohir bergerak cukup cepat dalam masa awal kepemimpinannya sebagai Ketua Umum PSSI baru. Salah satu "gebrakannya" adalah wacana mengubah sistem kompetisi per musim depan. Hal itu muncul dalam sebuah sarasehan bersama klub peserta pada awal Maret 2023.
Ada dua opsi perubahan. Pertama, membagi klub peserta ke dalam tiga grup dan bermain sebanyak tiga putaran. Kedua, menggunakan sistem double round robin (kandang & tandang) seperti sekarang, tetapi ditambah turnamen gugur untuk empat tim teratas.
Secara umum, kedua sistem memiliki satu kesamaan, yakni sistem play-off. Sistem ini memang tidak lazim digunakan dalam kompetisi sepakbola Eropa kebanyakan yang hanya menerapkan double round robin untuk satu kalender kompetisi. Namun, wacana sistem yang ingin digunakan sebenarnya cukup teruji di olahraga Amerika, utamanya dalam hal bisnis.
Contoh termudah adalah National Football League (NFL), yang secara valuasi merupakan waralaba olahraga termahal di Amerika Serikat berdasarkan Forbes. Ketika NFL menambah jumlah peserta play-off dari 12 menjadi 14 tim pada 2020, pemasukan mereka diestimasikan bertambah 150 juta Dolar AS per musim.
Animo penonton juga terus meningkat seiring mendekati akhir kompetisi. Rataan jumlah penonton musim reguler NFL 2021 adalah 17,1 juta. Ketika memasuki play-off, jumlah tersebut terus meningkat hingga menyentuh angka 95,2 juta orang menonton partai puncak, Superbowl.
Tentu saja, bukan cuma operator yang mendapatkan untung. Pihak klub juga akan mendapat lebih banyak pemasukan melalui hak siar serta ruang pemasaran iklan.
Kembali ke konteks sepakbola Indonesia, rasanya apapun format kompetisi yang digunakan sebenarnya sah-sah saja selama disepakati bersama. Terlebih, FIFA sendiri tidak melarang federasi menciptakan aturan dan format kompetisi sendiri. Pertanyaan besarnya: apakah perubahan format dapat menjamin peningkatan kualitas kompetisi?
Masalah yang selama ini dilanggengkan bukan terletak di format, melainkan di penjadwalan, pengelolaan, serta penegakkan aturan. Di sinilah seharusnya titik berat diskursus sepakbola Indonesia.
Dari Tragedi Kanjuruhan, kita belajar bahwa ada masalah yang saling tumpang-tindih, seperti tekanan dari pemegang hak siar, hingga buruknya sistem kontrol dan standarisasi kompetisi.
Maka dari itu, baiknya PSSI menyiapkan dasar yang kuat bernama Lisensi Klub Nasional. Secara peraturan, PSSI memegang kendali penuh untuk menentukan standar. Dan, salah satu yang bisa menjadi rujukan adalah Regulasi Lisensi Klub AFC.
Pada 2022, terhitung hanya sembilan klub Indonesia yang lolos lisensi AFC. Hal ini menggambarkan betapa rendahnya kualitas sepakbola nasional.
Berkaca pada kisah revolusi sepakbola Jepang, mereka berani memangkas jumlah klub divisi teratas demi terjaganya kualitas. Hal sama juga dilakukan oleh Kamboja baru-baru ini. Mereka memangkas klub peserta divisi tertinggi dari 13 menjadi delapan. Tidak ada tebang pilih, tidak ada lagi istilah `lolos bersyarat`.
Beberapa klub yang terdegradasi karena tidak lolos standar awalnya menolak, tetapi kemudian bisa justru mendukung kebijakan. Mereka merasakan manfaat berupa bertambahnya jumlah penonton dan sponsor yang berdatangan.
"Para pemilik klub yang awalnya menolak liga profesional mulai mengatakan kepada media bahwa terdegradasinya mereka ke divisi dua adalah hal baik karena mereka punya waktu untuk mempersiapkan tim promosi ke divisi satu," ujar Satoshi Saito selaku CEO Kamboja Premier League kepada JSPIN.
Tentunya, hal itu hanya bisa berjalan jika federasi juga benar-benar serius menjalankan perannya. Hanya dengan standarisasi yang baik, maka akan lahir pula iklim kompetisi yang baik. Hanya dengan dasar yang kuat, sepakbola kita bisa melangkah ke arah yang tepat.
Komentar