N’golo Kante berhasil merebut bola ketika Fulham sedang membangun serangan melalui kaki Jean Seri. Ia menggiring bola hingga ke depan kotak penalti, menciptakan situasi empat lawan tiga. Kante menyodorkan bola kepada Pedro yang bebas di sisi kanan. Dengan sedikit lekukan, Pedro menyelesaikan peluang tersebut, satu kosong untuk Chelsea. Momen tersebut secara gamblang menjelaskan pentingnya peran Kante sebagai box-to-box midfielder.
Dalam sebuah tim, box-to-box midfielder merupakan pemain yang tidak pernah “nganggur”. Ia selalu mendapatkan porsi besar dalam segala situasi (menyerang, bertahan, dan transisi). Ketika bertahan, seorang box-to-box midfielder bertugas menutup area kosong yang ditinggalkan bek sayap, atau bergabung dengan bek tengah untuk merapatkan barisan pertahanan. Pada situasi tertentu mereka berupaya merebut bola sebelum serangan lawan bertemu dengan pemain belakang. Ketika menyerang, peran box-to-box midfielder cukup variatif namun diandalkan untuk membongkar pertahanan lawan. Begitu juga ketika transisi, box-to-box midfielder sering diandalkan sebagai inisiator pertama dan menentukan arah serangan balik.
Oleh karena itu, salah satu pondasi penting sebuah tim adalah seorang box-to-box midfielder yang andal. Contoh paling mudah adalah Real Madrid yang berhasil menjuarai Liga Champions dalam tiga musim berturut-turut. Capaian tersebut tidak lepas dari peran Luka Modric sebagai box-to-box midfielder. Begitu juga dengan Liverpool yang memiliki Georginio Wijnaldum meraih satu gelar liga domestik dan satu gelar Eropa.
Meski sepakbola secara teknis terus berkembang, secara umum, peran mendasar box-to-box midfielder tidak pernah berubah. Peran mereka hanya sedikit bergeser sesuai dengan perkembangan taktik dalam sepakbola. Perlahan, terjadi evolusi pada beberapa detail-detail peran box-to-box midfielder.
Awal Kemunculan Peran Box-to-Box Midfielder
Box-to-box midfielder muncul pertama kali pada era 1880-an pada formasi dasar 2-3-5. Pada skema tersebut seorang box-to-box midfielder dituntut untuk memiliki atribut menyerang dan bertahan secara seimbang dan kuat. Terminologi box-to-box midfielder semakin terdengar nyaring pada 1980-an. Salah satu box-to-box midfielder yang paling populer adalah Lothar Matthaeus.
Lothar Matthaeus sempat dikenal sebagai gelandang paling lengkap. Ia memiliki dua kaki yang sama kuatnya, kekuatan, kecepatan, teknik, dan pemahaman taktik di atas rata-rata. Tidak heran jika ia menjelma menjadi box-to-box midfielder terbaik pada masanya. Matthaeus mencetak 203 gol sepanjang 21 tahun berkarir. Cukup produktif bagi seorang box-to-box midfielder.
Seiring berkembangnya zaman, tuntutan dan beban terhadap box-to-box midfielder semakin besar. Kondisi ini secara tidak langsung berdampak pada ekspektasi atribut fisik dan intelejensi yang semakin tinggi. Salah satu cara untuk mencapai level yang diinginkan adalah meningkatkan persaingan sehingga setiap tim berlomba-lomba memperbanyak box-to-box midfielder. Terlebih, seorang box-to-box midfielder terbilang lebih versatile (bisa bermain lebih dari satu posisi) sehingga cukup fleksibel untuk ditempatkan di posisi lain jika membutuhkan waktu bermain lebih banyak.
Masa Keemasan Box-to-Box Midfielder
Popularitas box-to-box midfielder semakin memuncak pada akhir periode tahun 1990-an sampai awal 2000-an, terutama di Liga Inggris. Hal tersebut disebabkan karena Liga Inggris menekankan fisik, kekuatan dan stamina diiringi keterampilan teknis dan pemahaman taktikal. Maka tidak heran jika nama-nama seperti Frank Lampard, Steven Gerrard, Paul Scholes sangat populer.
Hal ini didukung dengan tren penggunaan formasi dasar 4-4-2. Dalam skema tersebut, terdiri dari dua gelandang yang diisi oleh box-to-box midfielder dan gelandang bertahan. Manchester United meraih gelar Treble Winners pada musim 1998/1999 dengan memasangkan Paul Scholes sebagai box-to-box midfielder dan Roy Keane sebagai gelandang bertahan dalam format 4-4-2. Begitu juga dengan The Invincibles musim 2003/2004 tampil dengan duet Patrick Vieira dan Gilberto Silva.
Beberapa musim berikutnya, mulai terjadi pergeseran terhadap peran box-to-box midfielder dalam komposisi gelandang. Musim 2004/2005 dan 2005/2006, Chelsea meraih dua gelar Juara Liga Inggris berturut-turut. Aktor pentingnya adalah Frank Lampard yang berperan sebagai box-to-box midfielder dalam skema 4-3-3. Lampard berada di depan Claude Makelele dan Michael Essien. Dalam skema tersebut, beban Lampard lebih ringan dalam aspek bertahan. Meskipun ia tetap memerankan tugas box-to-box midfielder ketika bertahan.
Kepopuleran box-to-box midfielder di tanah Inggris juga diterapkan ke tim nasional. The Three Lions pada Piala Dunia 2006 memasangkan dua box-to-box midfielder sekaligus, yaitu Steven Gerrard dan Frank Lampard. Hasilnya mereka mencapai babak perempat final sebelum kalah dari Portugal dalam babak adu penalti. Sayangnya, performa mereka semakin menurun hingga gagal lolos ke Piala Eropa 2008.
Ketenaran box-to-box midfielder semakin menurun ketika taktik sepakbola bergeser lebih posisional dan konstruktif dibanding transisional. Hal ini disebabkan karena seorang box-to-box midfielder terlihat sangat istimewa ketika berhasil memanfaatkan transisi meski terlibat banyak pada situasi-situasi lain. Ketika sepakbola dimainkan lebih konstruktif, (membangun serangan dari lini belakang, perlahan dari kaki ke kaki) sinar box-to-box midfielder tertutup oleh seorang gelandang kreatif yang rajin mengirim umpan-umpan kunci atau seorang penyerang yang mencetak gol.
Kendati demikian, box-to-box midfielder masih menjadi pilar utama dalam sebuah tim meski terjadi pergeseran dan penyesuaian peran.
Box-to-Box Midfielder Masa Kini
Pada sepakbola yang saat ini kita saksikan (2010-an sampai sekarang), box-to-box midfielder jauh lebih beragam., terutama dalam aspek serangan. Ada yang sangat mengandalkan kreativitas seperti Luka Modric. Ada yang gemar menusuk ke dalam kotak penalti seperti Georginio Wijnaldum. Ada juga yang mengincar peluang dari lini kedua untuk mengejutkan pertahanan lawan seperti Ilkay Gundogan. Kendati demikian, peran mendasar box-to-box midfielder tetap sama, yaitu gelandang yang memiliki kemampuan bertahan dan menyerang yang seimbang.
Bedanya, porsi dan beban box-to-box midfielder tidak seberat era sebelumnya. Ketika bertahan, box-to-box midfielder ditemani seorang gelandang bertahan. Sebaliknya ketika menyerang, box-to-box midfielder tidak perlu terlalu khawatir karena ada seorang gelandang serang. Kini mereka terkesan lebih bersifat “pendukung” padahal peran mereka sangat penting. Mereka adalah pemain yang menutup ruang yang ditinggalkan bek sayap ketika overlap. Mereka juga yang pandai mencari posisi untuk mengantisipasi rebound andai serangan gagal.
Perubahan tersebut bukan sesuatu yang buruk baik bagi sang pemain maupun tim. Seorang box-to-box midfielder tidak terpinggirkan, mereka hanya perlu menyesuaikan. Sementara tim justru mendapatkan keseimbangan yang lebih kokoh.
Satu hal yang sedikit berdampak negatif adalah kepopuleran box-to-box midfielder yang tidak semenyilaukan era sebelumnya. Meski kontribusi terhadap tim sangat besar tapi mereka jarang terlibat langsung dalam penciptaan gol (gol atau asis). Bisa dibilang box-to-box midfielder zaman sekarang bisa dianugerahi sebagai pahlawan tanpa tanda jasa.
Komentar