Pembicaraan tentang pendidikan (sekolah) dan sepakbola belakangan ini mencuat setelah pernyataan Hokky Caraka yang meninggalkan sekolah demi sepakbola viral. Sekolah dan sepakbola seakan dua hal yang berbeda, tapi sebenarnya punya benang merah yang erat.
Sudah banyak contoh di mana seorang pemain yang karir sepakbola dan karir akademiknya sama-sama cemerlang. Hal ini setidaknya bisa menjadi bukti bahwa sepakbola sangat bisa diseimbangkan dengan pendidikan akademik. Namun, problem yang lebih mendasar di Indonesia adalah belum adanya sistem secara nasional yang mengatur keseimbangan antara sepakbola dan pendidikan.
Di level klub pun, tampaknya tidak banyak klub yang menerapkan kesadaran soal pentingnya memiliki akademi yang menyeimbangkan pendidikan akademik dan sepakbola. Sekolah Sepakbola (SSB) lebih memilih berlatih di hari libur dan setelah jam sekolah agar pendidikan akademik dan pendidikan sepakbola para siswa tetap bisa dikompromikan dan inilah yang barangkali paling jamak ditemukan di Indonesia.
Indonesia bukan tidak punya sekolah (dalam konteks ini lembaga formal) yang berusaha menyeimbangkan akademik dan sepakbola. Kita bisa menyebut Sekolah Khusus Olahragawan (SKO) Ragunan dan beberapa SKO lain sebagai contoh. Tapi, SKO ini hanya menerima segelintir student-athlete, dan jumlah SKO di Indonesia pun tidak banyak Selain SKO Ragunan, ada SKO Jawa Timur, SKO Riau, SKO Kalimantan Timur, SKO Aceh, serta SMP-SMA Olahraga Negeri Sriwijaya.
Baca Juga:Menyeimbangkan Pendidikan Akademik dan Olahraga
Beberapa sekolah menawarkan kepada calon muridnya beasiswa olahraga. Sekolah yang mempunyai track record baik di cabang olahraga tertentu, akan memberikan beasiswa berupa gratis biaya sekolah (atau semacamnya), bagi siswa-siswa yang memiliki kemampuan olahraga yang baik. Tapi, jumlah sekolah-sekolah seperti ini pun tidak banyak. Bisa dibilang, sekolah-sekolah yang lekat dengan olahraga ini tidak bisa berdiri sendiri untuk menopang terciptanya bibit muda olahraga, tidak terkecuali sepakbola sepakbola.
Kita bisa menyebut pemerintah, dalam hal ini soal kebijakan, tidak abai dalam soal pendidikan dan olahraga. Hal itu sudah pernah dibahas dalam undang-undang. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Keolahragaan Nasional, mengatur tiga hal, yakni olahraga pendidikan, olahraga rekreasi, serta olahraga prestasi.
Dalam konteks olahraga prestasi, Undang-Undang tersebut menyebut di Pasal 27 Ayat 2 bahwa pembinaan dan pengembangan olahraga prestasi dilakukan oleh induk organisasi cabang olahraga, baik pada tingkat pusat maupun pada tingkat daerah. Di sepakbola, organisasi induk berarti adalah PSSI.
Selain itu, masih ada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2022 Tentang Keolahragaan, yang lebih luas mengatur olahraga nasional dari mulai akar rumput hingga level profesional beserta hal-hal lainnya seperti suporter dan keamanan.
Kini, yang kita butuhkan adalah langkah konkret PSSI untuk membentuk mode pembinaan, entah melalui kebijakan yang mewajibkan klub untuk memiliki pembinaan yang berbarengan dengan akademik atau menjalin kerja sama dengan beberapa pihak dalam upaya mengakselerasi prestasi sepakbola.
Inpres No. 3 Tahun 2019 tentang Percepatan Pembangunan Persepakbolaan Nasional sebenarnya bisa menjadi landasan kuat jika PSSI dan lembaga yang ditunjuk dalam Inpres tersebut ingin bekerja sama.
Dalam Inpres tersebut, terdapat instruksi kepada 12 Kementerian, Kapolri, Gubernur, serta Bupati dan Walikota untuk melaksanakan hal-hal yang dianggap perlu untuk mendorong percepatan pembangunan sepakbola nasional.
Inpres ini strategis bagi peluang kerja sama PSSI karena menjangkau dari level Kementerian hingga walikota/bupati, sebagaimana PSSI yang mempunyai kepanjangan tangan dari Pusat, Asosiasi Provinsi (Asprov), hingga ke level Asosiasi Kabupaten (Askab) dan Asosiasi Kota (Askot).
Sekolah dan Sepakbola Sama Pentingnya
“Saya sendiri tiga tahun sudah meninggalkan sekolah demi Indonesia. Jadi, kalau beneran ini di-banned saya tidak punya apa-apa, tidak punya bekal untuk menjadi profesi apalah itu,” kata Hokky Caraka dalam salah satu acara di Kompas TV.
Mungkin banyak dari kita yang menganggap pernyataan Hokky itu adalah sebentuk kekecewaan yang berlebihan.
Namun, Hokky yang takut tidak punya bekal apa-apa untuk meniti profesi lain di luar sepakbola, secara tidak langsung menegaskan adanya kekhawatiran ia belum tentu berhasil berkarir di sepakbola. Ia khawatir karena belum memiliki rencana matang pasca vakum dari dunia sepakbola, dan ia menganggap pendidikan akademik adalah modal lain yang harus dimiliki untuk melanjutkan hidup.
Ini kekhawatiran wajar, yang tentu mengindikasikan bahwa sekolah dan sepakbola sama pentingnya. Yang dibutuhkan Hokky dan atlet-atlet lain yang kebetulan masih menempuh jenjang pendidikan di Universitas, Sekolah Menengah Atas (SMA) atau Sekolah Menengah Pertama (SMP) adalah adanya sebuah aturan yang menjamin mereka tetap bisa menikmati sepakbola dan pendidikan akademik secara bersamaan.
Kita bisa melihat banyak contoh untuk soal menyeimbangkan pendidikan akademik dan sepakbola. Di Amerika Serikat, NCAA atau National Collegiate Athletic Association, menjadi role model ideal bagaimana pendidikan akademik dan olahraga melebur. NCAA adalah wadah bagi para mahasiswa yang tetap ingin tampil dalam gelanggang olahraga.
Klub SC Freiburg, Jerman, menyadari bahwa tidak semua pemain-pemain akademi mereka akan meniti karir sebagai pemain profesional, sehingga bekal akademik sangat dibutuhkan.
Di sisi lain, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2022 terdapat ketentuan yang mengatur bahwa Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan/atau Masyarakat dapat mengembangkan sistem kesejahteraan olahragawan dan tenaga keolahragaan. Bentuk "mengembangkan sistem kesejahteraan" itu, untuk atlet seperti Hokky dan atlet-atlet junior lain, barangkali bisa diimplementasikan dengan memberi mereka fasilitas untuk menimba ilmu di sekolah atau universitas.
Tidak semua atlet junior akan meniti karir sebagai pesepakbola profesional. Banyak yang beralih profesi atau mimpi berkarir sebagai pesepakbola harus pupus karena satu dan lain hal. Maka dari itu, pendidikan akademik pun sangat penting.
Komentar