Tidak banyak organisasi yang didirikan sebelum Indonesia merdeka dan masih bertahan sampai sekarang. PSSI adalah salah satunya, dan tepat hari ini, 93 tahun yang lalu, PSSI resmi terbentuk di Yogyakarta.
PSSI didirikan dengan latar belakang yang politis, yakni untuk mengorganisir sepakbola menjadi alat untuk menyaingi dominasi kolonialisme Belanda.
PSSI lahir dua tahun pasca Sumpah Pemuda. Semangat zaman itu turut memengaruhi PSSI sebagai organisasi yang memang didirikan oleh kelompok bumiputra. PSSI memang sempat vakum di era Jepang. Geliat PSSI mulai terlihat pada dekade 1950-an.
Mendatangkan Toni Pogacnik adalah langkah jitu di era 1950-an, era di mana kondisi sepakbola Indonesia mengharuskan Pogacnik untuk berkeliling ke sudut-sudut wilayah Jawa untuk memberi pelatihan.
Saat itu, PSSI dipimpin oleh Maladi, penjaga gawang timnas era 1930-an, tentara yang terlibat dalam Serangan Umum Empat Hari di Solo, sebelum menjabat Menteri Penerangan (1959-1962) dan Menteri Olahraga (1964-1966).
PSSI dipimpin oleh orang-orang yang memang memiliki peran penting di tiap eranya (banyak yang bahkan tidak datang dari latar belakang sepakbola), mulai dari kalangan militer hingga menteri. Pendiri sekaligus ketua PSSI pertama, Soeratin Sosrosoegondo, merupakan seorang insinyur.
Era Sukarno, tokoh dari berbagai kalangan, dari mantan pesepakbola, pengawal presiden, hingga menteri bergantian memimpin PSSI.
Di era Orde Baru, kalangan militer mulai silih berganti menjadi orang nomor satu PSSI, Mulai dari Bardosono, Kardono hingga Azwar Anas. Beberapa bahkan ada yang saat itu masih menjabat menteri.
Maka tidak mengherankan jika dalam perkembangannya, PSSI dipimpin oleh Erick Thohir yang notabene adalah Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
PSSI pun punya gejolak yang tidak bisa dipisahkan dari gejolak zaman. Barangkali inilah bukti bahwa sepakbola dan politik memang tidak bisa dipisahkan. Berangkatnya pemain-pemain Hindia Belanda ke Piala Dunia 1938 dengan membawa bendera NIVU (Nederlandsch Indishe Voetbal Unie) didahului oleh pertikaian.
Saat itu, Soeratin ingin bendera PSSI-lah yang mewakili Hindia Belanda. Tidak bisa dibayangkan ketika PSSI yang menjadi pengirim wakil tim sepakbola ke Piala Dunia yang diselenggarakan di Prancis tersebut. Dalam hal ini, Soeratin jelas ingin bahwa nama PSSI-lah yang berlaga di Prancis, bukan NIVU. FIFA pun pada akhirnya tetap mengakui NIVU sebagai perwakilan Hindia Belanda. Di sini jelas bahwa sepakbola bukan lagi menjadi permainan yang lepas dari ruang lingkup sosial politik yang mengelilinginya.
Gejolak lain adalah suap. Suap dalam skandal Senayan 1962 adalah kelanjutan dari adanya sistem judi yang coba dilegalkan oleh pemerintah, juga suprastruktur sepakbola yang belum terlalu matang.
Sepakbola gajah, konflik kepentingan, dan isu pengaturan skor menjadi hal yang tidak bisa dilepaskan dari sejarah panjang PSSI.
93 Tahun Berdiri Nihil Prestasi (?)
Di level ASEAN, kita memang pernah meraih trofi, yakni pada ajang Sea Games 1987 dan 1991. Setelah itu, kita puasa gelar hingga sekarang - baik di Sea Games maupun Piala AFF.
Di level Asia, kita mampu mencapai babak semifinal Asian Games 1986 dan 1954. Di Piala Asia, kita hanya mampu menjadi partisipan sebanyak empat kali (lima kali dengan edisi 2024 mendatang), dan belum pernah mencapai babak gugur.
Berbicara soal prestasi adalah hal yang kompleks. Barangkali benar, bahawa pembinaan yang tidak pernah menjadi perhatian utama kepengurusan, liga dan wasit yang kualitasnya tidak pernah ditingkatkan, serta aturan yang tidak ditegakkan adalah sebab sulitnya timnas meraih prestasi.
Faktor lain yang bisa diajukan untuk menjawab mengapa Timnas sulit meraih prestasi adalah tata kelola sepakbola yang semakin menjauhi sejarahnya. Bisa jadi, alpanya klub-klub internal adalah salah satu pemicu pembinaan klub-klub tidak berjalan baik. Klub internal memang salah satu cara dari era perserikatan yang tidak banyak lagi digunakan oleh klub di Indonesia.
Pada 2008, ketika bentuk klub diseragamkan menjadi badan usaha berbentuk PT, maka esksistensi klub-klub internal menjadi terpinggirkan karena mereka tidak mempunyai akses untuk memiliki saham klub. Klub-klub seperti Persib, Persija, PSM, dan klub-klub lain yang terbentuk dari zaman Perserikatan pada mulanya bukanlah klub yang berdiri tunggal. Klub-klub itu terdiri dari klub-klub internal yang menyokong klub utama tersebut.
Dari klub internal itu, bibit-bibit pemain baru bermunculan dan klub utama tidak kehilangan sumber penyedia pemain berbakatnya. Klub-klub internal berkompetisi secara reguler dan itulah yang dibutuhkan oleh pemain muda sebelum siap dipromosikan ke tim utama.
Sejak awal, pemain muda dididik dalam iklim persaingan yang intens dan itulah itulah pembinaan yang bisa jadi bisa menjadi tonggak untuk menghasilkan pemain-pemain bermutu bagi klub itu sendiri maupun Timnas.
Bergulirnya kompetisi bagi tim internal di sisi lain juga meningkatkan partisipasi orang bermain bola. Partisipasi merupakan landasan untuk membentuk kompetisi yang tangguh. Dalam piramida sepakbola, partisipasi berarti keikutsertaan, yang berada dalam piramida terbawah.
Apa levelnya? Amatir tentu saja, karena pada dasarnya orang-orang yang bermain di level partisipasi tidak mengejar piala atau medali, melainkan untuk bersenang-senang. Pengejawantahan partisipasi ini adalah sepakbola di level akar rumput seperti antar kampung (tarkam).
Mendefinisikan tarkam pun tidak sekadar sepakbola yang dimainkan di kampung-kampung. Lebih jauh dari itu, sepakbola yang levelnya partisipatif layak disebut tarkam, entah itu yang dimainkan di lapangan-lapangan sepakbola di sudut kota atau yang dimainkan di lapangan mini.
Tarkam, dalam definisinya yang lebih luas, pun bisa diartikan dengan fun football. Dengan mengeluarkan sepakbola tarkam dari pengertian antar kampung an sich, maka segala rupa partisipasi di level akar rumput adalah sepakbola tarkam yang memang bermain untuk bersenang-senang (fun).
Di sini, kita juga menemukan titik lain bahwa PSSI seperti melupakan akarnya. PSSI, setidaknya hingga 1960-an adalah organisasi induk olahraga yang masih berfokus pada pemain amatir. Bahkan PSSI menyebut sendiri bahwa pemain profesional (dalam pengertian PSSI; pemain yang menggantungkan pendapatannya dengan bermain bola) bukan lagi berada dalam kewenangan PSSI.
***
Sebelum Erick Thohir terpilih menjadi Ketua Umum PSSI pada Kongres Luar Biasa (KLB) 16 Februari 2023, sepakbola Indonesia dilanda masalah besar, yakni Tragedi Kanjuruhan. Tragedi ini adalah akumulasi dari segala peraturan yang diabaikan dan disepelekan.
Baru beberapa pekan Erick menjabat, Indonesia sudah mendapat guncangan berupa pembatalan tuan rumah Piala Dunia U-20.
Dalam 93 tahun PSSI rasa-rasanya sangat jarang kita mendengar cerita-cerita indah. Lebih sering kita mendengar cerita-cerita kelabu: tak pernah juara, liga yang amburadul, hingga ratusan nyawa yang meninggal selama ini karena sepakbola. Kita memang pernah menahan imbang Uni Soviet di Olimpiade 1956, mendaku sebagai negara Asia pertama yang lolos ke Piala Dunia meski FIFA mengakui NIVU, pernah masuk semifinal Asian Games, tapi hal itu lebih mirip sebuah mitos yang terus dituturkan ulang.
Setiap generasi seharusnya mengukir sejarahnya sendiri.
Komentar