Kasus kematian suporter di Indonesia tidaklah sepenuhnya diusut tuntas. Hal ini menjadi sesuatu yang sulit bagi diterima bagi keluarga korban.
Kehilangan keluarga gara-gara sepakbola rasa-rasanya sulit diterima oleh siapa saja, apalagi kasus yang menyebabkan kematian itu tidak diusut tuntas. Hari lebaran seharusnya menjadi tempat bertemu dan berkumpulnya seluruh keluarga. Tapi, bagaimana dengan mereka yang kehilangan keluarganya karena sepakbola, dan adakah kata maaf bagi mereka yang menghilangkan nyawa?
***
Ruang maaf untuk kesalahan dan kekalahan itu terbuka dalam sepakbola. Maaf, yang rasanya juga termasuk dalam prinsip yang kita dengar dengan frasa fair play itu terus digaungkan dan digemakan di mana-mana.
Dalam sepakbola, akhir laga menjadi waktu di mana para pemain, juga pelatih dan ofisial, menjabat tangan lawan masing-masing, entah meminta maaf atau memberikan respect kepada lawan, yang berakhir dengan bertukar jersei atau berfoto bersama. Seluruh tim pun, jika kalah, akan menghampiri suporter yang ada di stadion untuk meminta maaf.
Seorang pelatih yang meminta maaf kepada para suporter karena kekalahan rasanya jamak. Si pelatih merasa ia tak bisa membuat suporter puas dan ia meminta maaf. Di batas tertentu, kata maaf ini menjadi lumrah - jika si pelatih juga membayarnya dengan kemenangan di laga-laga selanjutnya sebelum ia keburu dipecat.
Beberapa kelompok suporter pun akan meminta maaf apabila ada insiden tertentu yang melibatkan kelompoknya.
Namun, sepakbola bukan hanya soal tim dan suporternya. Lebih jauh dari itu, sepakbola juga melibatkan pihak keamanan (di Indonesia berarti kepolisian). Suporter juga tidak berdiri sendiri. Mereka adalah bagian dari masyarakat yang punya kehidupan sendiri di luar mendukung tim sepakbola kesayangannya dan mereka merupakan bagian dari sebuah keluarga.
Jika ada suporter yang meninggal gara-gara tata kelola sepakbola Indonesia yang carut marut, pihak yang paling tersakiti dan kehilangan adalah keluarganya. Biasanya, pihak klub atau federasi hanya akan memberi penghormatan berupa memakai pita hitam, mengheningkan cipta, atau memberi santunan.
Korban meninggal Tragedi Kanjuruhan dan puluhan korban lain sepakbola Indonesia tentu mempunyai keluarga. Rasa-rasanya sulit diterima nalar ketika rentetan kematian itu tidak ditanggapi secara serius dan tidak ada pihak yang berani mengakui bahwa kematian itu adalah tanggung jawabnya dan pihak tersebut akan mengambil langkah yang perlu dilakukan untuk menyelesaikan masalah itu.
Persaingan suporter dalam sepakbola adalah keniscayaan. Pun dengan kericuhan pra dan pasca pertandingan merupakan hal yang bisa diantisipasi asal peraturannya ditegakkan. Maka dari itu, langkah antisipatif untuk mencegah terulangnya kematian suporter adalah hal wajib.
Ini merupakan lebaran pertama tanpa keluarga dekat bagi korban Tragedi Kanjuruhan. Ada orang tua yang kehilangan anaknya, ada anak kecil yang kehilangan orang tuanya. Ada nenek dan kakek yang merindukan anak dan cucunya. Ada kekasih yang merindukan sejolinya. Lebaran pertama tanpa orang tersayang pasti cukup berat, apalagi orang tersayang itu meninggal karena kelalaian yang penyelesaian kasusnya pun timpang.
Dalam Tragedi Kanjuruhan, misalnya, Polres Malang Kota melakukan aksi sujud untuk memohon ampunan kepada Tuhan serta meminta maaf kepada korban dan keluarganya. Tapi, apakah aksi sujud ini cukup untuk para korban?
Ketua Umum PSSI saat itu, Mochamad Iriawan atau Iwan Bule, juga meminta maaf. Tapi langkah maaf itu terasa hanya sebagai formalitas karena tidak disertai dengan langkah nyata yang berefek banyak dari segi moral maupun pengusutan tragedinya.
Bambang Sidiq Achmadi, salah satu terdakwa Tragedi Kanjuruhan, divonis bebas oleh hakim Pengadilan Negeri (PN) Surabaya. Bambang, yang sebenarnya memerintahkan anak buahnya untuk menembakkan gas air mata, divonis bebas lantaran hakim menilai gas air mata anak buah Bambang tertiup angin keluar stadion.
Sementara itu, pihak kepolisian bersikukuh bahwa gas air mata bukanlah penyebab utama kematian, melainkan karena para penonton berdesak-desakkan. Laporan Model B yang diajukan pihak keluarga korban pun ditolak oleh kepolisian.
Tragedi yang tidak diusut tuntas dan tidak adanya pihak yang mengaku bertanggung jawab menjadikan kematian dalam Tragedi Kanjuruhan dan kematian lain dalam sejarah sepakbola Indonesia menjadi sejarah belaka yang bisa terulang sewaktu-waktu.
Kita tentu saja tidak ingin ada nyawa yang melayang karena sepakbola, dan kita juga tidak ingin mendengar permintaan maaf dari pihak-pihak yang berkaitan dengan sepakbola atas hilangnya nyawa itu tanpa adanya kemauan untuk bertanggung jawab.
Komentar