Barcelona berhasil memastikan diri jadi juara Laliga musim 2022/23. Musim ini jadi musim yang berat bagi Barca karena dalam perjalanan menjadi juara, mereka diterpa banyak problem dan masalah. Namun nasib baik masih memihak Barca, sehingga mereka tidak sampai dua musim beruntun tanpa gelar.
Musim 2021/22 sangat mengecewakan bukan hanya karena berakhir tanpa gelar, tapi juga di musim itu Barca sangat kewalahan akibat krisis finansial yang melanda. Bahkan di musim yang sama, Barca harus merelakan bintang dan legenda mereka Lionel Messi untuk pergi dari klub. Namun mereka akhirnya mampu bertahan dan finis di peringkat dua.
Meski banyak masalah menerpa musim ini, skuad Barca asuhan Xavi mampu fokus dan bisa tampil baik. Mereka bahkan berhasil menjuarai Piala Super Spanyol mengalahkan Real Madrid dengan skor 3-1 pada (16/01/23) lalu. Di La Liga, mereka sepenuhnya menguasai liga dengan keunggulan dua digit poin dari pesaing terdekat mereka, Atletico Madrid di peringkat dua.
Namun penampilan mereka di liga tidak disertai penampilan yang baik pula di Liga Champions. Apesnya, Barca dua musim beruntun tersingkir di fase grup. Di dua musim itu mereka berada satu grup dengan Bayern Munchen yang sudah seperti mimpi buruk bagi Blaugrana. Mereka selalu berakhir di peringkat tiga yang, dengan sedikit penghiburan, bikin mereka setidaknya bisa berlaga di Liga Europa.
Parahnya, Barca bahkan dua kali pula tersingkir di kasta kedua Liga Eropa ini. Setelah musim 2021/22 mereka tersingkir dari Eintracht Frankfurt di babak perempat final, di musim ini mereka harus tersingkir dari Manchester United di babak playoff 16 besar.
Meski menjuarai La Liga, krisis ekonomi yang melanda dan penampilan buruk di Eropa dalam beberapa musim terakhir membuat para cules sedikit pesimis bahwa juara musim ini adalah tanda kembalinya kejayaan Los Blaugrana.
Baca Juga:DNA Eropa
Krisis Ekonomi dan Dugaan Pelanggaran
Hal yang mesti dicemaskan oleh barisan manajemen dan pendukung Barca adalah masalah Los Azulgrana musim ini yang sangat pelik dan masih belum tuntas. Ini adalah alasan bagaimana juara mereka musim ini sebenarnya bukanlah pertanda mereka sudah kembali pada masa kejayaan mereka.
Semua bermula dari pergantian presiden Barca dari Josep Maria Bartomeu ke Joan Laporta yang unggul telak pada pemilihan umum dari dua pesaingnya yaitu Victor Font dan Toni Freixa pada (07/04/21) lalu. Laporta yang sebelumnya pernah menjadi Presiden Barcelona pada tahun 2003-2010, akhirnya mengetahui segala kebobrokan manajemen.
Barca ternyata punya utang yang sangat besar. Neraca keuangan tidak stabil dari laporan Bartomeu yang Laporta baca. Laporta akhirnya menggelar konferensi pers pada Agustus 2021 guna memberikan pernyataan tentang apa yang sebenarnya terjadi di klub.
“Kebijakan gaji yang kami temukan dari dewan sebelumnya salah, itulah yang oleh para ahli disebut piramida terbalik, di mana para veteran memiliki kontrak panjang dan pemain muda memiliki kontrak pendek, dan itu membuat sangat sulit untuk menegosiasikan ulang kontrak," kata Laporta dilansir dari situs resmi Klub.
“Kami memiliki tagihan gaji yang mewakili 103% dari total pendapatan klub. Barcelona memiliki kekayaan bersih negatif €451 juta. Penggajian olahraga adalah €617 juta, antara 25% dan 30% lebih banyak dari pesaing kami," lanjutnya.
Barca sampai harus mengaktifkan economic lever atau tuas ekonomi demi mendapatkan dana segar di tengah krisis yang mereka alami. Dilansir dari Barca Universal, Barca juga pernah meminta pemain bersedia dipotong gajinya sampai 50%. Bahkan sepanjang musim panas musim 22/23 Barca mendapat julukan baru yaitu ‘Tarik Tuas FC’ dari penggemar.
Tentu saja ini adalah sebuah perjudian. Namun, paling tidak, akhirnya mereka bisa memulai musim baru dengan amunisi baru yang berhasil mereka daftarkan berkat beberapa aset pendapatan masa depan klub seperti hak siar yang akhirnya dijual dan mereka korbankan. Semua demi menambah kekuatan tim musim 22/23.
Tentu saja penjualan aset seperti hak siar tv akan berdampak pada pemasukan klub di kemudian hari. Barca melalui Laporta meyakini bahwa mengembalikan kekuatan utama tim untuk bersaing di liga dan Eropa merupakan hal yang paling utama karena hal itu sudah hilang dalam beberapa tahun terakhir.
“Sepak bola tidak menunggu siapapun,” kata Laporta tentang strategi transfer Barcelona dikutip dari The Athletic.
Setelah semua tuas ekonomi yang diaktifkan, keuangan Barca masih dalam keadaan kritis. Mereka masih harus melonggarkan ruang gaji untuk menghindari Financial Fair Play (FFP). Hal ini yang mungkin mengharuskan mereka memotong lagi gaji pemain dan menjual beberapa pemain berharganya musim depan.
Sebagai contoh, sebenarnya mereka bisa saja menjual Frenkie De Jong ke Man. United pada musim panas lalu. Tapi De Jong bersikukuh untuk tetap tinggal saat itu. Bahkan ia rela gajinya dipotong asal tidak pindah dari Barca. Padahal nilai jualnya yang tinggi bisa membantu krisis yang dialami Barca.
Barca Kehilangan Identitas Permainannya?
Dalam sepakbola, ada banyak cara untuk meraih kemenangan. Namun jika kemenangan tersebut didapat berkat permainan yang indah, hal itu tentu akan terasa lebih nikmat.
Jika bicara Barcelona, yang diingat pasti permainan menyerang yang indah ala tiki-taka yang berhasil menguasai Eropa, dan hal itu dibangun dengan waktu yang cukup lama dari zaman Johan Cruyff sampai Pep Guardiola. Hingga seterusnya, tiki-taka itulah yang menjadi trademark tim asal Katalan tersebut.
Di musim 22/23, Barca memang berhasil jadi juara La Liga dan tampil konsisten meraih kemenangan. Tapi dari segi permainan, banyak yang menganggap Barca asuhan Xavi kehilangan identitas dan tampil membosankan. Mengapa demikian?
Xavi yang datang pada tengah musim 21/22 biasa memakai formasi 4-3-3. Hal yang paling menonjol dari skuad asuhan Xavi adalah penguasaan bola di lini tengah. Terlebih ketika unggul lebih dulu atas musuhnya, Barca biasa bermain aman dengan menguasai bola di lini tengah. Dilansir dari whoscored, sebanyak 44% sentuhan terjadi di lini tengah, dengan 33% di depan dan 23% sentuhan di daerah sendiri.
Memenangkan pertarungan di lini tengah tak ubahnya seperti obsesi bagi Xavi. Dengan menguasai lini tengah, mereka berhasil mencapai tujuan mereka musim ini. Pedri yang bergabung dengan dua pivot De Jong dan Sergio Busquets serta ditambah Gavi yang juga berperan sebagai inverted winger berhasil menjalankan tugas mereka musim ini sekaligus turut memperkuat pertahanan Barca lewat penguasaan lini tengah yang baik.
Selain lini tengah, Barca musim 22/23 terkenal dengan pertahanannya yang kokoh, khususnya di La Liga dengan catatan 25 nirbobol sampai pekan ke 33 La Liga. Ter Stegen menjadi pemain paling bersinar musim ini. Ia adalah sosok yang paling membantu Barca dalam menjuarai liga. Tercatat hanya Stegen yang bermain penuh sepanjang musim ini berjalan.
Sedangkan dalam aspek menyerang, Xavi lebih mengandalkan sisi sayapnya untuk menciptakan peluang. Whoscored mencatat sebanyak 35% serangan Barca diciptakan dari sisi kanan, 37% dari sisi kiri dan hanya 28% dari tengah.
Baik dalam bertahan dan menguasai lini tengah malah bikin Barca lupa mencetak gol. Sampai pekan ke-33 La Liga berjalan, Barca hanya mampu mencetak 60 gol, walaupun hal ini tidak jauh berbeda dengan musim lalu saat Barca hanya mampu mencetak 68 gol dalam satu musim, tapi ini sangat kontras jika dibandingkan dengan musim saat Barca juara La Liga.
Dibandingkan dengan tiga musim terakhir saat mereka menjuarai La Liga, musim ini adalah jumlah gol paling sedikit, 90 gol (18/19), 99 gol (17/18), 112 gol (15/16). Sebenarnya hal ini tidak mengejutkan kalau mengingat dari 26 kemenangan Barca musim ini, 11 di antaranya adalah kemenangan tipis 1-0 atas lawannya. Barangkali dari sinilah Barca musim ini terlihat membosankan.
Meski mencatatkan rataan penguasaan bola tinggi sampai 64% per laga, kecenderungan mereka bermain-main di lini tengah dan minimnya kreativitas di sepertiga akhir, membuat Barca sedikit ciptakan peluang mencetak gol. Walaupun pada akhirnya kemenangan adalah hal yang utama, tapi permainan yang membosankan sepanjang musim akan mengurangi euforia kemenangan itu sendiri.
Xavi harus mengatasi masalah ini musim depan. Musim ini mungkin ia tidak akan menghadapi kecaman fans dan manajemen tentang permainannya karena mereka berhasil juara. Namun yang tetap harus diingat adalah sebenarnya, Barca bisa juara musim ini juga berkat penampilan rival mereka yang inkonsisten, terutama di liga.
Inkonsistensi Rival Barca di La Liga
Tak bisa dipungkiri bahwa Barcelona bisa menjuarai La Liga berkat performa rival mereka yaitu Atletico Madrid dan Real Madrid yang menurun dan sangat tidak konsisten. Sejak juara La Liga musim 2020/21, Atletico malah semakin menurun bersama Diego Simeone. Mereka hanya mampu bersaing untuk tiga besar di musim 21/22 dan 22/23. Tak jauh berbeda dengan Barcelona, Atletico juga tak bisa bicara banyak di Eropa musim ini, padahal jika dilihat dari segi kedalaman skuad, penampilan mereka seharusnya bisa jauh lebih baik dari saat ini.
Sedangkan Real, sebagai juara bertahan musim lalu, mereka seperti menunjukkan dua wajah yang berbeda di La Liga dan di Eropa. Jika di Eropa mereka bisa melangkah jauh sampai semifinal, tapi tidak di La Liga yang punya sistem liga dan menuntut konsistensi sepanjang musim. Mereka selalu terpeleset ketika mendapat kesempatan untuk memangkas poin dari Barca, hingga akhirnya mereka disalip Atletico di posisi dua klasemen La Liga musim ini.
Barangkali dari menurunnya performa dua rival terdekat inilah faktor yang juga turut membantu Barcelona menjuarai La Liga dan ini juga menunjukkan bahwa juara La Liga sebenarnya bukanlah tanda kebangkitan Barca. Terlebih musim depan mereka masih harus menghadapi krisis, FFP, dan juga harus memperbaiki permainan tim yang membosankan.
Komentar