Menanggapi kasus penunggakan gaji pesepakbola Indonesia yang masih umum terjadi, Erick Thohir selaku Ketua Umum PSSI mewacanakan regulasi baru, yaitu salary cup, demi menyelamatkan klub dari krisis finansial, yang rencananya dimulai pada musim 2024/2025.
"Salah satu terobosan yang direncanakan tahun depan akan ada penetapan standar gaji dan standar pengeluaran klub. Ini untuk menyamakan supaya klub bisa berkompetisi dengan baik," kata Erick via Tempo (15/06).
Akhir-akhir ini, liga Indonesia seperti mengarah kepada kiblat baru, dari Eropa menuju Amerika, yang sempat terlihat dari konsep marquee player pada tahun 2017 silam. Sekarang, sistem liga pun diubah dari sistem liga penuh menjadi championship series mengadaptasi konsep NBA yang punya sistem play-off series.
Championship series digunakan agar liga Indonesia bisa menarik ditonton sampai akhir, Dengan mekanisme ini, empat tim teratas akan diadu kembali dalam babak gugur yang digelar dengan sistem home-away game sampai menemukan juara tunggal. Tinggal bagaimana eksekusinya sampai akhir yang sama-sama harus dicermati.
Setelah marquee player dan championship series, kini regulasi baru, yaitu salary cap akan menyusul. Meskipun salary cap bukan barang baru, namun tetap perlu dipahami kembali konsep, cara kerja, dan keuntungan dari regulasi ini.
Konsep umum salary cap di olahraga Amerika dan mengapa salary cap bisa berhasil di kompetisi olahraga Amerika
Salary cap atau batasan gaji dikutip dari sport management degrees adalah aturan yang dituangkan dalam kontrak dan terikat secara hukum, yang membatasi jumlah penghasilan seorang karyawan. Dalam konteks sepakbola, para pemain profesional dapat memperoleh gaji hingga angka yang ditentukan, tetapi tidak lebih. Artinya ada batas atas nilai kontrak yang dapat diberikan sebuah klub.
Salary cap lebih lumrah diterapkan kompetisi olahraga di Amerika, yang umumnya menawarkan konsep persaingan yang lebih merata dalam satu kasta. Karena salary cap bisa memagari klub dari menghamburkan uang yang terlampau banyak. Namun perlu diingat, kompetisi olahraga di Amerika tidak mengaplikasikan sistem piramida atau degradasi dan promosi. Hal ini menyukseskan salary cap diterapkan di sana.
Lantas mengapa kompetisi yang punya sistem promosi-degradasi dinilai kurang cocok mengimplementasikan regulasi salary cap?
Umpamanya begini, batas bawah dan atas salary cup sudah ditentukan. Katakanlah ada tim Liga 2 yang promosi dengan budget di bawah standar salary cap yang ditetapkan (misalnya 20 miliar), dari mana kira-kira mereka mendapatkan uang sebanyak itu? Apakah mereka mau berkompetisi dengan tim-tim yang jauh lebih mapan di atasnya?
Pada akhirnya, tim tersebut hanya akan jadi tim yoyo (tim yang bolak-balik naik-turun kasta) seperti Norwich City di Liga Inggris yang dengan legowo bisa menerima nasibnya.
Namun berhadapan dengan Liga Indonesia, yang adalah liga terketat di dunia, permasalahan tim yoyo tidak bisa dianggap enteng. Sebagai satu-satunya sumber trofi kasta tertinggi sepakbola tanah air, maka 18 tim akan saling sikut memperjuangkan satu titel. Ditambah tekanan dari suporter, agaknya sulit menjadi klub yang hanya mondar-mandir tanpa status juara. Apakah akan ada manajemen klub yang senang hati hadir hanya untuk naik dan turun kasta? Apakah klub tersebut bisa aman dari serbuan para fansnya?
Dengan demikian, regulasi baru perlu mempertimbangkan segala aspek. Sebelum diterapkan secara permanen, perubahan aturan memang harus dikaji ulang dengan seksama, termasuk salary cap. Karena penerapannya akan lebih rumit dan tak semudah kelihatannya.
Keuntungan menggunakan salary cap
Mengesampingkan kecocokan regulasi ini dan hasil uji coba penerapannya di Indonesia, salary cap dinilai sebagai salah satu solusi dari permasalahan tunggakan gaji yang terus menerus hadir di sepak bola Indonesia.
Dilansir dari Tempo, Erick juga mengatakan bahwa regulasi salary cap ini akan diterapkan guna mencegah klub mengalami kebangkrutan. Ia tidak ingin ada klub yang jor-joran membeli dan menggaji tanpa batasan lalu bangkrut di tengah jalan.
Kasus ini pernah terjadi tidak sekali atau dua kali pada tim di Liga Indonesia. Contoh besarnya, tentu Sriwijaya di tahun 2018. Mereka membeli banyak bintang di awal liga, hingga akhirnya krisis finansial melanda dan bangkrut hingga terdegradasi ke Liga 2. Adanya salary cap tentu bisa mencegah hal ini terjadi berulang kali dengan mengendalikan batas pengeluaran yang dimiliki klub-klub liga.
Selain itu, salary cap bisa menyeimbangkan peta persaingan antarklub. Di tengah persaingan ketat liga Indonesia–karena semua tim ingin juara–salary cap hadir sebagai penyeimbang kekuatan antara tim-tim semenjana dengan tim yang punya tradisi mengisi papan atas selama era Liga 1, seperti Bali United, Persija, Persib, dan PSM Makassar.
Persaingan akan lebih sehat karena jumlah uang yang dikeluarkan relatif sama. Tinggal bagaimana tiap klub bisa mengatur pengeluaran yang sama itu untuk membentuk tim kuat yang bisa bersaing di tangga juara.
Terakhir, menggunakan salary cap bisa membantu klub mengkaji ulang masalah gaji pemain yang saat ini dinilai terlalu besar. Salary cap bisa membuat klub menegosiasikan kembali nilai kontrak yang sesuai tanpa takut sang pemain tergoda pindah ke klub lain yang menawarkan gaji lebih besar. Walau kemungkinan tersebut akan tetap ada, tapi batasan gaji yang sudah dipagari regulasi akan mengurangi kasus serupa.
Pemain-pemain yang berperan penting mungkin akan mendapat tawaran gaji yang meyakinkan. Begitu pun sebaliknya. Namun perlu digaris bawahi bahwa salary cap perlu menetapkan standar terendah pendapatan pemain, di samping standar tertingginya.
Hal ini senada dengan apa yang disampaikan CEO Asosiasi Pesepakbola Profesional Indonesia (APPI), Hardika Aji, kepada Panditfootball (11/12), bahwa salary cap harus membatasi gaji terendah seorang pemain, agar semua pesepakbola mendapatkan hak yang sesuai kontrak serta layak menghargai kinerja dan performa mereka.
Indonesia dapat mengadaptasi cara Major League Soccer (MLS) mengatur batas terendah gaji para pemain senior, selain memberikan batas tertinggi untuk para pemain.
Penerapan salary cap di sepak bola Indonesia
Sepak bola Indonesia sempat menggunakan salary cap pada Liga 1 2017. Saat itu, salary cap digunakan untuk menyiasati regulasi yang berkaitan dengan marquee player. Karena nilai kontrak marquee player tidak termasuk dengan salary cap yang ada saat itu (Rp15 miliar).
Penggunaan salary cap sebenarnya berjalan cukup baik, namun karena regulasi untuk marquee player dihapus, salary cap juga akhirnya dihapus. Ketua umum PSSI saat itu, Joko Driyono mengatakan bahwa setiap tim harus bisa bertahan sendiri, karena jika tidak mereka akan tertinggal.
"Industri ini berjalan dengan mekanisme pasar bebas. Jadi kalau tidak bisa bersaing pasti akan tertinggal. Ini juga terjadi di seluruh dunia," tutur Joko dikutip dari Tempo (20/01/18).
Bertentangan dengan Joko, pemerhati sepakbola sekaligus editor Jawa Pos, Ali Mahrus, mengatakan bahwa salary cap sebenarnya sangat dibutuhkan untuk sepak bola Indonesia saat ini. Hal ini berkaitan dengan masalah tunggakan gaji yang terus-menerus terjadi.
Namun, jika berkaca pada penggunaan salary cap di Liga 1 2017 lalu, tetap ada tim Liga 1 yang saat itu menunggak gaji dan mengalami krisis finansial, yaitu Gresik United (saat itu Persegres). Pertanyaannya, bagaimana Persegres bisa lolos verifikasi dan mengikuti kompetisi padahal mereka tidak siap dan mampu secara finansial? Hal ini harus dievaluasi untuk penerapan salary cap di kemudian hari.
Artinya, regulasi salary cap memang tidak serta merta menghilangkan kasus penunggakan gaji, namun paling tidak, ada sebuah tindakan dan solusi nyata dari federasi untuk menanggulangi masalah ini. Tinggal bagaimana PSSI dan PT. LIB bisa menggalakkan penegasan proses verifikasi sebelum liga dimulai.
Komentar