Setiap Benfica bermain di level Eropa, mereka sebenarnya sedang mencoba melawan kutukan Bela Guttmann.
Bela Guttmann lahir pada 27 Januari 1899 di Budapest, Austria-Hungaria (saat ini ibu kota Hungaria). Ia lahir dan besar sebagai Yahudi, yang sempat membuatnya dideportasi Nazi dan membuatnya nyaris menjadi korban Holokaus.
Kala menjadi pemain, Guttmann memang tak begitu terkenal. Saat mudanya Guttmann hanya bermain 4 kali bersama Tim Nasional Hungaria. Selain di kesebelasan Torekves SE dan MTK Hungaria, Guttman bermain di luar negara kelahirannya, namun tak sekali pun ia pernah bermain di kesebelasan ternama Eropa.
"Bagi sebagian besar orang [di Hungaria], ia tidak dikenali. Tentu saja penggemar sepakbola garis keras dan dalam komunitas sepakbola, dia dikenal. Tetapi dia tidak dihargai sebanyak yang dia layak dapatkan," kata Matyas Szeli, seorang jurnalis Nemzeti Sport.
Ia hanya memperkuat beberapa kesebelasan eksekutif Yahudi seperti Hakoah Wien (Austria), New York Hakoah, dan Hakoah All-Stars (Amerika Serikat).
Meski tak begitu tenar sebagai pemain, Guttmann adalah seorang pelatih yang genius dan karismatik. Terkadang ia juga eksentrik. Filosofi permainannya adalah menyerang. Selama 40 tahun kariernya sebagai pelatih, ia sampai pindah kesebelasan sebanyak 25 kali. Semua kesebelasan itu tersebar di 12 negara dari dua benua, dengan yang paling dikenang adalah Ujpest, AC Milan, Sao Paulo, Porto, Benfica, dan Penarol.
Ia tidak pernah bertahan lebih dari tiga musim di satu kesebelasan. "Musim ketiga itu fatal," kata Guttmann.
Di Milan ia bahkan dipecat pada musim kedua karena berseteru dengan pemilik kesebelasan. Padahal saat itu Milan berada di peringkat pertama klasemen sementara. "Aku telah dipecat meski aku bukan kriminal ataupun homoseksual. Selamat tinggal," kata Guttmann pada konferensi pers terakhirnya.
Sejak itu ia memasukkan klausul pada kontraknya yang berisi jika kesebelasan tak bisa memecatnya jika kesebelasan sedang berada di puncak klasemen. Sangat percaya diri sekaligus eksentrik.
Juara Eropa 1961 dan 1962
Dari sekian banyak kesebelasan yang dilatihnya. Benfica adalah yang paling berkesan. Benfica dibawanya menjadi Raja Eropa dua kali berturut-turut, tahun 1961 dan 1962.
Tidak main-main, kesebelasan yang dikalahkan Benfica pada final Piala Eropa (sekarang Liga Champions) itu adalah dua raksasa Spanyol. Barcelona pada 1961 dan Real Madrid pada 1962.
Lebih-lebih pada final 1962, Benfica tampil begitu beringas. Mereka menggasak Real Madrid di partai final dengan skor 5-3. Padahal pada musim itu, Los Blancos diisi oleh banyak pemain bintang, macam Ferenc Puskas dan Alfredo Di Stefano.
Puskas bahkan berhasil mencetak trigol pada final tersebut. "Aku tak pernah keberatan jika lawan mencetak gol karena aku selalu percaya jika kami bisa mencetak lebih banyak gol," kata Guttmann, dikutip dari These Football Times. Kata-katanya itu menunjukkan filosofi permainan menyerangnya. Benfica sempat tertinggal 0-2 dan 2-3.
Baca selengkapnya: Hat-tick Puskas yang Sia-sia
Tak ada yang menyangkal kegemilangan Benfica di awal tahun 60-an itu. Bersama Eusebio, Jose Aguas, Jose Augusto, Costa Pereira, Antonio Simoes, Germano, dan Mario Coluna, Guttmann telah mengubah Benfica yang berisi pemain lokal menjadi kekuatan baru di Eropa kala itu. Namun kegemilangan itu tercoreng lantaran sang pelatih kemudian mengutuk kesebelasan asal Lisbon tersebut.
Setelah pulang dari Amsterdam, kota final European Cup 1962, Guttmann mengadakan pertemuan dengan presiden baru Benfica, Antonio Carlos Cabral Fezas Vital. Dalam pertemuan itu, Guttmann mengajukan proposal kenaikan gaji pada sang presiden kesebelasan.
Namun karena permintaan sang pelatih dirasa tak rasional oleh presiden kesebelasan, permintaan Guttmann ditolak mentah-mentah. Guttmann pun merasa tersinggung dengan keputusan Vital itu. Pelatih asal Hungaria itu merasa bahwa kenaikan gaji yang ia minta sebenarnya tidak seberapa jika dibandingkan dengan prestasi Benfica selama diasuhnya.
Lantaran permintaannya tak ditanggapi oleh manajemen kesebelasan, Guttmann pun lantas pergi meninggalkan Benfica. Tak hanya pergi dan mengundurkan diri sebagai pelatih, Guttmann juga mengutuk Benfica. "Tidak dalam seratus tahun dari sekarang, Benfica akan menjadi juara Eropa," begitu bunyi kutukan Bela Guttmann.
"Mata Duitan"
Selain prestasi dan kepercayaan diri yang tinggi, ada alasan lain kenapa Guttmann meminta kenaikan gaji. Selama menjadi pemain dan pelatih, Guttmann dikenal sebagai sosok yang "mata duitan".
Seperti yang disebutkan di awal artikel ini, ia memiliki hubungan yang buruk dengan tanah kelahirannya (Hungaria). Dalam lebih dari setengah abad di sepakbola profesional, ia hanya menghabiskan lima musim di Hungaria. Ia memang punya masalah dengan lingkungan politik Hungaria, tapi hal lain yang membuatnya tak betah juga adalah kondisi ekonomi.
Uang adalah hal yang penting baginya, dan itu mengarahkan perjalanan kariernya sampai taraf tertentu. Ia pernah hampir membuat FC Enschede bangkrut karena menegosiasikan bonus yang sangat tinggi ke dalam perpanjangan kontraknya untuk memenangkan liga. Ia juga pindah dari Porto ke Benficaâyang mana adalah rivalâkarena ditawari gaji yang lebih tinggi.
Meski begitu saat ia bernegosiasi dengan Ciocanul (sekarang Maccabi Bucuresti) di Rumania, ia minta dibayar dengan sayur-sayuran, bukan uang; karena saat itu sedang krisis pangan.
Melihat kelakuan dan kepercayaan diri Guttmann, tak heran ia kemudian meminta kenaikan gaji setelah menjadi juara Eropa bersama Benfica. Apalagi Benfica juga memiliki pemain-pemain berkelas seperti Eusebio dan Jose Aguas.
Kepercayaan diri Guttmann juga ditangkap senada oleh Vital sebagai pemilik kesebelasan. Maka ketika mendengar kutukan Guttmann itu, Vital justru tambah percaya diri. Menurutnya, Benfica tetap akan berprestasi di kancah Eropa meski Guttmann tak lagi duduk di kursi pelatih.
Upaya-upaya Benfica Menepis Kutukan
Setelah ditinggal Guttmann, Benfica tetap bisa menembus partai final European Cup. Tahun itu, mereka bertemu dengan AC Milan di Wembley. Benfica memang kalah tipis, 2-1, atas wakil Italia itu, namun publik belum percaya bahwa kekalahan itu merupakan buah kutukan Guttmann.
Baca juga: 1963 Ketika AC Milan Juara Liga Champions untuk Pertama Kalinya
Pun dua tahun berikutnya. Benfica kembali bisa mencapai partai final European Cup. Pada final 1965, Benfica bertemu dengan Internazionale Milan asuhan Hellenio Herrera. Benfica memang kembali menelan kekalahan, namun pendukung Benfica belum terlalu menyangkutpautkan kekalahan di final Piala Eropa itu dengan kutukan Guttmann.
Publik menganggap bahwa kekalahan Benfica atas Inter semata karena kesalahan taktik yang dipilih oleh Elek Schwartz. Pada pertandingan itu, Schwartz dianggap terlalu kaku dalam memainkan pola 4-2-4, sehingga tak mampu menembus catenaccio Inter yang digalang Giacinto Facchetti dkk.
Namun lambat laun publik sadar bahwa kutukan pelatih legendaris mereka sedang bekerja. Meski pada tahun 1968, 1988, dan 1990 Benfica berhasil tampil sebagai finalis, mereka kembali gagal membawa pulang trofi Telinga Besar ke Estadio da Luz karena dikalahkan olehâberturut-turutâManchester United, PSV Eindhoven, dan Milan.
Begitu juga di kompetisi UEFA Cup (Liga Europa). Meski berhasil sampai ke partai final 1983, mereka kembali gagal mengangkat trofi.
Kasus yang paling baru adalah final Liga Europa 2013. Di Kota Amsterdam, anak-anak Os Encarnados tertunduk layu, lantaran Chelsea mengalahkan mereka lewat gol Branislav Ivanovic di penghujung laga.
Pada 2014, Benfica kembali berlaga di final Europa League menghadapi Sevilla. Lagi-lagi Benfica gagal; Sevilla-lah yang berhasil meraih gelar juara. Benfica mungkin memang harus menelan kutukan Guttmann dengan pahit, 100 tahun kesunyian tanpa trofi di Eropa.
Menemukan Kesunyian di Wina
Tidak banyak pelatih yang memiliki dampak di banyak negara seperti yang pernah Bela Guttmann lakukan. Sulit untuk membayangkan apa yang membuat Guttmann merasakan kedamaian. Bagi sebagian orang, kesunyian mencerminkan kedamaian. Meski (100 tahun) kesunyian tidak berarti kedamaian bagi Benfica yang telah dikutuk olehnya.
Hardy Gruene mungkin telah mendapatkan jawaban ketika dia menulis bahwa "dia akan sering duduk di Sao Paulo, New York, atau Lisbon dan bermimpi untuk menikmati Melange di kafe Wina dan mengobrol dengan teman-temannya tentang sepakbola."
Di masa hidupnya, ia berkelana ke seluruh duniaâtepatnya 12 negara yang tersebar di dua benuaâtanpa pernah menetap. Reputasinya sangat berbeda di tanah kelahirannya. Namun ketika ia pensiun, ia akhirnya menemukan kedamaian di Wina, di mana ia meninggal pada 28 Agustus 1981.
Suka atau tidak suka, salah satu peninggalan Bela Guttmann adalah kesunyian pada kutukannya kepada Sport Lisboa e Benfica. Pertanyaannya: Apakah kutukan dan tulisan ini akan terus relevan sampai tahun 2062?
(dex)
Komentar