Sepakbola Indonesia kembali berduka. Kali ini penyerang Persiraja Banda Aceh Akli Fairuz meninggal dunia pada Jumat (16/5) siang. Akli yang mengalami cedera saat pertandingan menghadapi PSAP Sigli menghembuskan nafas terakhirnya di ruang gawat darurat RSU Zainal Abidin.
Pria pendiam ini mengalami luka serius pada perut bagian bawah saat  bertabrakan dengan kiper PSAP Sigli dalam lanjutan Divisi Utama Liga Indonesia. Ketika terjadi kemelut di kotak pinalti kiper PSAP Agus Rohman tidak mampu menjangkau bola. Lantas, ia menggunakan kakinya. Naas bagi Akli, kakin sang kiper ternyata  mengenai perut bagian bawah Akli.
Akibat hantaman keras tersebut, Akli pun mengerang kesakitan di dekat tiang gawang. Ia lantas dibawa ke RSU Zainal Abidin untuk mendapatkan perawatan. Namun setelah dirawat selama sepekan dan beberapa kali mengalamai fase kritis, Akli pun menghembuskan nafas terakhirnya.
Sebelum bergabung dengan Persiraja, Akli merupakan mahasiswa Jurusan Olahraga Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Syiah Kuala. Ia dikenal sebagai pemain yang pendiam dan tidak suka membuat masalah.
Ini merupakan kali kedua dalam lima tahun terakhir, pemain sepakbola Indonesia meninggal karena benturan dengan sesama pemain. Sebelumnya, pada 2009 pemain PKT Bontang Jumadi Abdi mengalami cedera serius ketika kaki pemain Persela Lamongan Deny Tarkas menghantam perutnya. Setelah seminggu dirawat, Jumadi akhirnya meninggal dunia pada 15 Mei 2009.
Doktrin âbola boleh lewat, tapi lawan janganâ sudah seharusnya dihilangkan dari pikiran para pemain. Ketika berstatus sebagai pemain profesional, sepakbola adalah ladang untuk mencari uang. Seperti halnya cabang olahraga yang memperhitungkan fisik, ada batasan tertentu dalam karir olahraga. Paling menonjol adalah usia dan faktor lainnya adalah cedera.
Dua insiden terakhir memperlihatkan adanya upaya mendapatkan bola dengan cara apapun. Salah satunya dengan menghajar bola yang masih dalam keadaan 50-50. Ketika ancaman akan benturan di depan mata, pemain malah semakin ngotot untuk merebut bola. Sialnya, dalam dua kejadian tersebut bukan bola yang berhasil direbut, tapi perut pemain lawan.
Jika setiap pemain memiliki profesionalisme dan kode etik, kejadian seperti ini semestinya bisa dihindari.
[fva]
Komentar