Semua orang tahu siapa Che Guevara. Tapi tidak banyak yang tahu kalau pemimpin revolusi ini sangat menggemari sepakbola.
Lelaki kelahiran Rorsario, kota yang juga jadi tempat kelahiran Lionel Messi, ini memang tahu betul bagaimana sepakbola mengurat-akar di nadi orang-orang Amerika Latin. Che mengetahui hal itu bukan semata karena dia orang Argentina. Dia tahu betul hal itu karena dia pernah berkeliling ke seantero Amerika Latin.
Saat menjadi mahasiswa kedokteran di Universitas Buenos Aires, Che memutuskan untuk mengelilingi Amerika Latin dengan mengendarai sepeda motor. Pada periode 1950-1951, dia menempuh perjalanan tak kurang dari 12.500 km. Perjalannnya terbagi ke dalam 2 fase. Fase pertama yang dilakukan pada 1950 dia menempuh 8 ribu km seorang diri. Pada 1951 dia menempuh jarak 4500 km bersama karibnya, Alberto Granada.
Pejuang yang jadi salah satu tokoh kunci revolusi Kuba ini mengunduh banyak pengalaman penting dari perjalanannya itu. Che sangat tergetar hatinya saat melihat tempat pengasingan (koloni) para penderita lepra di Peru. Di sana, dia bukan hanya merayakan ulang tahunnya yang ke-24, tapi juga mengunduh makna terdalam solidaritas umat manusia. Dari pengalamannya itulah dia menulis: "Bentuk tertinggi dari solidaritas dan loyalitas kemanusiaan muncul di antara orang-orang yang kesepian dan putus asa."
Pengalaman lainnya adalah sepakbola. Selama perjalanan panjangnya itu, Che sangat terbantu oleh sepakbola. Di mana pun dia singgah, sepakbola selalu menjadi cara komunikasi yang paling efektif. Di banyak tempat, Che bahkan menyempatkan diri bermain bola dengan rakyat setempat.
Di Peru, Che dan Alberto Granada mendapatkan makanan, penginapan dan transportasi gratis gara-gara Che harus kembali ke Iqique, kota pelabuhan di utara Chile, untuk keperluan mendesak: melatih kesebelasan kuli jalanan yang akan bersiap menghadapi sebuah pertandingan penting.
Di Peru, Che sempat bermain bola di sesela reruntuhan bangunan hebat Machu Pichu peninggalan bangsa Inca. Masih di Peru, saat mengunjungi koloni para pengidap lepra, Che menginisiasi pertandingan sepakbola antara para penderita lepra melawan non-penderita lepra.
Pada 6 Juli 1952, saat tiba di Bogota, Che nekat membeli tiket termurah pertandingan Real Madrid melawan Millinarios. Saat itu, Millinarios sedang diperkuat superstar Alfredo di Stafeno, pemain yang sama-sama seperti Che lahir di Argentina.
Di Kolombia, Che juga banyak menghabiskan waktu dengan bermain bola. Tepatnya di Leticia, sebuah kota Kolombia yang terletak di tepi sungai Amazon, Che bukan hanya bermain bola, tapi bahkan sempat melatih sebuah kesebelasan di Leticia.
Dengan berbagai cara, perjalanannya keliling Amerika Latin itu mengajarkannya pada banyak hal, termasuk pentingnya sepakbola dalam menjembatani dan memahami jiwa rakyat Amerika Latin. "Selama perjalanan kami menggunakan sepakbola sebagai jembatan komunikasi dengan rakyat," ujar Alberto Granada, karib yang menemani fase kedua perjalanan Che itu.
Pejuang revolusi yang akhirnya tewas ditembak mati di Bolivia pada 1966 ini memang orang yang sangat mencintai sepakbola. Sejak kecil dia biasa bermain bola dengan rekan-rekannya. Di masa mudanya itu, Che lebih sering bermain sebagai penjaga gawang karena sejak kecil dia mengidap penyakit asma yang akut.
Dalam hal ini, Che mirip Albert Camus, filsuf, sastrawan dan aktivis Prancis, yang sangat menyukai sepakbola dan bermain sebagai kiper. Bedanya, jika Che jadi kiper karena mengidap asma, maka Camus memilih jadi kiper karena posisi itulah yang membuatnya jarang bergerak sehingga sepatunya bisa awet lebih lama. Saking miskinnya, Camus bisa dihukum neneknya jika ketahuan main bola karena itu akan membuat sepatunya cepat rusak. Terpaksa Camus memilih jadi kiper dan kadangkala membungkus sepatunya dengan plastik agar lebih awet. Setelah dewasa, Camus malah akhirnya benar-benar mengidap asma. Di sini, akhirnya, Camus dan Che senasib dan sepenanggungan.
Kecintaannya pada sepakbola sama sekali tidak menurun walau pun dia sudah tidak lagi jadi mahasiswa. Setelah berhasil melakukan revolusi di Kuba dengan menumbangkan junta militer Fulgencio Batista, Che ditunjuk oleh kamerad-nya, Fidel Castro, menjadi Menteri Perindustrian. Dan walau sudah sibuk menjadi menteri dalam kabinet revolusi, Che tetap menyempatkan diri bermain atau setidaknya menonton pertandingan sepakbola.
Pada 1963, Madureira Esporte Clube, klub sepakbola dari kota Rio de Janeiro (Brazil), melakukan lawatan ke Kuba. Di Kuba, Madureira melakukan 5 pertandingan yang semuanya mereka menangkan. Dalam pertandingan terakhir Madureira di Havana, pada 18 Mei 1963, Che Guevara menyempatkan diri menonton pertandingan yang berakhir dengan skor 2-3 untuk tim tamu. Setelah pertandingan selesai, Che menyempatkan diri mengucapkan selamat pada Madureira dan berfoto bersama dengan para pemainnya.
Beberapa bulan lalu, Madureira yang kini bermain di Divisi III memutuskan untuk memasang foto Che Guevara di jersey mereka. Foto jepretan Alberto Korda yang sangat ikonik itu berhasil mendongkrak penjualan jersey. Dari yang biasanya hanya laku 10 buah per bulan, seketika itu permintaan jersey melonjak sampai 3000 per bulan.
Timbunan fragmen sepakbola dalam riwayatnya itulah yang membuatnya percaya bahwa sepakbola tak sekadar sebuah permainan belaka. Sepakbola, ujar Che, "adalah senjatanya revolusi."
Jika orang lain yang mengatakan ini, sekali pun itu Maradona, mungkin orang tetap akan menganggapnya berlebihan. Tapi jika Che yang bicara, setidaknya, orang akan menyimaknya lebih dulu.
Zen RS
Komentar