Rantis adalah kendaraan taktis, mobil ini bukanlah kendaraan yang dipergunakan untuk warga sipil. Ia digunakan, untuk kondisi peperangan, di mana baku tembak, hingga ledakan bom terjadi setiap hari. Rantis jadi alat transportasi sehari-hari di daerah konflik, terlindung dari ketebalan baja dari 1 cm hingga 10 cm membuat orang didalamnya akan merasa aman dari terjangan peluru lawan. Lantas, disimpulkan rantis adalah juru selamat.
Sejarah Singkat Rantis di Indonesia
Pada 1908 Pemerintah Kolonial Belanda mendirikan sebuah bengkel peralatan militer di Surabaya dengan nama Artillerie Constructie Winkel (ACW). Lalu, pada 1923, pabriknya dipindahkan ke Bandung di sekitar Jalan Kiaracondong saat ini.
Setelah merdeka, TNI Angkatan Darat mengelola bengkel ini sehingga berubah nama menjadi Perindustrian Angkatan Darat (Pindad). Pada 2003 pengelolaanya berada langsung di bawah pembinaan Kementrian BUMN. Ia berubah status hukum menjadi PT Pindad (Persero).
Selain memproduksi senapan, PT Pindad juga membuat kendaraan militer, khususnya rantis. Kendaraan ini umumnya digunakan di medan perang untuk mengangkut personel tentara ke lokasi yang akan dituju. Rantis memiliki fleksibilitas yang jauh lebih lebih tinggi ketimbang tank baja, terutama dalam hal kecepatan. Rantis juga didesain untuk tahan peluru dan granat.
Pada 2006, PT Pindad mengembangkan varian ketiga rantis yang diberi nama "Anoa". Rantis ini selesai diproduksi pada 2009 dan diserahterimakan kepada Kementrian Pertahanan. Rantis selanjutnya bernama "Komodo" yang diproduksi pada 2012. Berbeda dengan Anoa, Rantis ini hanya dilengkapi dengan empat ban dan terlihat lebih ramah ketika berpapasan dengan mobil sipil di jalanan.
Rantis yang Berubah Fungsi
Tujuan utama pembuatan rantis adalah mengangkut tentara di medan perang. Adanya ancaman penyerbuan dari pihak lawan, membuat rantis ini mutlak diperlukan. Dengan dinding yang dilapisi baja, rantis dapat melindungi tentara dari tembakan senjata ringan maupun pecahan dari ledakan bom.
Indonesia mengirimkan rantis Anoa, misalnya, untuk misi perdamaian PBB di Lebanon. Rantis dapat digunakan untuk menerjang sungai, padang pasir, dan pegunungan yang berbatu.
Rantis juga memiliki dua varian: sipil dan combat. Jika tujuannya hanya mengangkut personel di tempat aman, rantis yang digunakan adalah rantis sipil yang tidak mungkin dipasangi battering ram, senapan mesin, maupun peluncur roket.
Masyarakat tentu akan lebih populer dengan versi sipil ketimbang versi combat. Selain kerap hilir mudik di jalanan, ada fenomena menarik yang hadir di negeri tercinta ini: rantis masuk stadion sepakbola!
Pertandingan sepakbola acap kali dihiasi oleh keributan dan perselisihan, baik di dalam, maupun di luar lapangan. Besarnya rivalitas antar klub, memperbesar kemungkinan terjadinya perselisihan antar suporter.
Sebelum dan sesudah pertandingan, suporter kerap memberikan intimidasi kepada klub lawannya (psy war). Mulai dari melemparkan ejekan, membuat ribut di pelataran penginapan klub lawan, hingga pemberian ancaman pembunuhan. Intimidasi ini masih dianggap wajar karena tujuan utamanya adalah memberikan gangguan terhadap mental pemain lawan.
Hal yang paling buruk dilakukan suporter adalah intimidasi yang menggunakan kekerasan fisik. Contohnya, melempar bis yang mengangkut pemain lawan, memukuli pemain lawan dan segala jenis bentuk kekerasan lainnya.
Intimidasi ini bisa sangat memuncak jika yang bertanding adalah dua klub yang memiliki suporter yang berselisih. Emosi para pendukung seketika meluap ketika sudah melihat pemain lawan di hadapannya. Entah emosi karena apa, tapi sumpah serapah yang keluar dari mulut masih belum dapat mengentaskan seluruh emosi para pendukung.
Untungnya, mayoritas stadion di Indonesia memiliki lintasan lari yang mengelilingi lapang. Ini menghasilkan adanya jarak sekitar 15 meter dari tribun penonton ke lapangan. Sehingga, adanya serangan dari penonton ke lapangan dapat dihindari.
Masalah yang perlu dientaskan adalah transportasi klub lawan ke stadion. Ada kalanya ketika menonton pertandingan di stadion, suporter tidak langsung masuk ke tribun. Mereka kerap nongkrong di sekitar stadion. Alasannya bermacam-macam ada yang menunggu hingga bis kebanggaannya datang, mencari tempat untuk makan siang, hingga menunggu pintu tribun jebol. Maklum, beberapa suporter biasanya datang ke stadion tanpa dilengkapi tiket.
Kondisi ini yang membuat area stadion menjadi terlihat lebih padat di hari pertandingan. Dampaknya adalah bis klub lawan harus berpapasan dengan kerumunan suporter di sekitar stadion. Hal inilah yang kemudian menimbulkan resiko adanya intimidasi kekerasan.
Pakar Sosiolog Prancis, Gustav Le Bon, membagi faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kerumunan. Salah satunya yaitu suggestibility. Kerumunan biasanya tidak berstruktur, tidak dikenal adanya pemimpin yang mapan atau pola perilaku yang dapat dipanuti oleh para anggota kerumunan, sehingga orang berprilaku tidak kritis dan menerima saran begitu saja, terutama jika saran itu meyakinkan dan otoritatif.
Jika dalam kerumunan tersebut ada yang meneriaki ÃâLempar!Ãâ atau ÃâBakar!Ãâ, tentu akan sulit membayangkan bagaimana nasib seluruh pemain dan staf klub di dalam bis yang mengangkut mereka.
Ketika bis Persib, pada 2013, dilempari batu bahkan hampir diledakkan oleh bom molotov, penggunaan rantis sebagai alat transportasi alternatif menjadi penting untuk menghalau serangan suporter lawan. Ini juga dilakukan untuk menjaga keselamatan sang pemain itu sendiri.
Untuk menghindari serangan lanjutan, kini klub yang akan bertandang ke markas lawan yang memiliki sejarah perselisihan dengan suporternya, akan meminta jaminan keamanan. Bentuknya bisa berupa tambahan personel kepolisian dan penggunaan rantis sebagai transportasi menuju stadion.
Lambat laun, seiring dengan damainya negeri ini, rantis pun berubah fungsi. Pada 2001, TNI kesulitan untuk menyebarkan tentaranya saat konflik di Aceh. Mereka kebingungan karena tidak ada alat transportasi yang aman. Ide ini kemudian dipenuhi oleh PT Pindad yang memproduksi rantis untuk TNI maupun Kepolisisan.
Namun, lain dulu lain sekarang. Perang dalam artian sesungguhnya kini berpindah ke lapangan bola. Rantis kini digunakan sebagai alat transportasi untuk mengangkut pemain sepakbola dari hotel ke stadion, begitupun sebaliknya. Perubahan fungsi rantis menjadi pembawa pemain sepakbola adalah hal yang menggelikan. Di masa kini, sepakbola telah bertransformasi sedemikian rupa dan menjadikan stadion sebagai medan perang. Intimidasi dengan kekerasan bukanlah bagian dari hiburan. Ia adalah ancaman yang sudah seharusnya ditinggalkan.
Sejak awal dekade 1990-an pengunaan rantis memang sudah lazim di pakai dalam sepakbola, adalah Polda Metro Jaya yang memulainya saat mengangkut pemain-pemain bola saat babak delapan besar perserikatan di Senayan. Masa kini, rantis jadi makanan sehari-hari pemain bola kita. Pemain Persija Jakarta, Persib Bandung, Persebaya Surabaya dan Arema Malang kerap memakai rantis. Ya itulah sepakbola kita, perang memang kosakata yang selalu melekat, entah itu saling gontok-gontokan pada orang tertinggi PSSI maupu kalangan suporter.
Tulisan ini ditutup dengan kutipan apa yang diutarakan ketua Komdis PSSI, Hinca Panjaitan "Masak bermain bola kayak di medan perang," ketusnya.
"ya begitulah pak ya wong diatasnya juga ngajarinnya seperti itu!" mungkin itu jawaban timpal suporter sepakbola negeri ini.
Sumber Gambar: hediskinz.blogspot.com
Grafis: Lukman
[fva]
Komentar