Kekalahan Indonesia dari Singapura di luar dugaan Bima Sakti, selaku pelatih Timnas Indonesia. Tapi bagi pelatih Singapura, Fandi Ahmad, kemenangan atas Indonesia merupakan buah dari kejelian taktik yang ia terapkan pada Jumat (9/11) malam tersebut. Singapura menjalani laga perdana Piala AFF 2018 dengan berbekal kelebihan dan kekurangan Timnas Indonesia.
"Sebenarnya kami tahu kekuatan Indonesia dari analisa 4 sampai 5 video pertandingan. Kekuatan mereka kami dapat di sana," kata Fandi dalam konferensi pers usai laga. "Kami tutup rapat pertahanan. Tak ada ruang untuk Febri dan Irfan. Mereka itu bahaya. Kecepatan mereka luar biasa."
Bima Sakti, sementara itu, tak berkomentar aspek taktis atas kekalahan malam tadi. Ia tak siap dengan skema yang diturunkan oleh Fandi Ahmad. "Ya, mereka bermain lebih agresif dan sangat semangat. Mereka punya organisasi bagus, transisi, membuat masalah bagi kami," tutur Bima.
Dari dua pernyataan usai laga di atas, sedikitnya dapat dipahami mengapa Indonesia kalah. Singapura berhasil membaca permainan Indonesia dan menerapkan anti taktik yang tepat, di sisi lain Indonesia yang tak siap dengan strategi Singapura tidak menemukan solusi untuk keluar dari tekanan.
***
Merujuk apa yang dikatakan Fandi Ahmad, tampaknya dia berusaha membuat Indonesia tidak bisa memainkan skema yang disiapkan Bima Sakti. Bima, yang sebelumnya sudah menjadi asisten Luis Milla sejak 2017, menurunkan susunan pemain yang tak jauh berbeda dengan skuat Asian Games 2018.
Dibanding dengan susunan pemain Indonesia saat melawan Uni Emirat Arab di babak perempat final Asian Games 2018, hanya ada satu perbedaan: Andy Setyo yang tidak dibawa digantikan Ricky Fajrin, sementara pos bek kiri yang waktu itu ditempati Rezaldi Hehanusa diisi Rizky Rizaldi Pora. Saat melawan Hong Kong pada partai terakhir fase grup, perbedaan skuat ini hanya ada di posisi bek kiri (Rezaldi tidak bawa karena cedera).
Bagi Fandi, yang mengakui sudah menganalisis video pertandingan Indonesia, boleh jadi susunan pemain yang diturunkan Bima Sakti menjadi sebuah keuntungan. Ia agaknya sudah bisa memprediksi Indonesia akan bermain seperti apa dengan susunan pemain tersebut. Di lapangan, karenanya, tak heran Singapura lebih memegang kendali permainan.
Memegang kendali permainan di sini tidak berbicara soal penguasaan bola. Singapura hanya menguasai 38% penguasaan bola. Tapi meski Indonesia lebih sering menguasai bola, Indonesia tak bisa leluasa menyerang. Transisi dari menyerang ke bertahan Singapura menjadi cara Singapura mengendalikan Indonesia.
Dalam pola 4-2-3-1 yang digunakan Bima, jika bola berada di kaki Andritany Ardhyasa untuk memulai permainan, Singapura memfokuskan lini pertahanan di wilayah permainannya sendiri. Lewat pola dasar 4-4-1-1, hanya dua pemain terdepan yang melakukan pressing agar pemain belakang Indonesia tidak terlalu nyaman menguasai bola, sisanya menjaga area kosong di lini pertahan. Hal itu tampaknya dilakukan untuk meminimalisasi celah antara barisan pertahanan terakhir Singapura dengan kiper. Fandi memang mewaspadai betul kecepatan kedua sayap Indonesia, yang kali ini kembali menurunkan Irfan Jaya dan Febri Hariyadi.
Tapi berbeda ketika Singapura kehilangan bola di area pertahanan Indonesia, para pemainnya bakal langsung melancarkan pressing agresif. Mereka tak akan membiarkan pemain Indonesia menguasai bola dengan leluasa. Mereka tak ragu untuk menjegal para pemain Indonesia agar momentum serangan balik Indonesia bisa dinetralisasi. Tujuan awalnya menekan para gelandang tengah yang menguasai bola, tujuan akhirnya sama: agar Irfan dan Febri tak mendapatkan peluang dari serangan balik.
Tekanan yang agresif pada pemain tengah Indonesia, khususnya Evan Dimas dan Zulfiandi, terbukti berhasil membuat skema menyerang Indonesia gagal. Fandi tak mau Evan Dimas atau gelandang tengah Indonesia lainnya melepaskan umpan vertikal dengan bebas seperti di bawah ini, yang sial bagi Indonesia Singapura jarang melakukan kesalahan pressing seperti ini.
Indonesia memang bertumpu pada kedua sayap. Bahkan Beto Goncalves tidak banyak terlibat pada laga ini. Penyerang sayap kiri, entah itu Febri atau Riko di babak kedua, akan menjadi penyelesai akhir, sementara penyerang sayap kanan, entah itu Irfan Jaya atau Febri pada babak kedua, lebih difungsikan sebagai pengirim umpan silang.
Indonesia pada akhirnya tidak banyak menyerang karena Fandi mengetahui hal itu dan memilih pressing agresif saat kehilangan bola. Tercatat Singapura melakukan 24 pelanggaran pada laga ini. Indonesia sebenarnya melakukan 17 kali pelanggaran, tapi mayoritas dilakukan menjelang akhir-akhir laga ketika emosi para pemainnya mulai terpancing. Ketika Singapura menjadikan pelanggaran sebagai bagian dari taktik, Indonesia banyak melanggar karena ketidakmampuannya entah itu dalam menghalau serangan ataupun menguasai bola, juga menjaga emosi. Puncaknya Putu Gede mendapatkan kartu merah setelah mengoleksi dua kartu kuning.
Sebenarnya Singapura dalam attacking build-up lebih sering menggunakan umpan panjang. Karena itulah penguasaan bola mereka pun tak sebanyak penguasaan bola Indonesia yang memang bisa berlama-lama di lini belakang sebelum mengirimkan umpan ke lini pertahanan Singapura.
Walau begitu, transisi lagi-lagi menjadi kunci keberhasilan Singapura. Jika transisi menyerang ke bertahan berhasil menutup setiap celah di lini pertahanan, transisi bertahan ke menyerang berhasil melahirkan gol Hariss Harun. Gol Hariss yang tercipta pada menit ke-37 diawali dari serangan Indonesia yang terputus, yang disambung dengan serangan balik cepat, memanfaatkan lini pertahanan Indonesia yang belum pada bentuk pertahanan terbaiknya.
Sebelum gol tercipta, Indonesia hendak menyerang melalui Evan Dimas dan Febri Hariyadi. Keduanya sudah mencapai middle third atau area lapangan tengah. Namun ketika bola diberikan pada Rizky Pora, bola terkirim ke pemain Singapura. Berbanding terbalik dengan transisi menyerang ke bertahan Singapura yang agresif dalam menekan, pemain Indonesia lebih memilih sabar dalam merebut bola, bahkan dalam kembali ke posisinya masing-masing.
Hasilnya, Zulfiandi tidak menjegal Gabriel Quak yang menyisir sayap kanan dan bisa memberikan umpan silang. Mampu dihalau Hansamu Yama, bola liar jatuh ke kaki Hariss, yang idealnya di area tersebut terdapat Evan Dimas atau Irfan Jaya. Evan terlambat mundur usai membangun serangan yang gagal, Irfan terlambat bereaksi untuk mengantisipasi bola liar.
***
Bima Sakti bukannya tanpa upaya melakukan perubahan. Usai turun minum ia mengganti Irfan Jaya dengan memasukkan Riko Simanjuntak. Lalu Fachrudin Ariyanto masuk menggantikan Ricky Fajrin yang cedera. Terakhir Stefano Lilipaly diganti Septian David Maulana.
Pergantian ini sebenarnya memberikan pengaruh di lapangan, tapi tidak signifikan. Jika pada babak pertama hanya ada satu tembakan, babak kedua Indonesia berhasil melepaskan empat tembakan, yang tiga di antaranya cukup berbahaya. Akan tetapi secara skema, karena pergantian pemain Bima berupa pergantian pemain dengan posisi yang sama, Indonesia tetap berada di bawah kendali Singapura hampir di sepanjang pertandingan. Faktor utama permainan Indonesia, pada akhirnya, terlihat tak jelas dan banyak memainkan umpan-umpan panjang.
foto: affsuzukicup.com
Komentar