Timnas Indonesia U23 menuai hasil negatif pada laga perdana mereka di SEA Gamees 2015. Menghadapi Myanmar, Evan Dimas cs takluk dengan skor 2-4. Atas hasil ini, Indonesia pun berada di posisi juru kunci klasemen sementara Grup A.
Dalam analisis kami, Indonesia kalah karena tak kuasa meladeni tempo cepat yang diperagakan para pemain Myanmar. Pressing yang dilakukan para pemain Myanmar pun membuat serangan Indonesia tak bisa mengalir dengan baik. Blunder-blunder para pemain Indonesia pun semakin memudahkan lini depan Myanmar dalam mengoyak gawang Indonesia yang dikawal M. Natsir Fadhil.
Untuk lebih lengkap, baca analisis kami di sini.
Kalah Karena Faktor Non-Teknis?
Pasca pertandingan, pelatih Indonesia U23, Aji Santoso, mengemukakan pendapatnya atas kekalahan yang diderita kesebelasannya. Namun dalam komentarnya yang termuat dalam sejumlah media, eks bek kiri timnas Indonesia ini tak menyinggung perihal bagaimana kesebelasannya bermain. Ia beranggapan bahwa anak asuhnya bermain buruk karena ada faktor non teknis di luar lapangan yang mempengaruhi mental mereka.
âKami [tim pelatih] berusaha menjaga mental pemain setinggi mungkin, bahkan menyediakan bonus bagi mereka jika memenangi pertandingan. Tapi anak-anak hanya manusia biasa. Tentu saja, jauh dalam benak mereka, mereka memikirkan masa depannya,â tutur Aji Santoso dilansir laman federasi sepakbola Asia Tenggara (AFF).
âSaat lagu kebangsaan Indonesia dikumandangkan, para pemain menangis. Begitu juga saya. Saya menyadari ini akan menjadi laga internasional terakhir kami sampai sanksi FIFA dicabut. Banyak orang yang bertanya-tanya kapan sanksi itu dicabut. Dua tahun? Tiga tahun? Atau empat tahun?â tambah Aji.
Dengan pernyataan ini, kami, atau khususnya saya, mengerti mengapai mental penggawa Garuda Muda buruk saat menghadapi Myanmar kemarin, jika memang benar mental para pemain terpengaruh faktor non teknis. Mengacu pada pernyataan Aji, sepertinya para pemain Indonesia ditakuti-takuti bahwa Indonesia akan disanksi FIFA selama dua tahun sampai empat tahun.
Coach Aji mungkin tak mengatakan secara langsung pada pemainnya bahwa Indonesia akan disanksi dengan periode waktu seperti yang ada dalam pikirannya. Namun ini menunjukkan bahwa Aji tak bisa membuat para pemainnya fokus menjalani pertandingan dan tak terpengaruh dengan masalah yang terjadi pada sepakbola Indonesia belakangan ini.
Memang benar apa yang dikatakan Aji, periode hukuman FIFA pada sebuah federasi tak tentu kapan akan berakhir, di mana bisa sampai bertahun-tahun. Namun Aji pun harusnya mengetahui bahwa hukuman FIFA pun bisa dicabut dalam beberapa hari saja karena tentunya banyak negara yang sudah merasakannya.
Terlepas dari sampai kapannya sanksi FIFA berlaku bagi Indonesia, entah itu bertahun-tahun, berbulan-bulan atau mungkin berminggu-minggu, penting bagi Aji untuk bisa membuat para pemainnya melupakan masalah yang ada, bahkan masalah pribadi mereka sekalipun, agar bisa fokus untuk memenangi pertandingan. Jika ia tak bisa melakukannya dengan dalih para pemainnya pun merupakan manusia biasa, maka kapabilitas Aji sebagai pelatih yang pandai memotivasi pemainnya pun patut dipertanyakan.
Situasi sepakbola Indonesia saat ini memang tengah memprihatinkan. Namun sebagai pelatih profesional, harusnya Aji mengesampingkan hal-hal lain di luar sepakbola ketika kesebelasannya bermain buruk.
Masyarakat Indonesia tahu apa yang sedang terjadi dengan sepakbola Indonesia, beserta dampak-dampaknya. Aji tak perlu repot-repot untuk mendramatisir keadaan. Justru yang harusnya Aji lakukan adalah tetap membuat Indonesia U23 berjuang semaksimal mungkin dalam setiap pertandingan yang dijalani. Karena masyarakat Indonesia pun akan tetap mengapresiasi jika pada akhirnya tetap tak berprestasi selama para pemainnya tampil dengan semangat juang tinggi, tak kenal lelah, dan membanggakan.
Kalah Karena Faktor Lapangan Sintetis?
Seluruh pertandingan SEA Games cabang sepakbola pada grup A akan dilaksanakan di Stadion Jalan Besar yang berumput sintetis. Maka tak terkecuali pada laga Indonesia melawan Myanmar semalam (2/6).
Tak sedikit yang berpendapat bahwa permainan buruk Indonesia pun disebabkan oleh kondisi lapangan. Para pemain Indonesia memang terlihat masih beradaptasi dengan lapangan di mana pada babak pertama, seringkali para pemain Indonesia terjatuh tanpa sebab.
Hal tersebut diamini Aji Santoso, para pemainnya sering terjatuh tanpa sebab. Namun pelatih berusia 45 tersebut tak berpendapat bahwa kesebelasannya kalah karena faktor para pemainnya tak bisa beradaptasi dengan lapangan.
âLapangan, tadi saya melihat banyak pemain yang jatuh. Tapi kami sudah beradaptasi di Bandung. Di sini lebih bagus dan lebih licin,â tutur Aji, dikutip dari detiksport. âSemua jatuh, sering terjadi tanpa sebab. Tapi itu bukan alasan. Myanmar pakai lapangan yang sama.â
Ya, sebenarnya Aji sudah menyiapkan anak asuhnya untuk bermain di lapangan rumput sintetis. Para pemainnya pun sudah menjalani latihan di Bandung pada pemusatan latihan keempat atau terakhir yang dimulai sejak 7 Mei 2015 dan berakhir pada 29 Mei 2015.
Lantas mengapa Indonesia tetap kesulitan beradaptasi dengan lapangan sintetis? Nyatanya, persiapan akhir Indonesia U23 tak berjalan maksimal. Aji sempat mengeluhkan bahwa lapangan sintetis di Bandung tak sesuai yang diharapkannya. Rencananya pemusatan latihan pun akan dipindahkan ke Yogyakarta setelah menjalani laga uji coba di Solo menghadapi Malaysia. Namun rencana ini gagal terlaksana.
Kami pernah membahas secara lengkap mengenai rumput sintetis, mulai dari perbedaan dari rumput alami hingga bahaya yang mengancam. Baca di sini
Persiapan tahap akhir Myanmar sebelum SEA Games 2015 bergulir pun sebenarnya tak sesuai harapan. Namun keseriusan pengelola timnas Myanmar pun ditunjukkan dengan berburu lapangan sintetis terbaik hingga ke negeri sakura, Jepang. Meski hanya menggelar uji tanding menghadapi timnas Myanmar U20, pelatih Myanmar, Kyi Lwin, cukup puas dengan persiapan yang dilakukan tersebut.
âSebelumnya kami menggelar pemusatan latihan di Jepang,â ujar Kyi Lwin jelang SEA Games digelar, dikutip dari footballchannelasia. âMeski kami tak menjalani laga uji tanding menghadapi lawan berkualitas, hal tersebut tetap menjadi persiapan yang baik bagi kami.â
Kepuasannya akan pemusatan latihan yang dilakoni anak asuhnya pun ditunjukkan dengan optimisme tinggi jika Myanmar bisa meraih medali emas pada gelaran SEA Games tahun ini. âTarget kami di SEA Games? Kami ingin meraih medali emas, sama seperti kontestan lain.â
Myanmar memang secara serius mempersiapkan tim untuk menghadapi SEA Games 2015 ini. Langkah yang mereka lakukan adalah dengan meliburkan liga sejak awal Maret 2015. Myanmar menginginkan para pemainnya disiapkan untuk menghadapi laga internasional seperti SEA Games, Piala Dunia U20, dan babak kualifikasi Piala Dunia 2018.
Maka apa yang dilakukan Myanmar tersebut menggugurkan argumen bahwa tak bergulirnya kompetisi di Indonesia membuat para pemainnya terganggu. Bahkan jika dibandingkan dengan Myanmar, Qatar National Bank League 2015 sendiri baru dihentikan pertengahan April. Ini artinya, Myanmar sudah lebih dulu tak menjalani kompetisi dibandingkan Indonesia.
Kekalahan sebagai Hal Lumrah
Atas alasan di atas, rasanya kekalahan Indonesia atas Myanmar semalam bukan karena faktor non teknis seperti yang dikatakan Aji Santoso. Kekalahan semalam, yang bisa dibilang cukup telak dengan kemasukkan empat gol, dikarenakan persiapan timnas Indonesianya sendiri yang kurang maksimal.
Masalah sanksi FIFA boleh saja menjadi salah satu faktor pengganggu konsentrasi para pemainnya. Namun di sinilah seharusnya coach Aji Santoso berperan, di mana harus membuat para pemainnya tetap fokus menjalani pertandingan. Jika saja tetap gagal, Aji Santoso memang patut bertanggung jawab atas kegagalan Indonesia di SEA Games 2015 cabang sepakbola ini.
Masih ada tiga pertandingan tersisa. Peluang untuk melenggang ke babak berikutnya masih terbuka. Sudah menjadi tugas Aji Santoso untuk membenahi skuatnya. Lupakan sejenak kisruh yang ada, berikanlah yang terbaik untuk bangsa Indonesia.
Apologi dengan faktor-faktor non teknis bisa sepenuhnya diterima jika Indonesia memang terbiasa berprestasi. Jika sudah terbiasa berprestasi, kekalahan mungkin bisa dicarikan penjelasannya dari faktor-faktor non-teknis. Tapi saat prestasi Indonesia memang biasa-biasa saja, apakah sebuah kekalahan lantas mesti disikapi sebagai hal tak biasa?
Komentar