Paruh kedua Bundesliga musim 2016/2017 akan segera dimulai. Laga SC Freiburg melawan Bayern München akan menjadi laga pembukaan spieltag 17 setelah libur musim dingin. Banyak hal yang bisa diamati jelang paruh kedua musim 2016/2017, salah satunya adalah menyoroti penampilan dari RB Leipzig.
Kiprah RB Leipzig selama paruh pertama Bundesliga musim 2016/2017 cukup menarik perhatian. Berbagai standar dan hal baru berhasil mereka torehkan, mulai dari rentetan pertandingan tidak kalah (sebelum dikalahkan oleh FC Ingolstadt), permainan cepat dan atraktif, serta gonjang-ganjing korporasi yang dikabarkan masuk ke dalam tubuh RB Leipzig. Mereka berhasil membuat riuh paruh pertama Bundesliga dengan hal-hal yang mereka buat dan catatkan.
Pertanyaan pun muncul di awal paruh kedua Bundesliga ini untuk klub yang sekarang duduk di peringkat kedua klasemen Bundesliga 2016/2017 tersebut. Dapatkah RB Leipzig melakukan hal yang sama di paruh kedua?
Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, sejenak mari kita lihat sejarah TSG 1899 Hoffenheim pada musim 2008/2009. Ada hal-hal yang mungkin saja membuat perjalanan RB Leipzig dan Hoffenheim pada musim tersebut menjadi paralel.
Sosok Ralf Rangnick
Sebelum sekarang menjabat sebagai direktur olahraga RB Leipzig dan sempat digosipkan akan melatih timnas Inggris, Ralf Rangnick adalah pelatih TSG 1899 Hoffenheim pada musim 2008/2009. Dengan sepakbola atraktif yang mengandalkan transisi cepat dari bertahan ke menyerang dan sebaliknya, serta sosok Vedad Ibisevic sebagai mesin gol, Hoffenheim sempat berada di papan atas Bundesliga 2008/2009 sampai libur musim dingin.
RB Leipzig pun sekarang berada dalam posisi yang hampir serupa. Walau Rangnick sekarang berposisi sebagai direktur olahraga, tapi strategi yang diterapkan oleh Ralph Hasenhüttl, pelatih RB Leipzig sekarang, banyak dipengaruhi oleh sepakbola Rangnick yang pernah ia terapkan di Hoffenheim.
Gaya bermain yang atraktif, ditambah dengan transisi yang cepat dari bertahan ke menyerang ataupun sebaliknya adalah gaya sepakbola yang sedang dimainkan oleh RB Leipzig sekarang. Dengan gaya sepakbola seperti itulah, sekarang Leipzig menduduki posisi papan atas Bundesliga, sama seperti Hoffenheim pada musim 2008/2009.
Kucuran Dana yang Membantu
Pada kisaran 2000, Hoffenheim masih berstatus sebagai klub desa dan masih berkompetisi di Regionalliga Süd. Tapi semua berubah dengan kedatangan Dietmar Hopp, CEO dari perusahaan SAP AG yang bergerak di bidang penyediaan software, yang akhirnya menjadi financial club backer dari Hoffenheim sampai sekarang.
Kucuran dana dari Hopp membuat Hoffenheim mampu membeli talenta-talenta mumpuni macam Vedad Ibisevic, Demba Ba, serta Sejad Salihovic. Kucuran dana ini juga membuat Hoffenheim mampu mendatangkan pelatih sekaliber Ralf Rangnick. Mereka pun merangkak naik sejak 2005 dari Regionalliga Süd, dan akhirnya mencicipi kompetisi Bundesliga pertama mereka pada musim 2008/2009.
Hal yang tak jauh beda juga dilakukan oleh RB Leipzig yang dibantu oleh kucuran dana dari perusahaan minuman Red Bull. Mengambil alih SSV Markranstädt pada 2009, perlahan mereka mulai merangkak naik dan akhirnya merasakan kompetisi Bundesliga pertama mereka pada musim 2016/2017.
Alasan inilah (kucuran dana) yang mengakibatkan kedua klub tersebut (dulu Hoffenheim, sekarang Leipzig) menyandang status sebagai klub paling dibenci di Jerman.
Dengan Kemiripan-Kemiripan Itu, Apa Takdir Mereka Akan Sama?
Meski mampu mengawali liga dengan baik, nyatanya penampilan Hoffenheim menurun pada paruh kedua Bundesliga 2008/2009. Mereka harus puas duduk di peringkat tujuh akhir Bundesliga 2008/2009 setelah penampilan yang tak mengesankan pada paruh kedua liga. Posisi yang tidak mengantarkan mereka masuk kompetisi Eropa.
Spekulasi pun menyeruak. Dengan kemiripan proses yang dialami oleh RB Leipzig dan Hoffenheim, apakah Leipzig juga akan mengalami nasib yang sama?
Bisa iya bisa tidak. Tapi ada beberapa hal yang sedikit membedakan antara Hoffenheim 2008/2009 dengan Leipzig 2016/2017. Pertama, faktor pelatih. Meski masih ada pengaruh Ralf Rangnick di dalam strategi racikan Leipzig, nama Ralph Hasenhüttl tidak boleh dikesampingkan. Hasenhüttl memiliki prestasinya tersendiri, yaitu berhasil mengantarkan FC Ingolstadt promosi ke Bundesliga pada musim 2014/2015.
Hasenhüttl pun tampak lebih rileks dan santai mengenai raihan yang sudah dicapai oleh Leipzig sampai saat ini, berbeda dengan Rangnick yang sedikit terbawa suasana sehingga abai terhadap perkembangan tim lain yang membuat Hoffenheim pun harus terjun ke peringkat tujuh di akhir musim. Ketenangan Hasenhüttl ini setidaknya akan membuatnya waspada terhadap tim-tim lain.
Selain itu, perbedaan lainnya adalah soal ketergantungan akan pemain. Begitu Vedad Ibisevic mengalami cedera ACL di pertengahan musim, penampilan Die Kraichgauer, julukan Hoffenheim, langsung menurun drastis. RB Leipzig, meski mengandalkan Emil Forsberg di lini serang, tidak terlalu bergantung pada penampilan Forsberg semata. Ada pemain-pemain lain yang juga tampil gemilang di RB Leipzig, yaitu Timo Werner, Yussuf Poulsen, Naby Keita, dan juga Marcel Halstenberg.
Ketidaktergantungan Leipzig akan satu pemain saja, serta ketenangan dari seorang Ralph Hasenhüttl, hasil akhir yang akan mereka dapatkan pada penghujung musim nanti berbeda dengan hasil akhir yang diraih Hoffenheim pada akhir musim 2008/2009.
***
Genderang paruh kedua Bundesliga musim 2016/2017 akan dimulai. Ujian berat menanti Hasenhüttl dan para pemainnya karena mungkin saja tim-tim lain sedang mempersiapkan anti-strategi dari apa yang sudah mereka perlihatkan selama paruh pertama. Leipzig bisa saja selamat. Kuncinya, mereka tidak hanya harus tampil apik saja, tapi juga harus berevolusi.
Kesempatan terbuka luas bagi Leipzig untuk menjadi penantang serius Bayern dalam meraih gelar juara sekaligus mendobrak dominasi di Bundesliga. Sekarang adalah saat yang tepat, karena musim depan belum tentu hal seperti ini akan kembali terjadi.
foto: @RBLeipzig_EN
Komentar