Anfield seyogyanya adalah stadion kebanggaan Liverpool dan kerap menghadirkan mimpi buruk bagi tim tamu. Namun keangkeran itu tiba-tiba sirna dan berbalik menyerang si empu-nya tuan rumah. Sudah jatuh tertimpa tangga, Liverpool tak hanya mengawali 2017 dengan buruk, tapi juga kalah tiga kali beruntun di Anfield.
Dua kemenangan, tiga hasil imbang, dan empat kekalahan beruntun merupakan catatan Liverpool pada awal 2017 ini. Terbaru, dan juga kekalahan ketiga beruntun mereka di Anfield, Liverpool kalah 1-2 dari klub Championship, Wolverhampton Wanderers, pada putaran keempat Piala FA.
Kekalahan yang diderita Liverpool pun muncul dengan cara yang sama, seperti halnya mereka kalah 2-3 dari Swansea City dan 0-1 dari Southampton. The Reds kalah melawan tim yang menumpuk pemain di lini belakang, mengandalkan bola panjang atau lambung ke depan, dan melakukan serangan balik.
Liverpool mendominasi penguasaan bola di tiga tersebut dengan detail 69%-31% kontra Swansea, 70%-30% kontra Southampton, dan 80%-20% kontra Wolves. Klub asal Merseyside itu juga rajin menciptakan peluang, dengan total 20 tendangan ke gawang Wolves. Namun, semua itu tak dibarengi dengan efektivitas peluang. Liverpool bak kehabisan ide membongkar ketatnya pertahanan lawan.
Situasi Bola Mati dan Serangan Balik
Gol pertama muncul dari situasi bola mati saat Richard Stearman menyambut umpan lambung Helder Costa. Sementara gol kedua berasal dari serangan balik yang terbangun rapi, memanfaatkan celah dari lini tengah hingga ke belakang. Hal ini mampu dimanfaatkan kembali oleh Costa untuk memberi asis kepada pemain yang pernah membela Aston Villa, Andreas Weimann.
Bagaikan peribahasa hanya keledai yang jatuh di lubang yang sama dua kali. Liverpool pun tampak tidak belajar dari kekalahan melawan Swansea dan Southampton. Saat melawan Swansea, dua gol Fernando Llorente datang dari situasi bola mati yang tak mampu diatasi Liverpool. Sedangkan saat melawan Southampton, gol telat Shane Long muncul dari serangan balik yang dimotori Joshua Sims.
Bola mati dan serangan balik, dua hal yang mematikan sistem bermain gegenpressing milik Jürgen Klopp. Sebab, sistem bermain itu sedianya ‘membiarkan’ lawan menguasai bola, lalu pemain menerapkan high pressing, coba merebut bola dan melancarkan serangan balik yang efektif. Tak pelak ketika Liverpool mendominasi penguasaan bola, mereka kehabisan ide untuk membongkar ketatnya pertahanan lawan.
Tertinggal 0-2 di babak pertama, Klopp mengubah formasi 4-3-3 menjadi 3-4-3 dengan menarik keluar Connor Randall (bek kanan), menggantikannya dengan Philippe Coutinho, hingga Lucas Leiva yang tadinya bermain sebagai gelandang tengah, mundur untuk menempati pos tiga bek sejajar bersama Ragnar Klavan dan Joe Gomez.
Liverpool memang kian mendominasi permainan dengan total 1001 berbanding 423 sentuhan bola. Tapi sentuhan bola dengan jumlah 794 operan itu lebih banyak berkutat di luar area 16 meter Wolves yang bermain disiplin. Liverpool cenderung mengoper bola melebar hingga banyak melepas umpan silang yang mampu dibendung baris bertahan Wolves.
Heatmap permainan Liverpool vs Wolverhampton. Sumber: Whoscored.com
Ketika Coutinho yang notabene seorang playmaker tak cukup bagi Liverpool untuk membongkar pertahanan Wolves., Klopp pun memasukkan Daniel Sturridge sejak menit 65. Mereka pun bermain dengan tiga penyerang di depan, yang terdiri dari Divock Origi, Sturridge, dan Ben Woodburn.
Bagaimana jawaban Paul Lambert di kubu Wolves? Tetap bermain dengan sistem yang sama, fokus bertahan dan terus membuat para pemain Liverpool frustrasi. Gol yang dinanti Liverpool datang di menit 86, saat Origi memanfaatkan kemelut di depan muka gawang Wolves dan mengoyak jala gawang Harry Burgoyne.
Muncul secercah harapan ketika Liverpool menyerang total untuk menyamakan kedudukan, apalagi mereka baru saja tersingkir dari Piala Liga saat kalah agregat gol 0-2 dari Southampton. Georginio Wijnaldum hingga Lucas meninggalkan zonanya dan merangsek ke pertahanan Wolves, tapi tim tamu juga terus memperlihatkan kengototannya dalam bertahan.
Dua pivot atau gelandang jangkar Wolves, Lee Evans dan George Saville, setia melapis lini belakang tim yang berisikan Conor Coady, Stearman, Kortney Hause, dan Matt Doherty. Menenangkan Burgoyne dalam menjaga gawang Wolves, hingga akhirnya empat menit tambahan waktu di babak kedua, tak cukup bagi Liverpool untuk mengejar ketertinggalan.
Liverpool tersingkir dari Piala FA setelah sebelumnya gugur di Piala Liga. Sekali lagi mereka menemukan kesulitan saat berhadapan dengan tim yang bermain bertahan. Satu playmaker (Coutinho) tak cukup bagi Liverpool. Apalagi tanpa kehadiran Sadio Mane, segalanya kian bertambah parah untuk klub kawasan Merseyside itu.
**
Tiga kekalahan beruntun yang langsung menyingkirkan mereka dari dua turnamen - parahnya terjadi di Anfield, menjadi pekerjaan rumah yang harus diselesaikan Klopp saat ini. Status Liverpool saat ini bukan tidak beruntung lagi, karena rentetan kekalahan dan hasil imbang yang diraih belakangan, membuktikan bahwa Liverpool tengah mengalami krisis.
Klopp dituntut untuk menemukan solusi permasalahan Liverpool ini sebelum menghadapi tim yang jauh lebih berbahaya di laga berikutnya. Pemuncak klasemen sementara Liga Primer, Chelsea, akan jadi lawan mereka di Anfield pada pekan 23 yang berlangsung Rabu, 1 Februari 2017. The Blues besutan Antonio Conte pun juga tidak jauh berbeda dari lawan-lawan yang mengalahkan Liverpool, mereka punya pertahanan yang kuat dan efektif saat menyerang.
foto: @SquawkaNews
(arf)
Komentar