Hasil mengesankan ditorehkan Qarabag FK saat berhasil menahan imbang Atletico Madrid 1-1 di Estadio Wanda Metropolitano, Rabu (1/11) dini hari WIB. Ini merupakan hasil imbang kedua yang berhasil ditorehkan Qarabag atas Atletico Madrid di Liga Champions musim ini. Sebelumnya, pada pertemuan pertama lalu, klub berjulukan The Horsemen itu juga bisa menahan imbang Atleti 0-0 di Azersun Arena.
Qarabag berhasil mencuri gol lebih dulu melalui sundulan Michel pada menit 40, ia berhasil memanfaatkan umpan Wilde-Donald Guerrier melalui sepak pojok. Namun Atleti mampu membalas pada menit 56 melalui sepakan jarak jauh Thomas Partley setelah menerima umpan back heel Antoine Griezmann.
Kalau melihat catatan statistik pertandingan semalam, Atleti seharusnya bisa meraih kemenangan atas Qarabag, bahkan dengan skor lebih dari satu gol. Melihat catatan penguasaan bola, Los Rojiblancos berhasil unggul dengan 52 persen berbanding 48 persen milik Qarabag. Catatan penguasaan bola mungkin bisa dibilang lebih seimbang, karena perbedaannya hanya dua persen.
Namun lihat dalam catatan tembakan Atleti yang mencapai 35 tendangan dengan 11 mengarah ke gawang, sementara Qarabag hanya melepaskan total empat tembakan selama 90 menit pertandingan. Ini artinya, rata-rata Atleti mempunyai satu peluang dalam 2,5 menit.
Dari catatan statistik di atas bisa disimpulkan bahwa kendali permainan sepenuhnya berada di tangan Atleti. Membandingkan dengan catatan statistik keduanya pada pertemuan pertama lalu, tim asuhan Diego Simeone itu memang unggul namun setidaknya keunggulan tersebut tidaklah terlalu timpang.
Ada yang berbeda dari cara bertahan Qarabag pada laga malam tadi. Pada pertandingan pertama, Pelatih Gurban Gurbanov menerapkan formasi dasar 4-1-4-1. Melihat skema tersebut, Gurban tampaknya sangat ingin mengonsolidasi kekuatan di lini tengah untuk meredam permainan agresif Atleti yang menggunakan formasi dasar 4-4-2.
Meski begitu dengan skema tersebut Gurban juga ingin anak asuhnya bisa memberikan ancaman ke jantung pertahanan Atleti melalui permainan terbuka. Hal tersebut bisa dilihat dari penggunaan dua gelandang bertipikal menyerang yang hanya ditopang dengan satu gelandang bertahan untuk menjaga kedalaman.
Cara tersebut memang membuat Qarabag mampu mengimbangi Atleti dalam hal penyerangan. Setidaknya ada tujuh tembakan yang berhasil dicatatkan The Horsemen. Namun sayangnya, pertahanan mereka cukup terbuka hingga bisa dimanfaatkan para penggawa Atleti untuk melakukan ancaman demi ancaman ke jantung pertahanan mereka.
Cukup sering para pemain Atleti menembus kotak 16 mereka, beruntung klub yang berdiri pada 1951 itu memiliki penjaga gawang Ibrahim Seric, yang tangguh di bawah mistar gawang mereka. Sehic berhasil membuat para penyerang Atleti merasa frustrasi karena kebuntuan yang tak kunjung terpecahkan.
Total ada empat penyelamatan krusial yang dilakukan Sehic untuk menghindarkan gawangnya dari kebobolan. Penampilan impresif Sehic di bawah mistar gawang Qarabag pun membuat skor 0-0 bertahan hingga akhir pertandingan.
Pada laga kedua terlihat ada perubahan signifikan dalam penerapan skema yang dilakukan Gurban. Pelatih asal Azerbaijan itu sepertinya sadar kalau aliran serangan Atleti akan jauh lebih agresif ketimbang di pertemuan pertama lalu. Oleh karena itu, ia pun mengubah formasi dari 4-1-4-1 menjadi 4-2-3-1.
Tujuan utama dari perubahan skema tersebut tetap pada penguatan di sektor tengah, namun bedanya pada pertandingan kedua Gurban sepertinya menginstruksikan anak asuhnya untuk tampil lebih bertahan. Secara teoritis, penerapan formasi 4-2-3-1 bisa dibilang sebagai formasi semi bertahan, sebab ada dua gelandang bertahan yang ditugaskan untuk menjaga ke dalaman. Serangan dalam penerapan formasi tersebut condong pada pola serangan balik cepat dengan kecepatan dari dua pemain sayap sebagai kuncinya.
Dalam pertandingan yang berlangsung di Estadio Wanda Metropolitano, Atleti langsung tampil agresif untuk memberikan tekanan ke jantung pertahanan Qarabag. Namun upaya para pemain Atleti untuk bisa menembus pertahanan The Horsemen kerap menemui kesulitan.
Pada saat bertahan ada sembilan pemain yang turun ke jantung pertahanan sendiri, dengan enam pemain yang berdiri sejajar di tepi kotak penalti sendiri. Ketika bertahan, Qarabag menggunakan pola defensive third atau low block. Jadi, saat para pemain Atelti menguasai bola, 9 pemain Qarabag langsung turun ke daerah pertahanan sendiri untuk menutup ruang gerak bagi para pemain Roji Blancos. Bahkan enam pemain bisa menempati garis pertahanan terakhir.
Gambar: Pola pertahanan rapat Qarabag
Sementara cara merebut yang dilakukan, para pemain Qarabag biasanya langsung reaktif saat para pemain Atleti berhasil menembus garis tengah lapangan. Pressing ketat dilakukan kepada para pemain Los Rojiblancos yang memegang bola. Bahkan untuk melakukan covering Qarabag biasa menggunakan dua sampai tiga orang untuk menghentikan aliran serangan Atleti.
Pressing yang diterapkan Qarabag bukan hanya pressing biasa namun lebih agresif, mereka tak segan melakukan tekel keras untuk menghentikan laju serangan Atleti. Maka jangan heran kalau banyak pelanggaran yang dilakukan oleh para pemain Qarabag. Total ada 37 tekel yang dilakukan oleh para pemain Qarabag dengan 13 di antaranya berbuah pelanggaran. Bahkan mereka sampai harus bermain dengan 10 pemain setelah Pedro Henrique di kartu merah wasit.
Sementara dalam melakukan transisi dari menyerang ke bertahan, Qarabag tidak seperti Atleti yang langsung menerapkan pressing tinggi dari daerah pertahanan lawan untuk secepat mungkin merebut bola yang hilang. Gangguan memang dilakukan sejak daerah pertahanan Atelti oleh Ramil Seydaev sebagai penyerang utama mereka, namun tampak tak terlalu agresif tujuan dari gangguan tersebut hanya dimaksudkan untuk men-delay agar para pemain lain bisa cepat turun ke daerah pertahanan sendiri.
Artinya saat melakukan transisi dari menyerang ke bertahan, Gurban lebih memilih untuk bermain aman. Tidak ada pressing agresif karena para pemainnya diwajibkan kembali ke zona pertahanan sendiri dan membentuk skema default saat bertahan.
Gambar: Transisi menyerang ke bertahan Qarabag
Cara bertahan Qarabag benar-benar menyulitkan bagi Atleti, jarang sekali mereka bisa masuk hingga area kotak 16 besar Qarabag. Memang mereka mampu melakukan 35 tembakan, namun dari jumlah tersebut hampir setengahnya dilepaskan dari luar kotak penalti. Sementara saat berhasil memasuki kotak penalti, para pemain belakang Qarabag sudah siap untuk melakukan blocking untuk menghalau tembakan yang coba mengancam gawang Sehic.
Selain itu, aksi bertahan yang dilakukan Qarabag pada pertandingan kedua ini juga terbilang lebih disiplin. Total ada 17 blok, 40 sapuan, dan 16 kemenangan duel udara. Melihat data tersebut, jadi cukup wajar bila Qarabag berhasil membuat Atleti kepayahan untuk menembus jantung pertahanan mereka.
***
Qarabag awalnya diprediksi akan menjadi bulan-bulanan Atletico Madrid, juga AS Roma dan Chelsea di Grup C. Tapi nyatanya, Qarabag mampu mencuri dua poin dari Atleti di dua laga. Atleti benar-benar tak bisa mengalahkan Qarabag, bahkan belum meraih kemenangan di Liga Champions musim ini.
Yang menarik adalah Qarabag bermain dengan ultra defensif sambil sesekali melancarkan serangan balik. Sekilas, ini mirip gaya bermain Atleti asuhan Diego Simeone yang kuat dalam bertahan. Maka bisa dibilang, saat menghadapi Qarabag, Atleti kerepotan sendiri dengan cara bermain yang biasanya mereka mainkan.
Foto: Twitter Qarabag
Komentar