Halaman kedua
Selain Conte dan Pochettino, sebenarnya ada banyak manajer lain yang juga memodifikasi posisi wing-back ini. Semasa melatih Bayern Muenchen di Jerman, Pep Guardiola memodifikasi wing-back ini menjadi wide midfielder dalam formasi dasar 3-4-3. Rafinha dan Alaba menjadi dua wide man yang sekaligus menjadi wide midfielder dengan tujuan okupansi penuh terhadap bola, tak terkecuali di posisi sayap.
Formasi dasar 3-4-3 Bayern masa Pep
Dengan semakin berkembangnya taktik dan skema yang digunakan di dalam sepakbola, peran dari pemain yang berposisi sebagai wing-back ini pun kelak akan menjadi semakin penting, Namun penggunaan dari wing-back ini tergantung dari manajer masing-masing klub, apakah mereka melibatkan wing-back dalam skema yang mereka terapkan, atau tidak.
Menjadi wing-back, menjadi yang kuat menyisir sayap
Jika full-back kerap bekerja sama dengan winger ataupun gelandang sayap dalam usaha mereka mengokupansi sisi sayap dalam sebuah pertandingan, wing-back adalah pemain yang bekerja sendiri dalam menyisir sayap, baik itu ketika bertahan maupun menyerang.
Full-back dan winger, dalam formasi 4-2-3-1 misalnya, bisa saling bertukar posisi ketika bermain, untuk mengurangi risiko diserang balik dari sayap. Maka tak heran antara winger dan full-back harus memiliki saling pengertian yang kuat, seperti halnya M. Ridwan dan Supardi di skuat juara Persib 2014 silam. Sedangkan seorang wing-back, mereka harus menyisir sayap tanpa bantuan siapapun.
Karena menyisir sayap seorang diri, maka layaknya gelandang tengah dengan peran box-to-box, maka seorang wing-back juga harus memiliki stamina yang kuat sebagai dasar mereka agar bisa menyisir sisi sayap selama 90 menit pertandingan secara prima. Mungkin ada beberapa manajer yang menerapkan mikro taktik berupa dua bek tengah yang bermain melebar untuk menutup sisi sayap ketika wing-back maju menyerang, namun tetap saja stamina mumpuni harus dimiliki oleh pemain berposisi wing-back.
Selain stamina mumpuni, seiring dengan peran wing-back yang juga harus baik dalam bertahan, maka wing-back juga harus memiliki kemampuan bertahan berupa tekel atau intersep yang sama baiknya. Selain itu, wing-back juga harus punya kemampuan umpan, terutama umpan silang, dan distribusi bola yang sama baiknya. Ini tak lepas dari peran wing-back juga yang acap menjadi awal mula terciptanya serangan bagi sebuah tim.
Maka, tak heran pemain dengan atribut gelandang tengah, apalagi yang berperan sebagai gelandang box-to-box, cocok juga untuk menjadi wing-back. Ini yang terjadi pada Ricardo Giusti di skuat Argentina 1986. Giusti yang pada awalnya adalah seorang gelandang tengah sukses dikonversi menjadi wing-back oleh Carlos Bilardo.
Dengan semakin menjamurnya penggunaan skema tiga bek, baik itu oleh klub maupun oleh Tim Nasional, semakin banyak pemain-pemain yang bisa berperan sebagai wing-back ini. Rata-rata mereka adalah pemain dengan stamina mumpuni, kemampuan trackback yang baik, serta kemampuan bertahan dan menyerang sama baiknya. Nama-nama seperti Marcos Alonso, Victor Moses, Sead Kolasinac, Kieran Trippier, Kyle Walker, Danny Rose, dll. menjadi bukti bahwa wing-back mulai menjadi pemain yang diperhatikan.
Kolasinac (kanan), sosok wing-back mumpuni Arsenal
***
Setiap pemain yang berdiri di atas lapangan, di posisi manapun itu, memiliki perannya masing-masing yang harus dijalankan. Jika semua pemain menjalankan perannya dengan baik, maka skema dan taktik yang diterapkan manajer akan jalan dan kemenangan setidaknya dapat diraih. Pemain yang berposisi sebagai wing-back adalah kepingan yang tak kalah penting dibandingkan dengan pemain-pemain di posisi yang lain.
Perkembangan taktik sepakbola sama dinamisnya dengan perkembangan dari sepakbola itu sendiri. Wing-back pernah dilupakan, muncul kembali, dan sekarang ia menjadi sebuah tren taktik yang digunakan oleh para manajer. Namun jika seorang pemain ditunjuk menjadi wing-back, mereka harus bersiap untuk menjadi penguasa tunggal di sayap, karena merekalah yang pada akhirnya menjadi penyisir sayap seorang diri.
Komentar