Mengambil Stadion Sharjah sebagai arena pertempuran, sepasang raksasa sepakbola Asia, Arab Saudi dan Jepang, bertemu di babak 16 besar Piala Asia 2019 (21/1). Banyak kalangan yang menganggap bahwa partai ini hadir kelewat cepat dan sepantasnya baru muncul pada fase krusial seperti semifinal atau bahkan final. Namun ketidakmampuan Arab Saudi menjadi kampiun Grup E karena cuma finis di posisi kedua tepat di bawah Qatar, membuat duel melawan Jepang (yang jadi juara Grup F) begitu sulit dihindari.
Sudah menjejak fase gugur mendorong masing-masing tim untuk berjuang sampai titik darah penghabisan. Hal ini bisa sama-sama kita saksikan dari starting eleven yang dipilih Juan Antonio Pizzi (Arab Saudi) dan Hajime Moriyasu (Jepang). Praktis, mereka langsung menerjunkan skuat terbaik guna memetik kemenangan sekaligus tiket lolos ke babak berikutnya.
Dibanding laga-laga sebelumnya, pendekatan yang diperlihatkan Jepang pada laga kali ini sungguh berbeda. Alih-alih banyak menguasai bola buat menciptakan peluang dan mencetak gol sesegera mungkin, Maya Yoshida dan kawan-kawan justru bermain sabar dan cenderung defensif setelah wasit Rashvan Irmatov meniup peluit tanda dimulainya laga. Kondisi itu pun coba dimaksimalkan Arab Saudi dengan bermain agresif dan ofensif guna memburu gol. Nahas, tingginya persentase penguasaan bola The Green Falcons gagal mereka ejawantahkan secara paripurna untuk mengoyak jala Shuichi Gonda.
Dalam, kompak dan rapatnya garis pertahanan Jepang sukses bikin Arab Saudi kebingungan. Berbagai upaya yang mereka lakukan sepanjang laga untuk membongkarnya tak kunjung membuahkan hasil. Penjagaan dan kaver pemain-pemain Jepang terhadap pemain-pemain Arab Saudi memang luar biasa ketat dan rapi sehingga tak ada ruang yang bisa diterobos Fahad Al Muwallad beserta rekan-rekannya. Alhasil, skema penyerangan The Green Falcons yang bertumpu pada area sayap, khususnya sisi kanan lewat tusukan Mohammed Al Burayk dan Hattan Sulthan Babhir, juga mudah ditebak sekaligus diantisipasi oleh barisan pertahanan Jepang.
Walau demikian, serangan-serangan balik Jepang memanfaatkan momen kehilangan bola Arab Saudi juga tidak terlalu merepotkan Mohammed Al Owais di bawah mistar. Usaha-usaha yang mereka lakukan buat mendekati gawang lawan acapkali patah sebelum bola menyentuh kotak penalti.
Namun beruntung, di tengah minimnya peluang mencetak gol yang bisa mereka ukir, Blue Samurai sanggup memanfaatkan sepak pojok yang didapat pada menit ke-20. Bola kiriman Gaku Shibasaki mengarah tepat ke kepala Takehiro Tomiyasu yang melompat paling tinggi daripada pemain lain sekaligus mencetak gol bagi keunggulan Jepang. Bagi Tomiyasu, gol tersebut adalah gol perdananya selama mengenakan kostum Jepang semenjak melakoni debut melawan Panama di bulan Oktober 2018 kemarin.
Setelah memimpin, permainan yang dipertontonkan anak asuh Moriyasu tidak jua berubah. Mereka tetap bertahan dengan cukup dalam dan tak menyediakan ruang sedikitpun untuk penggawa Arab Saudi berkreasi. Keadaan ini membuat The Green Falcons frustasi tapi miskinnya ide yang ada di kepala Al Muwallad dan kawan-kawan serta Pizzi, membuat permainan mereka begitu mudah ditangkal. Tak heran bila papan skor yang memperlihatkan keunggulan Jepang dengan skor 1-0 tetap bertahan sampai turun minum.
Pada babak kedua, apa yang terjadi di sepanjang 45 menit pertama kembali terulang. Jepang banyak menunggu seraya mengandalkan serangan balik sedangkan Arab Saudi gencar mengirimkan tekanan. Akan tetapi semua percobaan yang diperbuat Arab Saudi tetap nihil. Salah satu faktor utama yang memicu hal tersebut adalah buruknya penyelesaian akhir Al Muwallad dan kolega saat beroleh peluang emas. Sejumlah eksekusi yang mereka buat justru tidak menemui sasaran sehingga The Green Falcons selalu gagal menyamakan skor.
"Sentuhan akhir kami begitu mendapatkan peluang amat jauh dari kata memuaskan. Saya sangat kecewa", ungkap Pizzi seperti dilansir dari arabnews.
***
Apa yang dipertontonkan Arab Saudi adalah gambaran nyata jika penguasaan bola bukanlah syarat utama mereguk kemenangan dari sebuah pertandingan sepakbola. Ada begitu banyak variabel yang kudu disandingkan dengan itu sehingga tercipta kans mengunci angka penuh. Misalnya saja pola permainan yang terorganisasi dengan baik, kecerdasan dalam memanfaatkan ruang sekaligus momentum di dalam pertandingan plus lihai memaksimalkan kesempatan mencetak gol yang didapat.
Bagaimanapun juga, kemenangan di laga sepakbola senantiasa diukur dengan banyaknya jumlah gol yang sukses dilesakkan, bukan sebanyak apa penguasaan bola dari sebuah kesebelasan. Ini adalah hukum mutlak yang tak bisa diganggu gugat oleh siapapun. Benar kalau permainan ofensif dan indah lewat persentase penguasaan bola tinggi serta mengandalkan umpan dari kaki ke kaki untuk membukukan gol sungguh sedap dipandang.
Namun mempraktikkan hal sebaliknya, kendati sering beroleh kritikan pedas bahkan dicemooh sebagai taktik parkir bus, yaitu dengan bertahan cukup dalam, kompak dan rapi serta mempersempit ruang yang tersedia bagi lawan plus mengandalkan serangan balik kilat nan efektif buat mencetak gol kemenangan, merupakan salah satu seni yang membuat sepakbola jadi menarik dan kompleks. Lagipula, tak semuanya piawai menjalankan skema itu, bukan?
Komentar