Arema FC berhasil menjuarai Piala Presiden 2019 (baca: pra-musim). Menghadapi Persebaya Surabaya di final, Arema menang dengan agregat 4-2. Menariknya, selain berhasil jadi juara, Arema menemukan skema dan cara main yang tepat sehingga mampu menjadi kesebelasan terbaik pada turnamen yang memang bertajuk pra-musim tersebut.
Sebagaimana pra-musim, Arema yang kini (kembali) dilatih oleh Milomir Seslija ini juga mencoba pemain-pemain yang ada sekaligus mematangkan strategi yang sebelumnya sudah disiapkan saat latihan. Dalam perjalanannya, Arema menunjukkan grafik yang meningkat sehingga akhirnya meraih gelar juara Piala Presiden kedua mereka.
Kurang Meyakinkan di Awal Turnamen
Arema tergabung di Grup E bersama Persela Lamongan, Barito Putera, dan Persita Tangerang. Tak mudah buat Arema untuk lolos. Di laga pertama melawan Barito, Arema sempat tertinggal dua gol terlebih dahulu sebelum akhirnya membalikkan keadaan dan menang 3-2. Di laga kedua, Singo Edan takluk dari Persela Lamongan (0-1). Nyaris tersingkir, kemenangan telak atas Persita (6-1) membuat Arema lolos ke babak 8 besar dengan sebagai tiga dari runner-up terbaik, bersama Madura United dan TIRA-Persikabo.
Bagi Milomir Seslija sendiri, kembalinya ke Arema memunculkan pro-kontra. Apalagi tekanan dan kritikan pada dirinya terus bergaung, khususnya ketika Arema tampil kurang meyakinkan pada dua laga perdana.
Namun perlahan tapi pasti Arema mulai menemukan karakter dan permainan terbaiknya. Toh, selama Piala Presiden ini Milo awalnya tidak terlalu ambisius menargetkan timnya bisa juara karena target utamanya adalah skuat asuhannya siap pada kompetisi sebenarnya, yakni Liga 1 2019 yang digelar mulai Mei mendatang.
"Kami ingin berada di posisi yang lebih baik ketimbang tahun lalu. Kalau bisa, kami ingin menjadi juara seperti tim lain," ucap Milo seperti yang dikutip Bolanet. "Namun, yang terpenting, kami bisa menunjukkan progres. Kami ingin menjadikan ajang ini persiapan untuk turun pada Liga 1 musim 2019. Itulah target kami sesungguhnya."
"Jadi tidak ada masalah jika terdapat kesalahan. Saat ini yang dibutuhkan bagaimana cara kita untuk mengatasi masalah tersebut untuk pemanasan kompetisi mendatang," kata Milo pada Kumparan.
Milo sendiri dengan cepat mengevaluasi setiap kesalahan tersebut. Contoh konkret adalah memarkir penyerang asing anyar mereka, Robert "Gladiator" Guimares. Meski terganggu cedera, Robert gagal menunjukkan kualitasnya sebagai penyerang haus gol. Pertandingan melawan Bhayangkara FC menjadi "pertandingan terakhir" penyerang asal Brasil tersebut karena kondisinya yang dianggap belum fit.
Selain Robert, gelandang asal Uzbekistan, Pavel Smolyachenko, juga cukup mendapatkan sorotan. Tampil kurang maksimal usai sembuh dari gejala demam berdarah, Pavel belum mendapatkan kembali kesempatan tampil di fase gugur, hanya menjadi cadangan, sampai akhirnya tak lagi berlaga hingga laga final.
Meski begitu, Milo tetap mampu membuat Arema tampil militan. Bahkan setelah tampil kurang mengesankan di dua laga awal, enam laga berikutnya termasuk laga final Arema berhasil mencetak 20 gol. Artinya Arema punya rerata gol nyaris empat gol per pertandingan.
Milo pada akhirnya memang seolah menemukan bentuk permainan terbaik ketika para pemain yang sebelumnya diproyeksinya jadi pemain inti harus absen. Percobaannya seperti memainkan Hanif Sjahbandi sebagai bek tengah, memainkan Jayus Hariono di lini tengah, memaksimalkan kecepatan Ricky Kayame adalah beberapa contoh variasi strategi yang coba diterapkan Milo. Namun yang paling berpengaruh adalah perubahan cara bermain Arema di fase gugur yang membuat mereka mampu menciptakan banyak gol.
Pola Serangan Balik dengan Formasi 4-4-1-1
Sebagaimana kesebelasan besar, Arema awalnya berusaha menguasai jalannya pertandingan dengan memainkan possession. Dalam formasi dasar 4-2-3-1, Pavel yang berkarakter teknis berduet dengan Jayus Hariono sebagai gelandang jangkar. Makan Konate yang punya mobilitas tinggi mengisi setiap ruang di lini tengah membuat Arema bisa menguasai bola lebih banyak. Belum lagi Arthur Cunha dan Hamka Hamzah di jantung pertahanan yang fasih dalam mengirimkan umpan-umpan akurat.
Namun skema ini kurang berjalan dengan baik. Nyaris kalah dari Barito, Arema tersungkur dari Persela. Kekalahan dari Persela sendiri tak lepas dari absennya pemain-pemain kunci yang dipanggil ke timnas, yakni Hanif Sjahbandi, Dedik Setiawan, dan Ahmad Alfarizie. Ditambah lagi, seperti yang sudah diungkapkan sebelumnya, Pavel dan Robert tampil tidak sesuai harapan.
Pertandingan melawan Bhayangkara jadi titik balik perubahan skema bermain Arema. Bhayangkara yang meraih poin sempurna di fase grup dengan mengalahkan Semen Padang, Mitra Kukar, dan Bali United digasak dengan skor telak 4-0.
Kala itu Arema kembali memainkan Hendro Siswanto sebagai gelandang tengah setelah pada dua laga sebelumnya ditempatkan di pos bek kanan (Alfin Tuasalomony mengisi pos bek kanan). Duetnya bersama Jayus Hariono membuat lini tengah Arema kokoh. Kemampuan Hendro dalam membantu serangan pun menjadi nilai lebih gelandang berusia 29 tahun tersebut. Selain umpan-umpannya yang terukur, Hendro yang mencetak satu gol ke gawang Persita menguasai lini tengah bersama Jayus dan Konate. Kemampuan merebut bolanya pun membuat Konate nyaman membantu lini serang.
Simak cerita dan sketsa adegan Rochi Putiray tentang cara menendang penalti menggunakan teknik Panenka:
Melawan Bhayangkara yang dalam dua musim terakhir selalu berada di dua besar Liga 1, Arema bermain agak defensif dan lebih mengandalkan serangan balik. Ternyata skema ini justru membuat Arema mencetak gol cepat pada menit ke-9 lewat serangan balik yang dinisiasi Dedik, diakhiri Konate.
Lewat skema itu pula Kayame bisa lebih nyetel. Masuk menggantikan Dendi Santoso yang cedera pada menit ke-63, empat menit berselang dia mendapatkan peluang emas setelah Arema berhasil merebut bola Bhayangkara di lini tengah, namun gagal. Serangan balik cepat Kayame akhirnya berbuah gol jelang pertandingan berakhir setelah Hanif mengintersep salah oper pemain Bhayangkara FC di tengah untuk kemudian memberikan umpan daerah pada Kayame.
Dari situ Arema mulai nyaman melakukan transisi bertahan ke menyerang dengan skema counter cepat yang dimulai dari lini tengah. Alih-alih memainkan umpan-umpan pendek sejak dari belakang, bola tendangan gawang pun lebih sering ditendang jauh ke tengah agar bola segera berada di tengah. Karena bukan kebetulan gol-gol pertama Arema di dua laga melawan Kalteng Putra dan Persebaya berasal dari serangan balik.
Milo mendesain Arema dengan pola 4-4-1-1 saat tak menguasai bola. Penyerang sayap sejajar dengan gelandang bertahan sementara Konate berada di depan menemani penyerang tengah (bisa Robert, Dedik, atau Nur Hardianto) yang bertugas melakukan pressing di batas antara final third dan middle third. Arema tidak terburu-buru merebut bola, lebih sabar menunggu walau cenderung bertahan. Upaya merebut bola dari para pemain lini kedua baru dilakukan ketika bola serangan lawan dikirimkan ke middle third atau zona lapangan tengah.
Konate bertugas menutup jalur operan pada gelandang bertahan lawan sekaligus jadi penyambung serangan balik Arema. Kemampuannya dalam menguasai bola dan memindahkan serangan jadi kelebihan Konate yang efektif untuk skema serangan balik Arema.
Arema mulai meninggalkan, walau tidak sepenuhnya, skema umpan-umpan silang yang sebelumnya jadi skema untuk menciptakan peluang. Dengan serangan balik cepat dari tengah, pemain-pemain seperti Kayame, Hendro, Dedik, Konate, bahkan Nur Hardianto yang sebelumnya jarang mendapatkan kesempatan bermain justru memperlihatkan permainan terbaik. Sejak melawan Kalteng Putra, Arema pun mulai tidak terlalu merotasi skuatnya secara besar-besaran.
Melawan Persebaya, pada kedua leg, menjadi bukti betapa efektifnya skema ini. Persebaya yang mengandalkan possession dan umpan-umpan silang cukup kelabakan menghadapi serangan balik Arema. Apalagi saat Persebaya menyerang mereka melebarkan jarak antar pemain, khususnya pemain sayap. Tak heran Hendro bisa mencetak gol "dengan mudah" di Gelora Bung Tomo setelah merebut bola dari kontrol tidak sempurna Fandi Eko (dalam video di atas gol terakhir).
Dalam filosofi possession football, memang terdapat teori atau prinsip bahwa para pemain sayap harus melebar selebar mungkin saat menguasai bola dengan tujuan meregangkan pertahanan lawan, serta merapat serapat mungkin saat tak menguasai bola. Namun karena bola direbut sejak tengah lapangan, Persebaya kesulitan merebut kembali bola karena mayoritas pemainnya sedang dalam mode menyerang dan jauh meninggalkan gawang. Tentu saja menyerang ketika bentuk pertahanan lawan belum siap adalah momen terbaik untuk menciptakan peluang dan mencetak gol.
"Arema bermain cukup pintar, kami memang menunggu salah satu stoper Persebaya untuk naik. Gol pertama hasil dari serangan balik yang berawal dari Hamka (Hamzah). Setelah gol pertama, pemain Arema memang diinstruksikan untuk bermain lebih kalem, tetapi bukan bertahan. Memang sengaja menunggu Persebaya membuat kesalahan (lagi) dan mencetak gol," kata Milo mengomentari kunci sukses menaklukkan Arema pada leg kedua di Stadion Kanjuruhan .
***
Pada Piala Presiden 2019 ini, Arema mendapatkan gelar juara sekaligus mendapatkan pelajaran penting dari makna pra-musim dengan menemukan skema serangan balik dengan pola 4-4-1-1, juga pemain-pemain yang tepat untuk melakukannya. Milo dalam jalur yang tepat untuk membangun permainan Arema yang kompetitif sebagai calon juara Liga 1 2019 setelah pada musim lalu mereka gagal merangsek ke papan atas dan lebih sering berkutat di papan tengah.
Bahkan permainan Arema bisa jauh lebih meningkat ketika musim berjalan jika dua pemain asing mereka yang tampil kurang mengesankan, Pavel dan Robert, mampu nyetel dengan permainan tim atau diganti dengan pemain yang lebih baik. Arema tampaknya akan kembali menjadi kesebelasan kuat di musim yang baru.
foto: Instagram @aremafcofficial
Komentar