Dulu, Manchester United biasa mencetak gol saat injury time untuk memenangkan pertandingan atau memaksakan skor imbang dan mengamankan poin krusial. Momen tersebut dikenal sebagai “Fergie Time”, identik dengan manajer legendaris United, Sir Alex Ferguson.
Tertinggal di awal untuk kemudian comeback dan meraih tiga poin lekat dengan tim Setan Merah era Sir Alex. Keistimewaan ini mengantarkan mereka meraih 13 gelar Premier League, membuat total koleksi gelar liga United menjadi 20. Fergie bawa Man United mencetak sejarah, melampaui torehan gelar Liga Inggris Liverpool.
Namun, selepas Ferguson pensiun, momen Fergie Time seakan menguap bersama manajer legendaris itu. United tak lagi sering menang secara ajaib pada injury time. Mereka menjalani transisi terjal dan empat kali berganti pelatih: David Moyes, Louis van Gaal, Jose Mourinho, dan kini Ole Gunnar Solskjaer.
Solskjaer berupaya membangkitkan kejayaan Man United. Ia sempat kesulitan di musim penuh pertamanya pada 2019/20. Setelah memulai musim 2020/21 dengan tak meyakinkan, manajer asal Norwegia itu akhirnya menunjukkan progres menggembirakan. Pada akhir tahun, United asuhan Ole nangkring di peringkat kedua Liga Inggris.
Setan Merah hanya terpaut tiga poin dari pemuncak klasemen sekaligus rival abadi mereka, Liverpool. United pun masih menyimpan satu pertandingan lebih banyak. Pada gameweek terakhir 2020, The Reds ditahan imbang Newcastle United. Sedangkan Man United menang atas Wolverhampton Wanderers berkat gol injury time.
Ketahanan skuad dan pendekatan yang adaptif adalah dua progres signifikan yang patut diapresiasi dari anak asuh Solskjaer. Musim ini, United mampu menjaga fokus selama 90 menit dan menentukan hasil pada menit akhir. Setan Merah telah mencetak 10 gol di 15 menit akhir pertandingan Premier League 2020/21. Hanya Leicester City (11) yang mencetak lebih banyak gol.
Laga melawan Wolves pun bukan kemenangan pertama United yang dipastikan pada masa injury time. Sebelumnya, Marcus Rashford dan kawan-kawan mencetak gol injury time yang menentukan kemenangan lawan Brighton & Hove Albion dan Southampton.
Saat menghadapi Brighton, drama menit akhir memaksa United bermain imbang 2-2 hingga wasit meniup peluit panjang. Namun, setelah tinjauan VAR, wasit memberi Setan Merah penalti. Bruno Fernandes pun mengeksekusi penalti dengan sempurna dan mencetak gol kemenangan pada menit ke-100.
Selanjutnya, United menorehkan comeback fenomenal atas Southampton. Di Stadion St. Mary’s, Soton mencetak dua gol untuk unggul 2-0 di babak pertama. United baru membalas pada menit 60 lewat Bruno Fernandes. Aksi brilian Edinson Cavani pada menit 74 dan 90+2 kemudian memastikan kemenangan United.
30 Desember lalu, United kembali memastikan kemenangan pada injury time. Kali ini gol Marcus Rashford pada menit 90+3 yang mengunci tripoin bagi United. Gol tersebut sekaligus menjadi gol Premier League paling telat United di Old Trafford sejak 2009, saat Michael Owen memastikan kemenangan 4-3 atas Manchester City.
Melawan Wolves, United kesulitan menembus pertahanan rendah lawan. Wolves, yang hanya beristirahat sehari, tampak bermain demi satu poin. Kebuntuan ini berupaya dipecah Ole pada babak kedua. Ia memasukkan Luke Shaw mengganti Alex Telles yang kesulitan membangun koneksi dengan lini serang. Ia juga menginstruksikan Paul Pogba untuk lebih naik mendukung Bruno Fernandes dan lini serang United. Dan hasilnya pun tak mengecewakan.
Kemenangan atas Wolves menggenapi catatan progresif Ole sepanjang tahun 2020. Tahun ini, United menorehkan 1,97 poin per pertandingan di Premier League, ketiga terbaik setelah Man City (2,06) dan Liverpool (2,24). Pos runner up pada akhir tahun pun adalah catatan impresif bagi anak asuh Solskjaer.
Di atas kertas, fans boleh optimistis bahwa Bruno Fernandes dan kawan-kawan pantas terlibat dalam perebutan gelar juara musim ini. Jika United terus mempertahankan level resiliensi yang sama, bukan tidak mungkin "Ole Time", sebagaimana Fergie Time, akan menjadi istilah yang cukup beralasan dan memberi impak ke klasemen akhir.
Akan tetapi, 16 gameweek masih terlalu prematur untuk dijadikan basis pembahasan perebutan gelar Premier League. Tiga musim terakhir, Liverpool dan Manchester City telah menunjukkan bahwa mereka berada di level berbeda. Man City pun baru bermain 14 kali dan masih berpotensi mendobrak papan atas.
Komentar