Seorang kapten normalnya adalah figur penting di atas lapangan. Jika kapten tidak masuk 11 utama, maka biasanya karena dia telah menjelang akhir karier. Melihat kapten yang lebih sering duduk di bangku cadangan meski masih berada di usia prima tentu mengherankan. Apalagi, jika sosok kapten itu adalah pemain sekaliber Cesar Azpilicueta.
Di bawah kemudi Frank Lampard pada 2020/21, Azpilicueta terpinggirkan dari rencana permainan. Sebagai kapten, kepemimpinannya sehari-hari masih dibutuhkan di ruang ganti. Tetapi di atas lapangan, eks Osasuna tersebut harus rela tempatnya diambil bakat muda The Blues, Reece James.
Situasinya baru berubah ketika Lampard didepak dan Thomas Tuchel mengambilalih. Eks pelatih Paris Saint-Germain itu kembali memercayai Azpilicueta di lini belakang.
Sejak awal, Tuchel menyebut bahwa keberadaan kapten di atas lapangan itu penting. Kepemimpinan Azpilicueta dibutuhkan sang pelatih ketika pertandingan berlangsung. Ia pun ingin melibatkan kapten untuk merevitalisasi semangat skuad yang meredup.
Demikian, kapten pun dituntut tidak hanya menampilkan kualitas kepemimpinan, tetapi juga efektif menjalankan peran yang diemban dalam skema Tuchel. Sejauh ini, Azpilicueta mampu mengisi peran kapten dan bek tengah dengan sama baiknya.
Bek dengan 25 caps Timnas Spanyol itu dipasang sebagai bek tengah-kanan dalam sistem 3-4-3 Chelsea. Bersama Antonio Ruediger dan Andreas Christensen, Azpilicueta membentuk trio bek solid yang menjadi tulang punggung The Blues dua bulan terakhir.
Kai Havertz Menambah Opsi Striker Bagi Chelsea
Azpilicueta sendiri tidaklah asing dengan posisi itu. Pada masa Antonio Conte, pemain bernomor punggung 28 ini juga berperan sebagai bek tengah-kanan.
“Saya merasa nyaman [dengan posisi ini]. Bersama Conte saya telah bermain di sana,” kata Azpilicueta kepada El Pais.
Pada 2016/17, Azpilicueta memimpin lini belakang sebuah tim pemenang Premier League. Chelsea hanya kalah lima kali sepanjang musim itu dan mengunci trofi liga dengan 93 poin. Azpilicueta berperan vital dalam kesuksesan tersebut dan menjadi satu-satunya pemain Chelsea yang selalu bertanding sejak awal dalam 38 laga Premier League.
Tuchel sadar kualitas yang ditunjukkan sang pemain di era Antonio Conte. Mengembalikan Azpilicueta ke posisi bek tengah pun adalah bagian dari langkah Tuchel merevitalisasi para pemain yang sebelumnya terpinggirkan. Selain Azpilicueta, eks pelatih Dortmund itu juga memberi kesempatan kepada Marcos Alonso, Christensen, dan Ruediger. Para pemain ini pun menunjukkan performa yang setimpal.
Di bawah Tuchel, Chelsea belum terkalahkan dalam 12 pertandingan. Capaian ini tak bisa dilepaskan dari meningkatnya performa defensif The Blues. Mereka baru kebobolan dua gol di bawah Tuchel. Satu gol bunuh diri Ruediger dan satu gol Takumi Minamino (Southampton) di Premier League.
Peningkatan dramatis lini belakang Chelsea bisa dilihat dari statistik expected goals against (xGA) mereka. Di era Lampard, The Blues rata-rata meloloskan 1 xGA per pertandingan. Di bawah Tuchel, angka ini turun signifikan menjadi 0,4 xGA per pertandingan.
Statistik di atas menunjukkan bahwa tim lawan sulit membuat peluang di area berbahaya ketika menghadapi Chelsea. Nilai xGA adalah indikator kualitas peluang yang dihadapi sebuah tim. Semakin solid pertahanan sebuah tim, semakin kecil pula xGA yang dihadapi.
"Dia [Tuchel] selalu ingin mengontrol pertandingan dengan [penguasaan] bola karena kami punya pemain menyerang yang bisa membuat perbedaan. Secara defensif, kami pun harus lebih solid," kata Azpilicueta.
Dalam pertahanan solid Chelsea, trio bek tengah berperan sentral. Azpilicueta menunjukkan koneksi apik dengan Ruediger maupun Christensen. Di lini belakang, bek tengah di kedua sisi (Azpilicueta dan Ruediger) berperan aktif menekan lawan yang memasuki sepertiga pertahanan. Sedangkan Christensen lebih berperan sebagai orang terakhir yang melindungi Edouard Mendy.
Ruediger serta Azpilicueta tercatat lebih sering melakukan tekel (1,62 dan 1,93 per pertandingan) dan press (7,08 dan 13,5 per pertandingan). Sedangkan Christensen cenderung menutup jalur serangan lawan dengan kemampuan pemosisian. Hal ini ditunjukkan oleh statistik intersep (1,53 per pertandingan) dan blok tembakan (0,99 per pertandingan) Christensen yang melebihi dua rekannya itu.
Azpilicueta (juga Ruediger) pun berperan penting dalam build-up Chelsea. Sejak era Conte, Azpilicueta berhasil mentransformasikan kualitas bek sayap ke peran bek tengah. Pemain kelahiran Pamplona, Spanyol ini cakap menggiring bola dan melakukan progresi ke depan.
Kemampuan operan Azpilicueta juga bisa diandalkan. Pemain berusia 31 tahun ini sering mengirim umpan medium, yaitu operan yang berjarak 14 hingga 27 meter dengan tingkat akurasi 91,5%. Azpilicueta tangkas melancarkan transisi bertahan ke menyerang, rata-rata membuat 4,77 operan progresif per pertandingan.
Selain itu, Azpilicueta sering melakukan overlap dan mengokupasi bagian kanan sepertiga akhir. Ia berpotensi mengirim umpan silang dari posisi ini. Kemampuan umpan silangnya pun terbilang cukup baik. Patut diingat bahwa Azpilicueta adalah bek dengan asis terbanyak kesepuluh di era Premier League dengan catatan 32 asis.
Gol pertama Chelsea di era Tuchel sendiri terjadi berkat overlap Azpilicueta. Setelah imbang 0-0 lawan Wolverhampton Wanderers, Chelsea menjamu Burnley pada 31 Januari 2021. Azpilicueta mencetak gol pembuka pertandingan tersebut. Ia melakukan overlap dari lini belakang saat Mason Mount menginisiasi serangan. Ia pun menerima umpan dari wing-back kanan, Callum Hudson-Odoi di sisi kanan kotak penalti. Azpilicueta mengirim tembakan melambung yang gagal diantisipasi Nick Pope.
“Saya punya rasa hormat maksimum terhadapnya, dia luar biasa. Sungguh sebuah kebahagiaan, sebuah berkah memiliki kapten seperti ini. Saya percaya dari dasar hati saya pentingnya seorang kapten di tim,” kata Tuchel mengenai Azpilicueta.
Kedatangan Tuchel memberi angin segar untuk Chelsea dan Azpilicueta kembali ke tempat seharusnya. Ia adalah legenda hidup yang belum habis. Kisah sang pemain belum final untuk dituliskan di buku sejarah Chelsea.
Komentar