UEFA telah mengonfirmasi kalau mereka akan membuka persidangan terkait suporter Manchester City yang mencemooh anthem Liga Champions dengan teriakan boo saat menjamu Sevilla pada Kamis (22/10) dini hari WIB.
Hal ini dilakukan usai pengawas pertandingan memasukkan insiden tersebut ke dalam laporannya. City bisa saja dikenai sanksi karena melanggar aturan Pasal 16 ayat 2 poin g terkait âmengganggu lagu kompetisiâ. Kasus ini akan disidangkan oleh Badan Kontrol, Etik, dan Kedisiplinan UEFA pada 19 November mendatang.
âMohon dicatat bahwa insiden telah dilaporkan oleh perangkat pertandingan oleh karena itu kasus ini dibuka,â tulis pernyataan tersebut dikutip The Guardian, âIni tidak berarti bahwa sanksi akan dikenakan.â
Protes terkait FFP
âBooâ yang dilakukan oleh penggemar City tak lain karena mereka menentang keputusan UEFA yang menjatuhkan sanksi terhadap klub terkait Financial Fair Play. Ketidakpuasan ini yang membuat prestasi City dianggap menurun karena terbatasnya pemain yang berkualitas.
Salah satu bagian dari sanksi tersebut adalah membatasi jumlah skuat di Liga Champions menjadi 21 pemain dari awalnya 25 pemain. The Citizens pun mesti membayar denda 50 juta pounds yang dianggap tidak adil oleh para suporter.
Terkait sanksi yang akan dikenakan, ancamannya beragam seperti hanya peringatan, denda, hingga pengurangan poin. Fans City sebenarnya sudah melakukan booÂ-ing sejak dua tahun silam. Namun, baru kali ini UEFA memaksakan anthem Liga Champions setara dengan lagu kebangsaan yang memang tak berhak di-boo.
Ancaman Kebebasan Berpendapat
Mencemooh anthem Liga Champions sebenarnya merupakan bagian dari pemberontakkan fans Manchester City yang tak puas atas UEFA. Uniknya, selama dua tahun itu baru kali ini UEFA mendapat laporan dari pengawas pertandingan yang membuat mereka mesti membuka kasus tersebut.
Kolumnis The Guardian, Owen Gibson, menuturkan kalau adanya kecenderungan organisasi sepakbola menunjukkan keangkuan dan membesarkan dirinya sendiri sehingga begitu terobsesi terhadap bendera dan anthem. âMengingat bahwa organisasi supranasional umumnya berperilaku seolah-olah mereka berada di luar hukum negara,â tulis Gibson.
Soal anthem pun, UEFA sebenarnya tidak bisa begitu saja mengklaim kalau anthem Liga Champions mereka adalah sesuatu yang murni. Anthem tersebut merupakan penggubahan ulang atas Zadok the Priest yang digubah oleh George Frederic Handel. Lagu tersebut menurut Dailymail telah dinyanyikan sejak 1727.
UEFA kemudian meminta Tony Britten, komposer Inggris, untuk menambahkan sejumlah kata dan kembali menggubah beberapa bagian. Dari sini bisa kita lihat kalau UEFA pun sejatinya tak mampu menghadirkan anthem Liga Champions sebagai sesuatu yang murni dan orisinal. Ironisnya, mereka menjadikan anthem tersebut sebagai sesuatu yang sakral dan tak boleh dicemooh.
Melupakan Prioritas Utama
Terkait sanksi denda, UEFA bisa dibilang menggelikan. Dikutip dari The Guardian, UEFA memberi sanksi terhadap Nicklas Bendtner 80 ribu pounds karena mengenakan celana dalam dengan tulisan âPaddy Powerâ di pertandingan Piala Eropa 2012. Tentu kita tahu kalau apa yang dilakukan Bendtner merupakan bagian dari strategi marketing Paddy Power itu sendiri.
Di sisi lain, UEFA hanya memberi sanksi 16.600 pounds terhadap Porto karena penggemarnya menjadikan Mario Balotelli sebagai target rasisme. Tak berselang lama, City didenda lebih banyak karena terlambat masuk ke lapangan usai dari ruang ganti.
Padahal, boo bahkan sama sekali tak mengeluarkan kata-kata kasar dan kotor. Boo hanyalah kebisingan yang diciptakan fans di tribunâtidak ada pandangan politik yang berlebihan seperti ultranasionalis ataupun fans yang memasuki lapangan.
UEFA semestinya bisa mengendalikan rasisme utamanya di Eropa Timur dan Eropa Tengah yang hingga saat ini faktanya masih terjadi. Terlebih pada 2018 Piala Dunia akan digelar di Rusia yang memiliki kelompok ultranasionalis yang besar.
Fans Manchester City sebelum pertandingan menghadapi Juventus.
foto:Â manorcroftunitedjfc.co.uk
Komentar