Tim nasional tunarungu Indonesia berhasil meraih predikat semifinalis di ajang ASEAN Deaf Football Championship (DIFA). Pencapaian itu tentu sangat membanggakan jika mengingat masa persiapan yang sempit dan minimnya biaya.
Mereka sebelumnya bertolak ke Kuala Lumpur, Malaysia, tanpa bantuan biaya dari institusi-institusi terkait seperti Komite Nasional Paralympic, PSSI, dan juga Kemenpora. Akomodasi seluruhnya ditanggung oleh individu yang terlibat.
Meski tidak ada bantuan, ternyata nyali mereka tidak kembang kempis untuk bersaing di tingkat ASEAN. Setatus sebagai semifinalis pun didapat timnas tunarungu Indonesia setelah kalah 10-1 dari tuan rumah. Dengan predikat tersebut tim tunarungu Indonesia berhak mengantongi uang sebesar 1.000 dolar Amerika atau sekitar 13 juta rupiah. Di posisi itu Indonesia berdiri sejara dengan Vietnam yang tumbang dari Thailand di semifinal.
Angka tersebut tentu nominal yang sangat kecil jika diputar untuk mengikuti kompetisi lainnya. Bahkan, uang itu bisa lebih kecil lagi jika dipotong untuk uang saku para pemain atau setidaknya menutup pengeluaran biaya tiket yang ditanggung pemain, belum memasukkan pengeluaran pelatih dan ofisial.
Namun, hal tersebut rupanya tidak membuat mereka kapok. Akash Natani selaku pelatih tim justru berharap timnas tunarungu Indonesia kembali tampil di turnamen lainnya. Berbagai rencana juga sudah disampaikan kepada tim meski belum ada pembicaraan secara serius, sebab Akash harus kembali Jakarta lebih dulu untuk keperluan akademi futsal yang ia kelola.
“Belum dibahas. Mereka masih di Kuala Lumpur. Saya harus kembali ke Jakarta lebih dulu untuk akademi futsal ANFA, pertandingan liga pertama akan dimulai Minggu (11/12/2016),” ujar Akash kepada Pandit Football Indonesia.
“Tapi, saya telah mengatakan kepada manajer untuk menjalankan rencana selanjutnya. Mudah-mudahan kita bisa mengikuti turnamen berikutnya,” sambung sang pelatih.
Walaupun rencana sudah disiapkan, Akash juga tidak mengelak jika hal itu akan berjalan mulus andai dana untuk pelatihan dan peralatan mencukupi. Ia juga berharap seleksi tingkat provinsi bisa dilakukan dan menggelar pemusatan pelatihan satu bulan sebelum turnamen.
“Kita harus punya dana untuk pelatihan dan peralatan. Seleksi tingkat provinsi juga dilakukan. Sekarang, pemain dan sumber daya terbatas. Namun, dengan itu kami masih bisa lolos ke semifinal. Saya puas dan anak-anak bangga,” tutur pria 32 tahun tersebut.
“Tapi, untuk masa depan kita harus dapat melakukan jauh lebih baik, dan saya yakin bisa,” tegasnya.
DIFA yang diselenggarakan di Malaysia ini memang yang pertama kalinya digelar di Asia Tenggara. Tapi semoga pada ajang-ajang lain dan DIFA tahun-tahun berikutnya, timnas tunarungu Indonesia bisa mendapatkan perhatian lebih dari pihak-pihak terkait yang harusnya menyokong mereka karena bertanding mewakili negara Indonesia.
*Catatan Redaksi: Penyebutan sebagai juara 4 yang sebelumnya tertuang dalam tulisan ini diubah menjadi status semifinalis. Sebab, di turnamen ASEAN Deaf Football Championship tidak ada perebutan tempat ketiga.
Komentar